Pages

Senin, 09 Juli 2012

Tingkat Konsumsi Energi Dan Konsumsi Protein Serta Hubungannya Dengan Status Gizi Anak Asuh Usia 10-18 Tahun (Studi Pada Penyelenggaraan Makanan Di Panti Asuhan Pamardi Putra Kabupaten Demak) Tahun 2005 (POL-12)

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang

Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu faktor utama yang diperlukan dalam melaksanakan pembangunan nasional. Untuk meningkatkan kualitas SDM tersebut maka harus dilakukan upaya-upaya yang saling berkesinambungan. Dari beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas SDM, faktor kesehatan dan gizi memegang peranan penting, karena orang tidak akan dapat mengembangkan kapasitasnya secara maksimal apabila yang bersangkutan tidak memiliki status kesehatan dan gizi yang optimal (Depkes, 2001: 1).
Upaya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia baik fisik maupun non fisik harus dilaksanakan sedini mungkin dan berlangsung terus sepanjang hidup. Salah satu upaya yang harus dilaksanakan adalah peningkatan dan perbaikan gizi dan kesehatan.
Undang-undang Dasar (UUD) 1945 pasal 34 menyebutkan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Salah satu institusi yang berusaha menyelenggarakan fungsi tersebut di atas adalah Panti Asuhan. Pada institusi ini telah dikembangkan suatu upaya dalam rangka meningkatkan status gizi anak-anak asuhnya.

Panti Asuhan adalah salah satu institusi yang harus mendapatkan perhatian penuh karena pada institusi inilah anak-anak asuh yang ada di dalamnya memerlukan perlindungan kesejahteraan dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya. Faktor yang dapat membantu proses pencapaian pertumbuhan dan perkembangan yang optimal pada anak-anak asuh tersebut diantaranya adalah adanya kecukupan konsumsi zat gizi yang seimbang yang harus dikonsumsi setiap hari.
Anak-anak asuh di Panti Asuhan merupakan sasaran strategis dalam upaya perbaikan gizi masyarakat. Hal ini penting karena sebagian besar anak-anak asuh di Panti Asuhan tersebut adalah anak usia sekolah yang merupakan generasi penerus tumpuan harapan bangsa yang harus dipersiapkan kualitasnya dengan baik.
Pada usia remaja (10-18 tahun), terjadi proses pertumbuhan jasmani yang pesat, di samping aktivitas fisik yang tinggi. Dari hasil SKRT 2001 dan data SUSENAS 2002, diperoleh data bahwa prevalensi gizi kurang pada remaja dengan IMT < 5 percentil sebesar 17,4 % serta prevalensi anemi sebesar 25,5 %. Sedangkan dilihat dari kecukupan energinya, 38,3 % remaja di Indonesia memiliki Tingkat Konsumsi Energi 70 % dari AKE yang dianjurkan (Permaisih, 2003: 2). Dari hasil tersebut, diketahui bahwa status gizi buruk pada remaja masih tinggi serta rata-rata tingkat konsumsi energi pada usia remaja masih di bawah standar AKG yang dianjurkan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan kadar Hemoglobin (Hb) darah yang dilakukan pada bulan Desember 2004 lalu diketahui bahwa rata-rata anak asuh di Panti Asuhan Pamardi Putra Demak berstatus gizi baik. Dari pemeriksaan Hb yang dilakukan di Panti tersebut diperoleh hasil yaitu 20 % (10 anak asuh) memiliki kadar Hb kurang dari 12 gram % serta 80 % (40 anak asuh) memiliki kadar Hb di atas 12 gram % (Sumber: Laporan Tahunan Panti Asuhan, 2004) . Keadaan ini menunjukkan bahwa kadar Hb anak asuh di Panti Asuhan Pamardi Putra rata-rata berada di atas standar kadar Hb pada anak usia sekolah yaitu di atas 12 gram % (Sumber WHO, 1975 dalam I Dewa Nyoman S, 2001: 169)

Salah satu upaya untuk mempertahankan status gizi anak asuh tersebut agar tetap baik adalah panti asuhan perlu mempertahankan dan meningkatkan konsumsi gizi agar tetap adekuat pada proses penyelenggaraan makanannya. Dalam rangka pelaksanaan upaya ini tentunya setiap Panti Asuhan memiliki cara pengaturan dan penyelenggaraan makanan yang disesuaikan dengan kemampuan dan keadaan masing- masing.
Panti asuhan Pamardi Putra adalah salah satu panti asuhan di kabupaten Demak yang didirikan pada tanggal 1 Juni 1945 dengan alamat yaitu di Kelurahan Bintoro Kecamatan Demak Kabupaten Demak. Panti asuhan ini adalah panti asuhan tertua di kabupaten Demak dan satu-satunya yang dikelola oleh Dinas Kesejahteraan Sosial Propinsi Jawa Tengah. Sampai saat ini, panti ini memiliki anak asuh sebanyak 50 orang yang terdiri dari 31 laki-laki dan 19 perempuan. Dengan manajemen yang dikelola pemerintah, maka sudah seharusnya panti ini memiliki keistimewaan cara pengaturan dan penyelenggaraan makanan yang mungkin berbeda dengan panti-panti yang lain termasuk di dalamnya adalah upaya mempertahankan dan meningkatkan status gizi anak asuh dengan perbaikan konsumsi energi dan protein.
Bertolak dari latar belakang tersebut di atas, maka penelitian ini akan mencoba untuk mengetahui bagaimana gambaran Tingkat Konsumsi Energi (TKE), Tingkat Konsumsi Protein (TKP) serta status gizi anak asuh di Panti Asuhan tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini mengambil judul “Tingkat Konsumsi Energi dan Konsumsi Protein serta Hubungannya dengan Status Gizi Anak Asuh Usia 10-18 Tahun (Studi pada Penyelenggaraan Makanan di Panti Asuhan Pamardi Putra Kabupaten Demak) Tahun 2005.”
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini

Pendugaan Hubungan Antara Kurang Gizi Pada Balita Dengan Kurang Energi Protein Ringan Dan Sedang Di Wilayah Puskesmas Sekaran Kecamatan Gunungpati Semarang Tahun 2005 (IKS-9)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Alasan Pemilihan Judul
Salah satu masalah pokok kesehatan di negara sedang berkembang adalah masalah gangguan terhadap kesehatan masyarakat yang disebabkan oleh kekurangan gizi. Masalah gizi di Indonesia masih didominasi oleh masalah Kurang Energi Protein (KEP), Anemia zat Besi, Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), dan Kurang Vitamin A (KVA). Penyakit kekurangan gizi banyak ditemui pada masyarakat golongan rentan, yaitu golongan yang mudah sekali menderita akibat kurang gizi dan juga kekurangan zat makanan (Syahmien Moehji, 2003:7). Kebutuhan setiap orang akan makanan tidak sama, karena kebutuhan akan berbagai zat gizi juga berbeda. Umur, Jenis kelamin, macam pekerjaan dan faktor-faktor lain menentukan kebutuhan masing-masing orang akan zat gizi. Anak balita (bawah lima tahun) merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan badan yang pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya. Anak balita ini justru merupakan kelompok umur yang paling sering dan sangat rawan menderita akibat kekurangan gizi yaitu KEP.


KEP adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi zat energi dan zat protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG) dan atau gangguan penyakit tertentu. Orang yang mengidap gejala klinis KEP ringan dan sedang pada pemeriksaan anak hanya nampak kurus karena ukuran berat badan anak tidak sesuai dengan berat badan anak yang sehat. Anak dikatakan KEP apabila berat badannya kurang dari 80% indeks berat badan menurut umur (BB/U) baku WHO-NCHS,1983. KEP ringan apabila BB/U 70% sampai 79,9% dan KEP sedang apabila BB/U 60% sampai 69,9%, % Baku WHO-NCHS tahun 1983 (I Dewa Nyoman Supariasa, 2001:18,131).

Kekurangan gizi merupakan salah satu penyebab tingginya kematian pada bayi dan anak. Apabila anak kekurangan gizi dalam hal zat karbohidrat (zat tenaga) dan protein (zat pembangun) akan berakibat anak menderita kekurangan gizi yang disebut KEP tingkat ringan dan sedang, apabila hal ini berlanjut lama maka akan berakibat terganggunya pertumbuhan, terganggunya perkembangan mental, menyebabkan terganggunya sistem pertahanan tubuh, hingga menjadikan penderita KEP tingkat berat sehingga sangat mudah terserang penyakit dan dapat berakibat kematian (Solihin Pudjiadi, 2003:124).

Di Indonesia angka kejadian KEP berkisar 10 % dari 4.723.611 balita menurut laporan Depkes RI tahun 2003, di Jawa Tengah sendiri angka penderita KEP yang ada yaitu sebesar 12,75 % dari 336.111 balita yang diukur menurut Dinkes Prop Jateng tahun 2004, di kota Semarang angka KEP yaitu 11,55 % dari 6.671 balita menurut laporan DKK Semarang tahun 2004, di Puskesmas Sekaran yang membawahi 5 kelurahan yaitu kelurahan Ngijo, kelurahan Patemon, kelurahan Kalisegoro, kelurahan Sekaran dan Kelurahan Sukorejo angka kasus KEP yang ada yaitu 9,82 % dari 576 balita menurut laporan Puskesmas Sekaran tahun 2005. Oleh karena itu, usaha-usaha perbaikan gizi masyarakat di negara ini harus diprioritaskan guna mengurangi angka penderita yang ada dan untuk dijadikan bagian dari program pembangunan nasional.

Faktor penyebab langsung terjadinya kekurangan gizi adalah ketidakseimbangan gizi dalam makanan yang dikonsumsi dan terjangkitnya penyakit infeksi. Penyebab tidak langsung adalah ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak dan pelayanan kesehatan. Ketiga faktor tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan keluarga serta tingkat pendapatan keluarga (I Dewa Nyoman Supariasa, 2001:13). Faktor ibu memegang peranan penting dalam menyediakan dan menyajikan makanan yang bergizi dalam keluarga, sehingga berpengaruh terhadap status gizi anak (Soekirman, 2000:26).

Dari alasan tersebut di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara kurang gizi pada balita dengan KEP ringan dan sedang di wilayah Puskesmas Sekaran Kecamatan Gunungpati Semarang.

Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini

Hubungan Antara Intensitas Penerangan Dan Suhu Udara Dengan Kelelahan Mata Karyawan Pada Bagian Administrasi DI PT. Hutama Karya Wilayah IV Semarang (IKS-8)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pembangunan ketenagakerjaan merupakan upaya menyeluruh dan ditujukan kepada peningkatan, pembentukan dan pengembangan tenaga kerja yang berkualitas, produktif, efisien, efektif dan berjiwa wirausaha, sehingga mampu mengisi, menciptakan dan memperluas lapangan kerja serta kesempatan berusaha.
 
Dalam pembangunan ketenagakerjaan, perlu dibina dan dikembangkan perbaikan syarat-syarat kerja serta perlindungan tenaga kerja dalam sistem hubungan industrial Pancasila menuju kepada peningkatan kesejahteraan tenaga kerja (Depkes, 2003:25).
Agar tenaga kerja berada dalam keserasian sebaik-baiknya, yang berarti dapat terjamin keadaan kesehatan dan produktivitas setinggi-tingginya maka perlu ada keseimbangan yang menguntungkan dari faktor yaitu beban kerja, beban tambahan akibat dari lingkungan kerja, dan kapasitas kerja (Suma’mur PK, 1993:48).

Kondisi lingkungan kerja perkantoran (administrasi) pada umumnya lebih baik bila dibandingkan dengan lingkungan kerja bagian produksi. Hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa pekerjaan administrasi yang mengandalkan pikiran dinilai lebih membutuhkan pemusatan kosentrasi, sedangkan pekerjaan produksi lebih banyak menggunakan kekuatan fisik tubuh. Selain itu beberapa sarana maupun peralatan kerja administrasi seperti komputer, panel-panel kontrol dan lain-lain memerlukan kondisi ruangan tertentu untuk dapat dioperasikan secara optimal. Kondisi yang demikian seringkali menimbulkan keluhan-keluhan akibat ketidaktahuan pengelola gedung dalam mengatur suhu udara, ventilasi maupun tata letak sarana dan prasarana kantor (Soewarno, 1992:57). Secara umum harus dapat menciptakan kondisi kerja sebaik-baiknya dengan jalan mengendalikan semua faktor lingkungan kerja yang dapat mempengaruhi pekerjaan dan efisiensi manusia, antara lain masalah penerangan yang memungkinkan tenaga kerja dapat mengamati obyek yang dikerjakan dengan cepat, jelas dan aman (Suma’mur PK, 1993:97).

Penerangan merupakan salah satu faktor untuk mendapatkan keadaan lingkungan kerja yang aman dan nyaman, serta mempunyai kaitan yang sangat erat dengan meningkatnya produktivitas (AM Sugeng Budiono, 1991:37).

Penerangan yang baik memungkinkan tenaga kerja melihat obyek yang dikerjakannya secara jelas, cepat, dan tanpa upaya yang tidak perlu. Lebih dari itu penerangan yang memadai memberikan kesan pemandangan yang lebih baik dan keadaan yang menyegarkan. Sebaliknya jika lingkungan kerja memiliki penerangan yang buruk dapat berakibat sebagai berikut : kelelahan mata dengan berkurangnya daya dan efisiensi kerja, kelelahan mental, keluhan pegal-pegal di daerah mata, dan sakit kepala di sekitar mata, kerusakan alat penglihatan dan meningkatnya kecelakaan (Suma’mur PK, 1998:93).

Penerangan yang buruk akan mengakibatkan rendahnya produktivitas juga kualitas maupun sakit mata, lelah dan pening kepala bagi pekerja. Penerangan yang lebih baik dapat memberikan hal berupa efisiensi yang lebih tinggi, dapat meningkatkan produktivitas dan mengurangi kesulitan serta tekanan penglihatan terhadap pekerjaan (AM Sugeng Budiono, 1991:37).

PT. Hutama Karya merupakan perusahaan yang bergerak di bidang jasa kontruksi yang terletak di jalan A. Yani No. 173 Semarang. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan oleh Balai Pengembangan Keselamatan Kerja dan HIPERKES, hasil yang di dapat dari pengujian 39-129 Lux. Untuk mencukupi kebutuhan penerangannya, PT. Hutama Karya menggunakan penerangan buatan, karena tidak ada jendela sehingga penerangan dalam ruang kerja kurang mencukupi. Sesuai dengan Peraturan Menteri Perburuhan No. 7 tahun 1964, tentang syarat kebersihan, kesehatan dan penerangan dalam tempat kerja, untuk ketelitian kerja jenis pekerjaan kantor membutuhkan intensitas penerangan sebesar 300 Lux (HIPERKES, 2004:6).
Dalam pengaturan suhu udara PT. Hutama Karya Semarang menggunakan ventilasi dengan sistem Air Conditioner (AC). Hal tersebut menyebabkan polusi, terutama polusi udara yang di akibatkan ventilasi sistem Air Conditioner (AC) yang mempunyai sirkulasi udara sendiri, sehingga akan mempengaruhi suhu udara ruangan. Penggunaan Air Conditioner (AC) dalam ruangan dapat menyebabkan mata kering dan merah. Kekurangan air mata dapat menyebabkan mata kekurangan nutrisi dan oksigen sehingga mata akan cepat lelah (Tjandra Yoga A, 2002:90).

Berdasarkan pengujian yang dilakukan oleh Balai Pengembangan Keselamatan Kerja dan HIPERKES, hasil yang di dapat dari pengujian suhu udara 24,0o C dengan standar yang telah ditetapkan 24o C-26o C. Melihat keadaan tersebut maka ingin mengetahui apakah ada hubungan antara intensitas penerangan dan suhu udara dengan kelelahan mata karyawan pada bagian administrasi di PT. HUTAMA KARYA Semarang.

Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kapasitas Vital Paru Tukang Ojek Di Alun-Alun Ungaran Kabupaten Semarang Bulan Maret Tahun 2007 (IKS-7)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Transportasi memegang peranan penting dalam akitivitas manusia, baik transportasi udara, laut maupun darat. Kepadatan lalu-lintas alat transportasi berkaitan erat dengan jumlah penduduk dan ketersediaan sarana-prasarana. Lalu lintas dan angkutan jalan raya sebagai bagian dari sistem transportasi menempati posisi vital dan strategis dalam pembangunan nasional. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama dalam industri otomotif begitu pesat, sehingga laju pertambahan kendaraan juga meningkat dengan cepat yang mengakibatkan transportasi manusia dan barang dari suatu tempat ke tempat lain menjadi mudah dan cepat. Dalam kondisi ini persaingan di sektor transportasi menjadi semakin ketat dan untuk memenangkan persaingan diperlukan sumber daya manusia pekerja di sektor transportasi yang sehat dan produktif (Eryus AK.,2001:2).

Semakin banyak jumlah kendaraan bermotor yang digunakan per satuan waktu pada wilayah tertentu, semakin tinggi pencemaran udara. Pada tahun 2005 jumlah kendaraan bermotor di Jateng sekitar 3,8 juta unit yang terdiri dari sepeda motor mencapai 70 persen, sedangkan mobil 30 persen, bahkan jumlahnya tahun 2006 bakal bertambah lagi (www.kompas.com).

Para ahli memperkirakan sekitar 60-80% penduduk perkotaan di dunia menghirup udara yang kualitasnya buruk bagi kesehatan atau setidaknya dengan kadar polutan mendekati Nilai Ambang Batas. Seorang pengemudi bus umum tidak terlepas dari keterpaparan oleh zat kimia, baik dari sumber yang bersifat internal (dalam kendaraan) maupun eksternal (luar kendaraan). Beberapa bahan pencemaran yang dikenal seperti gas Karbon Monoksida (CO), Timbal (Pb), Ozon (O3), Nitrogen Oksida (NOX), Belerang Oksida (SOX), radikal bebas dan debu (Dadi S, 2003:9). Begitu pula bagi seorang tukang ojek yang keseharian pekerjannya berhubungan langsung jalan raya, tentunya juga tidak terlepas dari keterpaparan oleh zat-zat kimia pencemar tersebut.

Berdasarkan Undang-Undang Kesehatan N0. 23 tahun 1992 pada bagian lima kesehatan lingkungan pasal 22 menyebutkan kesehatan lingkungan diselenggarakan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat. Kesehatan Lingkungan dilaksanakan terhadap tempat umum, lingkungan pemukiman, lingkungan kerja, angkutan umum dan lingkungan lainnya yang meliputi penyehatan air, udara, pengamanan limbah padat, limbah cair, limbah gas, radiasi dan kebisingan, pengendalian vektor penyakit, dan pengadaan atau pengamanan lainnya (Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia, 1992:17)

Berdasarkan laporan pengujian kualitas udara ambien di Kabupaten Semarang tahun 2003 yang dilakukan oleh Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kabupaten Semarang dengan lokasi di depan Pasar Bandarjo Ungaran didapatkan hasil analisa untuk parameter Sulfur dioksida (SO2) 75,11μg/Nm2, Nitrogen oksida (NO2) 49,19μg/Nm2, Karbon monoksida (Co) 7,72 μg/Nm2, Floating/debu (PM10) 71,67 μg/Nm2. Dari hasil pengujian dan pengukuran parameter kualitas udara ambien di lokasi tersebut dibandingkan dengan Baku Mutu Udara Ambien sesuai dengan Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 8 tahun 2001 dapat disimpulkan bahwa parameter yang diuji di lokasi tersebut masih dibawah Baku Mutu Udara Ambien. Dampak pencemaran udara terhadap kehidupan manusia biasanya dirasakan dalam waktu relatif lebih lama. Salah satu dampak pencemaran udara ini adalah munculnya gangguan sistem pernafasan pada manusia (Karden Eddy Sontang Manik, 2003:18).

Seiring pertambahan umur, kapasitas paru-paru akan menurun. Kapasitas paru orang berumur 30 tahun ke atas rata-rata 3.000 ml sampai 3.500 ml, dan pada mereka yang berusia 50-an tentu kurang dari 3.000 ml. Kapasitas paru-paru yang sehat pada laki-laki dewasa bisa mencapai 4.500 ml sampai 5.000 ml atau 4,5 sampai 5 liter udara. Sementara itu, pada perempuan, kemampuannya sekitar 3 hingga 4 liter (Tjandra Yoga Aditama, Kompas.co.id:2005)

Perubahan struktur, fungsi saluran nafas dan jaringan paru-paru dapat juga disebabkan oleh kebiasaan merokok. Perubahan pada saluran nafas besar yaitu sel mukosa membesar (hipertrofi) dan kelenjar mukus bertambah banyak (hiperplasia) sedangkan pada saluran nafas kecil, terjadi radang ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya sel dan penumpukan lendir. Perubahan pada jaringan paru-paru yaitu terjadi peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan alveoli. Akibat perubahan anatomi saluran nafas pada perokok akan timbul perubahan pada fungsi paru-paru dengan segala macam gejala klinisnya. Hal ini menjadi dasar utama terjadinya penyakit obstruksi paru menahun (PPOM). Dikatakan merokok merupakan penyebab utama timbulnya PPOM, termasuk emfisema paru-paru, bronkitis kronis, dan asma (Hans Tandra, Kompas.Com:2001). 

Agar fungsi pernafasan menjadi baik, berolahraga merupakan cara yang sangat baik untuk meningkatkan ventilasi fungsi paru. Olahraga merangsang pernafasan yang dalam dan menyebabkan paru berkembang, oksigen banyak masuk dan disalurkan ke dalam darah, karbondioksida lebih banyak dikeluarkan. Seseorang yang sehat berusia 50 tahun keatas yang berolahraga teratur mempunyai volume oksigen 20-30% lebih besar daripada orang berusia muda yang tidak berolahraga (M. Arifin Nawas, Sinar harapan.com:2005).

Tukang ojek bekerja dengan waktu yang tidak tentu bisa mulai pagi hari, siang hari, bahkan sampai malam hari. Berdasarkan survei awal yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 11, 13 dan 15 November 2006 pada 4 pangkalan ojek di alun-alun Ungaran Kabupaten Semarang, 46% dari 50 orang tukang ojek mempunyai penyakit pernafasan, dengan prevalensi tertinggi 86,96% untuk penyakit batuk, 4,35% untuk masing-masing penyakit batuk dan nyeri dada, batuk dan sesak dada, TBC dan asma. Sarana pelayanan kesehatan yang banyak dimanfaatkan oleh tukang ojek adalah Puskesmas (47,83%), Rumah Sakit/BP4 (17,39%), Dokter (4,35%), Dokter/Puskesmas (4,35%) dan 30,43% tukang ojek tidak memeriksakan diri ke sarana pelayanan kesehatan yang ada apabila mereka sedang sakit, hal ini menunjukkan bahwa masih rendahnya kesadaran tukang ojek terhadap kesehatan dirinya sendiri. 72% tukang ojek memanfaatkan waktu sengganggangnya sambil menunggu penumpang dengan menghisap rokok. Berdasarkan masa kerja tukang ojek, 64% bekerja kurang dari 6 tahun, 18% bekerja antara 6-10 tahun dan 18% bekerja lebih dari 10 tahun. Kondisi Lingkungan, beban kerja tambahan dan kapasitas kerja yang berhubungan dengan pekerjaan tukang ojek dapat mempengaruhi kesehatan terutama gangguan pernapasan.

Berdasarkan kenyataan di atas peneliti ingin meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan kapasitas vital paru tukang ojek di Alun-alun Ungaran Kabupaten Semarang pada bulan Maret tahun 2007.

Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini

Contoh Skripsi Administrasi Perkantoran


Dalam kepustakaan banyak dirumuskan definisi mengenai Administrasi Perkantoran (Office Management) oleh para ahli. Dari banyak definisi-definisi tersebut dapat dirangkumkan bahwa administrasi perkantoran merupakan rangkaian aktivitas merencanakan, mengorganisasi (mengatur dan menyusun), mengarahkan (memberikan arah dan petunjuk), mengawasi, dan mengendalikan (melakukan kontrol) sampai menyelenggarakan secara tertib sesuatu hal.

Terkadang sebagai mahasiswa, Anda bingung ketika akan mengerjakan tugas akhir atau skripsi, terutama ketika menentukan judul. Sehingga Anda perlu mencari inspirasi untuk judul sripsi yang akan Anda buat.

Buat teman-teman yang kebetulan lagi sibuk mikirin tentang pembuatan judul Skripsi Administrasi Perkantoran, lagi mencari contoh Skripsi Administrasi Perkantoran gratis. mudah-mudahan contoh Skripsi Skripsi Administrasi Perkantoran ini dapat membantu anda dalam membuat Skripsi Skripsi Administrasi Perkantoran yang anda jalani.

Berikut Contoh Skripsi Skripsi Administrasi Perkantoran Lengkap. Klik Judulnya untuk melihat isinya


Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File
atau klik disini

Pengaruh Minat Dan Fasilitas Terhadap Hasil Belajar Mengetik Manual Dengan Sistem 10 (Sepuluh) Jari Siswa Kelas I Jurusan Administrasi Perkantoran Di Smk Negeri 2 Semarang (APK-1)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Pendidikan Nasional adalah usaha secara sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kebiasaan, kecerdasan, dan keterampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (Pasal 1 Undang-undang No.20 tahun 2003).
 
Belajar merupakan suatu proses tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungan (Hamalik 2003:36). Belajar memegang peranan penting didalam perkembangan, kebiasaan, sikap, keyakinan, tujuan, kepribadian dan bahkan persepsi manusia. Belajar adalah usaha penguasaan materi ilmu pengetahuan yang merupakan sebagian kegiatan menuju terbentuknya kepribadian seutuhnya (Sardiman 2004:20). Dengan belajar manusia dapat mengembangkan potensi yang dibawanya sejak lahir. Dalam pendidikan formal selalu diikuti pengukuran dan penilaian, demikian juga dalam proses kegiatan belajar mengajar, dengan mengetahui hasil belajar dapat diketahui kedudukan siswa yang pandai, sedang atau lambat. Laporan hasil belajar yang diperoleh siswa diserahkan dalam periode tertentu yaitu dalam bentuk Buku Raport. Jadi hasil belajar merupakan hasil yang dicapai setelah seseorang mengadakan sesuatu kegiatan belajar yang terbentuk dalam suatu nilai hasil belajar yang diberikan oleh Guru.

Usaha untuk mencapai suatu hasil belajar dari proses belajar mengajar seseorang siswa dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang timbul dari dalam diri siswa itu sendiri, digolongkan menjadi dua yaitu: faktor fisiologis dan faktor psikologis. Faktor fisiologis diantaranya: keadaan fisik, sedangkan faktor psikologis, diantaranya: intelegensi, bakat khusus, minat dan perhatian, dan keadaan emosi serta disiplin. Faktor eksternal yang berasal dari luar diri siswa itu sendiri, digolongkan menjadi dua, yaitu: faktor sosial dan non sosial. Faktor sosial, diantaranya: manusia (sesama manusia) baik manusia itu ada (hadir) atau kehadirannya itu dapat disimpulkan, jadi tidak langsung hadir. Faktor non sosial diantarnya: keadaan udara, suhu, cuaca, waktu, tempat, alat-alat yang dipakai untuk belajar, alat-alat pelajaran, dan lain-lain (Suryabrata, 1993: 249)

Salah satu faktor utama untuk mencapai sukses dalam segala bidang, baik itu berupa studi, kerja, hobi atau aktivitas apapun ialah minat. Minat merupakan bentuk sikap ketertarikan atau sepenuhnya terlibat dengan suatu kegiatan karena menyadari pentingnya atau bernilainya kegiatan tersebut (Sudarsono, 2003:28). Dengan tumbuhnya minat dalam diri seseorang akan melahirkan perhatian untuk melakukan sesuatu dengan tekun dalam jangka waktu yang lama, lebih berkonsentrasi, mudah untuk mengingat dan tidak mudah bosan dengan apa yang dipelajari.

Mutu pendidikan yang dikembangkan agar tetap baik, maka perlu diadakan dan diciptakan suatu fasilitas yang dapat membantu dan mendorong hasil belajar siswa. Sebagai realisasinya pemerintah membuat beberapa peraturan perundang-undangan, UU No 20 Tahun 2003, yang mengatur tentang “Sistem Pendidikan Nasional”, diatur dalam pasal 45 ayat 1 yang berbunyi: Setiap satuan pendidikan formal dan non formal menyediakan fasilitas yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi, fisik, kecerdasan intelektual, sosial emosional, dan kewajiban peserta didik (UU No. 20 2003:33). Kemampuan belajar apabila didukung dengan fasilitas belajar yang memadai di sekolah ataupun di rumah berupa peralatan dan perlengkapan, maka memperoleh hasil belajar cenderung lebih baik (Sujanto, 1990:206).

SMK Negeri 2 Semarang merupakan salah satu dari sekian banyak sekolah menengah kejuruan di Indonesia yang berusaha mencetak lulusan yang siap kerja. Dalam menghadapi tantangan SMK Negeri 2 Semarang berusaha untuk memenuhi segala kebutuhan guna menunjang proses belajar yang baik dan terencana, mulai tahun diklat 2004/2005 SMK Negeri 2 Semarang mengembangkan kurikulum baru menggantikan kurikulum lama yang dinilai kurang baik, kurikulum tersebut adalah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang menuntut siswa untuk dapat menguasai mengetik manual dengan sistem 10 (sepuluh) jari buta.

Mata diklat mengetik merupakan salah satu mata diklat yang dikelompokan dalam program produktif. Program produktif adalah kelompok mata diklat yang berfungsi membekali peserta didik agar memiliki kompetensi kerja sesuai dengan Standart Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Untuk dapat menguasai mata diklat mengetik manual dengan sitem 10 (sepuluh) jari dengan baik perlu memiliki minat minat belajar dan fasilitas belajar yang baik, sehingga diharapkan akan memperoleh hasil belajar yang optimal.

Berdasarkan survei pendahuluan di SMK Negeri 2 Semarang diketahui bahwa fasilitas belajar di SMK Negeri 2 Semarang apabila dilihat dari segi tahun pembuatan masih tergolong layak untuk digunakan. Untuk mesin ketik dan mesin pendikte rata-rata dibuat sekitar tahun 1990. Karpet sebagai alas dari lantai masih bagus dan masih layak untuk digunakan, meja kerja juga masih baik. Tetapi jika dilihat dari fasilitas penunjang seperti kertas dan pita tinta masih kurang memenuhi syarat, hal ini dilihat apabila praktik mengetik siswa sering terjadi kertas kurang maupun pita yang sudah tidak layak untuk dipakai masih tetap digunakan untuk kegiatan praktik walaupun hanya sebagian dari peserta didik yang memperoleh mesin ketik dengan pita tinta yang sudah tidak layak pakai. Dua buah AC yang sebenarnya masih tergolong baru namun hanya 1 (satu) yang bisa berfungsi dengan baik, sehingga banyak siswa yang tempat praktiknya agak jauh dari AC merasa gerah. Tidak semua lampu dapat dinyalakan sehingga apabila kondisi gelap tidak semua siswa dapat memperoleh penerangan dari lampu yang cukup.

Selain hal tersebut siswa kelas I jurusan administrasi perkantoran memiliki minat yang rendah terhadap mata diklat mengetik manual dengan sistem 10 (sepuluh) jari buta. Hal ini ditunjukkan dari sikap siswa yang sering terlambat masuk ketika ada pelajaran mengetik, walaupun telah sampai didepan ruang praktek mereka tidak segera masuk kedalam kelas, dalam menerima pelajaran kurang bersungguh-sungguh, sering memberikan protes apabila diberi tugas untuk mengerjakan sesuatu. Juga karena ada anggapan bahwa mesin ketik manual sudah ketinggalan jaman karena sekarang sudah ada mesin ketik yang lebih canggih salah satunya adalah komputer. Meskipun sudah ada mesin komputer tetapi pada kenyataannya masih banyak dibutuhkan mesin ketik manual, seperti pada kantor- kantor. Selain itu tidak semua pekerjaan dapat diselesaikan dengan komputer.

Akan tetapi dilihat dari hasil belajarnya cukup baik dengan nilai rata-rata 7,5. Ini sudah memenuhi standart kompetensi untuk mata diklat produktif, yaitu nilai rata-rata 7,0 (wawancara dengan Hj Sukartini B.A. salah satu guru mengetik di SMK Negeri 2 Semarang )

Kenyataan bahwa fasilitas pendukung belajar kurang dan minat belajar mengetik yang kurang ini mendorong penulis untuk mengungkapkan lebih jauh tentang pengaruh minat belajar dan fasilitas belajar terhadap hasil belajar mengetik manual dengan sistem 10 (sepuluh) jari dengan judul : “PENGARUH MINAT DAN FASILITAS TERHADAP HASIL BELAJAR MENGETIK MANUAL DENGAN SISTEM 10 (SEPULUH) JARI SISWA KELAS I JURUSAN ADMINISTRASI PERKANTORAN DI SMK NEGERI 2 SEMARANG”.

Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File
atau klik disini

Minggu, 08 Juli 2012

Sarang Laba-Laba Sebagai Sumber Inspirasi Pembuatan Busana Pesta Dengan Hiasan Payet (TB-3)

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Manusia mempunyai kebutuhan pokok disamping pangan dan papan yaitu pakaian.Pakaian digunakan untuk melindungi tubuh dari pengaruh iklim dan pengaruh luar. Busana telah dikenal manusia dari zaman dahulu.Pada mulanya busana hanya berbentuk sederhana dan sekedar penutup tubuh,bahan yang digunakan juga dari kulit binatang. Proses pembuatanya juga sangat sederhana,tidak memerlukan jahitan,dan sebatas dililitkan pada tubuh.
 
Estela memiliki pemikiran yang lebih maju ,manusia mulai menciptakan model-model busana yang lebih bervariasi. Kemajuan zaman dari masa ke masa model busanapun berkembang dengan beralih peranan.Busana tidak hanya sebagai pelindung tubuh melainkan juga sebagai alt mempercantik diri serta menutupi kekurangan diri seseorang.

Keanekaragaman busana yang ada dewasa ini bayak didominan oleh busana wanita. Busana diciptakan sesuai denga kesempatan .misalnya busana pesta ,kerja, olahraga, rekreasi, pengantin, dll. Di antara mode busana yang ada sering mendapat perhatian khusus adalah busana pesta, yang mana busana ini merupakan busana khusus yang dikenakan kesempatan tertentu. Busana pesta dapat mendukung penampilan seseorang sehingga penampilan lebih menarik dan dapat menutupi kekurangannya.

Bahan untuk busana pesta biasanya dipilih yang berkesan mewah (glamour) meriah dan kontemporer. Bahan yang mewah ini perlu ditunjukkan dengan asesoris yang sesuai serta dengan eksen tertentu dengan kesempatan yang digunakan.
Kreativitas dan keuletan serta inovasi yag tinggi dengan pengetahuan yang cukup dibidang ini merupakan faktor penunjang kesuksesan dan pengembangan dunia fashion agar busan yang dihasilkan nantinya memiliki nilai ekonomis, seni dan keuletan yang tinggi sesuai dengan detail yang akan disampaikan oleh desainer.

Pencipta busana dapat di pengaruhi oleh beberapa sunber ispirasi.Ispirasi tersebut di peroleh dari alam atau busana yang sudah ada.
Pada desain busana. Sumber ide dapat di kelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu:
a. Sumber ide dari pakaian penduduk dunia,atau pakaian daerah di Indonesia. b. Sumber ide dari benda benda alam misalnya gunung,sungai, flora,fauna.
c. Sumber ide dari peristiwa-peristiwa nasional maupun internasional,misalnya pakaian olah raga dari peristiwa Asean Games (Hartatiati Sulistio 2004:103).

Alam yang terdiri dari aneka ragam denda dapat di jadikan sumber inspirasi pembuatan busana pesta. Salah satu benda yang ada di alam yang menarik hati penyusun adalah bentuk sarang laba-laba. Keunikan dan keindahan sarang lanba-laba terletak pada garis lengkung yang saling berkaitan satu sama lain sehiga bersifat alamiah menimbulkan ide dalam pembuatan busana pesta.

Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File
atau klik disini

Pembuatan Costum Putri Angsa (TB-2)

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Alam Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang sangat menawan. Khususnya tentang fauna, keindahan dan keelokannya susah dikenal di seluruh dunia, terutama bangsa unggas. Sampai saat ini, populasi spesies unggas sudah mencapai ribuan. Selain kicauannya, keunikan dan warna-warna eksotis bulu unggas memiliki nilai tersendiri bagi manusia. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila banyak orang yang tertarik untuk memelihara unggas, baik untuk tujuan komersial maupun untuk dijadikan sebagai hewan periharaan. Unggas memiliki manfaat bagi manusia, antara lain pada bagian bulu unggas. Bulu unggas dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan sehari-hari, misalnya sebagai bahan baku pembuatan berbagai macam aksesoris (gelang, kalung, anting, bros, ikat rambut, bando, dasi), bantal, kasur, perasalatan rumah tangga dan sarana olahraga.

Pengetahuan masyarakat mengenai manfaat dan nilai ekonomis tentang bulu unggas merupakan salah satu faktor penyebab kurang tergalinya potensi bulu unggas. Pada hal bagi orang yang kreatif, peduli dan telah menggeluti usaha ini dapat merasakan peluang yang cukup menjanjikan. Bahkan hal ini mampu menimbulkan /melahirkan sebuah inspirasi untuk meningkatkan kriatifitas masyarakat

Banyak cara yang dilakukan untuk menciptakan busana yang baik dan sesuai dengan kesempatan, sekaligus menarik dipandang mata. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan bulu unggas yang dapat digunakan sebagai pusat perhatian pada busana pesta, busana penari busana peyanyi dan masih banyak lagi, oleh karena itu sebagai mahasiswi Universitas Negeri Semarang (UNNES) Fakultas Teknik Jurusan Teknologi Jasa dan Produksi Busana Diploma Tiga (D3) yang telah mendapatkan ilmu pengetahuan, mempelajari dan mempraktikkan mata kuliah busana dan tehnik hias busana, berkeinginan membuat busana pesta costum putri angsa yang diangkat dari sebuah dongeng. Dengan menerapkan bulu unggas yang kurang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai hiasan busana, sehingga tampak unik, anggun dan mewah.
Ide dalam pembuatan busana ini mengambil dari dongeng anak – anak, yang menceritakan kisah seorang anak dari desa kecil yang mempunyai orang tua sebagai pembuat roti. Ia adalah seorang gadis yang ramah dan baik hati, tapi ingin menjadi seorang pemberani. suatu hari dia bertualang bertemu oleh seorang peri disihir menjadi putri angsa (Gramedia. 1995. Swan Lake. Jakarta). Penulis mendapatkan ide busana costum dari busana yang dikenakan oleh putri angsa .
Berbagai hal sebagaimana penulis kemukakan diatas memunculkan pemikiran untuk mengangkat judul “Pembuatan Costum Putri Angsa”sebagai judul tugas akhir ini.

Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File
atau klik disini

Contoh Skripsi Tata Busana

Kata ”busana” diambil dari bahasa Sansekerta ”bhusana”. Namun dalam bahasa Indonesia terjadi penggeseran arti ”busana” menjadi ”padanan pakaian”. Meskipun demikian pengertian busana dan pakaian merupakan dua hal yang berbeda. Busana merupakan segala sesuatu yang kita pakai mulai dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Busana ini mencakup busana pokok, pelengkap (milineris dan aksesories) dan tata riasnya. Sedangkan pakaian merupakan bagian dari busana yang tergolong pada busana pokok. Jadi pakaian merupakan busana pokok yang digunakan untuk menutupi bagian-bagian tubuh.

Busana yang dipakai dapat mencerminkan kepribadian dan status sosial sipemakai. Selain itu busana yang dipakai juga dapat menyampaikan pesan atau image kepada orang yang melihat. Untuk itu dalam berbusana banyak hal yang perlu diperhatikan dan pertimbangkan sehingga diperoleh busana yang serasi, indah dan menarik.

Terkadang sebagai mahasiswa, Anda bingung ketika akan mengerjakan tugas akhir atau skripsi, terutama ketika menentukan judul. Sehingga Anda perlu mencari inspirasi untuk judul sripsi yang akan Anda buat.

Buat teman-teman yang kebetulan lagi sibuk mikirin tentang pembuatan judul Skripsi Tata Busana, lagi mencari contoh Skripsi Tata Busana gratis. mudah-mudahan contoh Skripsi Tata Busana ini dapat membantu anda dalam membuat Skripsi Tata Busana yang anda jalani.

Berikut Contoh Skripsi Tata Busana Lengkap. Klik Judulnya untuk melihat isinya.


Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File
atau klik disini

HUBUNGAN ANTARA KINERJA MENJAHIT DENGAN SIKAP WIRASWASTA PADA KELOMPOK BELAJAR MENJAHIT DI KELURAHAN BONGSARI KECAMATAN SEMARANG BARAT (TB-1)

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu usaha sadar untuk membentuk manusia Indonesia yang berkualitas, yaitu manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian unggul, mandiri,  jujur,  berpikir  maju,  tangguh,  cerdas, kreatif,  terampil,  disiplin, mempunyai etos kerja tinggi,  profesional, bertanggung jawab dan produktif. Apabila dicermati maka dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan dilihat dari sektor  bidang  usaha, adalah  untuk  mengembangkan  kemampuan  warga belajar sehingga mempunyai keterampilan,  berdisiplin,  beretos kerja tinggi, profesional, bertanggung jawab dan produktif.

Sebagai  salah   satu   su sistem   dari   sistem   pendidikan   nasional, penyelenggaraan pendidikan luar sekolah berperan penting dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional. Pendidikan luar sekolah diselenggarakan dengan maksud untuk  memberikan pengetahuan dan keterampilan yang berorientasi pada bidang         kerja        tertentu. Berbeda dari pendidikan jalur sekolah, penyelenggaraan pendidikan luar sekolah lebih menekankan pada pemberian bekal kepada warga belajar agar  mereka mampu menghidupi dirinya sendiri (Pidarta,1997:22).  Hal  ini  berarti  bahwa  dengan  adanya  pendidikan  luar sekolah, warga belajar akan mempunyai sumber penghidupan yang layak bagi dirinya dan atau keluarganya. Salah satu contoh dari pendidikan luar sekolah yang  ada  di  masyarakat  adalah  kursus atau  kelompok  belajar  menjahit. Kelompok  belajar  merupakan  kumpulan  warga  yang belajar  dan  berusaha mempelajari sesuatu bidang ilmu pengetahuan atau keterampilan pada waktu dan tempat yang telah ditentukan (Depdikbud,1996:5).

Kelompok belajar   menjahit ini diselenggarakan    dengan         tujuan memberikan pengetahuan dan keterampilan pada bidang jahit menjahit kepada warga belajar, dengan harapan agar mereka mampu bekerja atau menciptakan lapangan kerja pada bidang jahit menjahit, misalnya modiste, konveksi, tailor dan sebagainya. Bagi warga masyarakat yang belum memiliki pekerjaan atau sedang  mencari  pekerjaan  namun  tidak  memiliki  keterampilan  khusus, keberadaan kelompok belajar menjahit akan sangat membantu sebagai tempat untuk  menimba  ilmu  menjahit  untuk  dijadikan  modal  keterampilan  dalam mencari  lapangan pekerjaan. Sedangkan bagi warga masyarakat yang sudah mempunyai bakat atau  kemampuan menjahit, keberadaan kelompok belajar menjahit dapat dijadikan sebagai tempat untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya, sehingga bakat    yang    dimilikinya dapat   diasah   dan  dikembangkan secara lebih terarah.

Berdasarkan hasil observasi awal peneliti, kelompok belajar menjahit yang ada di Kelurahan Bongsari Kecamatan Semarang Barat diselenggarakan oleh  pemerintah kelurahan  dibantu  dari  pihak  luar  yaitu  Lembaga  Sosial Masyarakat  Kesejahteraan Keluarga  Soegijapranata  (LSM  Soegijapranata). Biaya kursus  sepenuhnya dibebankan oleh LSM  tersebut, sehingga masyarakat yang ikut tidak dipungut biaya apapun. Kurikulum pelatihan yang diberikan disamakan dengan kurikulum yang ada pada kursus menjahit di luar, dengan harapan agar kualitas kursus yang diselenggarakan tidak kalah dengan kursus menjahit yang lain. Dalam pelaksanaannya, LSM selain mengundang tutor, juga memberikan dana atau  modal usaha yang dapat digunakan oleh warga belajar yang ingin membuka usaha pada bidang jahit menjahit. Selain itu juga disediakan pula peralatan latihan seperti mesin jahit, mesin obras dan bahan-bahan pendukung lainnya. Modal usaha dan peralatan yang  diberikan oleh LSM tersebut pada dasarnya merupakan pinjaman lunak, karena modal tersebut dapat  dikembalikan jika warga belajar telah mampu   untuk mengembalikan dan tidak disertai dengan bunga pinjaman. Kelompok belajar menjahit di Kelurahan Bongsari diikuti oleh 30 warga belajar dari lingkungan Bongsari. Warga masyarakat yang ingin menjadi warga belajar di kelompok belajar menjahit tidak dibatasi  umur dan jenis kelamin. Hal ini merupakan kebijakan pemerintah kelurahan     dengan          harapan        agar banyak warga masyarakat   yang   ikut   prgoram   tersebut.   Pertemuan   kelompok   belajar diselenggarakan sebanyak 2 kali  seminggu, yaitu hari Kamis dan Minggu, bertempat  di Balai  Pertemuan  Warga  RW  4.  Pemberian  materi  menjahit diasuh oleh Pimpinan Modiste Alwine Semarang.

Idealnya, setelah mengikuti kelompok belajar menjahit, warga belajar akan mempunyai kinerja menjahit yang lebih baik dan dapat menciptakan lapangan kerja baru. Kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Mangkunegoro,2000:69). Namun demikian,  dalam  pelaksanaannya  di  lapangan,  setelah selesai  mengikuti kelompok  belajar menjahit, banyak warga belajar yang masih bekerja pada orang  lain,  dan  bahkan  lebih  disayangkan  lagi  bahwa  pekerjaan  mereka banyak yang tidak sesuai dengan bidang  jahit menjahit. Warga belajar yang kurang  berhasil  dalam bidang  menjahit  tersebut  pada   umumnya  kurang mempunyai minat dalam mengikuti kursus menjahit. Hal ini muncul sebagai akibat   dari   tidak   adanya   perhatian   dan  penjaringan   minat,   pada   saat penerimaan warga belajar. Kondisi ini menunjukkan bahwa mereka kurang mempunyai      sikap            berwiraswasta dalam bidang          jahit     menjahit.        

Sikap wiraswasta     dapat  diartikan         sebagai          kemampuan melihat dan      menilai kesempatan-kesempatan bisnis, mengumpulkan sumber daya yang dibutuhkan guna  mengambil  keuntungan  dari  padanya  dan  mengambil  tindakan  tepat, guna memastikan sukses (Suharto,1998:2). Meskipun sudah diberikan bantuan modal untuk membuka usaha jahit, namun kurang dimanfaatkan oleh warga belajar secara optimal.

Berdasarkan hasil wawancara dengan tutor kelompok belajar menjahit di Bongsari,  kinerja  menjahit  yang  ditunjukkan  oleh  warga  belajar  dapat dikatakan masih kurang ideal. Hal ini dapat dilihat dari tingkat absensi warga belajar yang mencapai 5% pada setiap  kali pertemuan. Fenomena tersebut menandakan bahwa warga belajar kurang memiliki motivasi yang tinggi untuk menguasai bidang jahit menjahit. Hal ini jelas berdampak pada rendahnya kedisiplinan dan juga rasa tanggung jawab mereka yang merupakan ciri dari sikap wiraswasta. Dengan demikian dapat dipahami adanya hubungan antara kinerja menjahit dengan sikap wiraswasta pada warga belajar.

Berdasarkan uraian di atas, kinerja menjahit dan sikap wiraswasta pada bidang  jahit menjahit  menjadi  fokus  yang  menarik  minat  peneliti  untuk mengkaji lebih dalam tentang ada tidaknya hubungan antara kinerja menjahit yang  dimiliki  oleh  warga  belajar  dengan sikap  wiraswasta  bidang  jahit menjahit.  Pengkajian  tersebut  akan  dilaksanakan  dalam penelitian  skripsi berjudul Hubungan antara Kinerja Menjahit dengan Sikap Wiraswasta pada Kelompok  Belajar  Menjahit  di  Kelurahan  Bongsari  Kecamatan  Semarang Barat”.

Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini