Pages

Kamis, 14 Maret 2013

Analisis Risiko Investasi Terhadap Return Saham Pada Industri Telekomunikasi Di Indonesia (KE-63)



Penelitian-penelitian keuangan dan juga teori-teori keuangan biasanya dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu investasi (investment), sering juga disebut teori pasar modal (capital market theory) dan keuangan korporasi (corporate finance). Investasi berkaitan dengan pengujian bagaimana pasar modal menetapkan harga sekuritas dengan mempelajari bagaimana investor individu memilih di antara berbagai macam aset keuangan berdasarkan tingkat kesukaannya pada risiko dan return(Gumanti, 2011:49).
Salah satu bagian terpenting dalam mempelajari investasi adalah bagaimana kita mengukur risiko dan return. Definisi risiko dan return bisa jadi tidak akan pernah sama antara satu dengan investor lainnya, bahkan tingkat kesukaan risiko dan returntidak akan pernah sama.
Setiap investor yang ingin memaksimalkan kekayaan akan tertarik pada suatu investasi yang memberikan tingkat expected returnyang lebih tinggi dibandingkan dengan peluang investasi lainnya. Dalam kenyataannya hampir semua investasi mengandung ketidakpastian atau risiko. Investor tidak tahu dengan pasti hasil yang akan diperolehnya, sehingga investor hanya bisa memperkirakan berapa keuntungan yang diharapkan dan seberapa jauh hasil yang sebenarnya menyimpang dari yang diharapkan. Pilihan investasi tidak dapat hanya mempertimbangkanreturnyang diharapkan tetapi juga tingkat risiko yang akan dihadapi.
Perusahaan telekomunikasi yang Go-publicmerupakan perusahaan yang tercatat sahammnya di Bursa Efek Indonesia (BEI). Perdagangan sekuritas pada sektor industri telekomunikasi saat ini menjadi salah satu bisnis yang menguntungkan, sehingga menyebabkan banyak investor yang tertarik untuk terlibat dalam bisnis di bidang telekomunikasi (Fahmi, 2010:215).

Pergerakan harga saham yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan seberapa besar minat investor untuk membeli saham-saham dari masing-masing perusahaan telekomunikasi di Indonesia. Di bawah ini digambarkan pergerakan harga saham dari masing-masing perusahaan telekomunikasi di Indonesia (PT Telekomunikasi Indonesia Tbk., PT Indosat Tbk., PT XL Axiata Tbk., PT Smartfren Telecom Tbk., PT Bakrie Telecom Tbk.) sejak bulan Januari 2006 hingga Desember 2011, sebagai berikut:
Sumber: Data Diolah, 2012
Grafik 1.1 Harga Saham PT Telekomunikasi Indonesia Tbk., Tahun 2006-2011
Dari grafik di atas, diketahui bahwa harga saham PT Telekomunikasi Indonesia Tbk., bergerak secara fluktuasi dari tahun 2006-2012, harga penutupan tertinggi berada pada harga Rp 11.200 di bulan Juli tahun 2007, dan harga penutupan terendah berada pada harga Rp 5.400 di bulan Oktober tahun 2008.
Sumber: Data Diolah, 2012
Grafik 1.2 Harga Saham PT Indosat Tbk., Tahun 2006-2011
Dari grafik di atas, diketahui bahwa harga saham PT Indosat Tbk., bergerak secara fluktuasi dari tahun 2006-2012, harga penutupan tertinggi berada pada harga Rp 8.700 di bulan Oktober tahun 2007, dan harga penutupan terendah berada pada harga Rp 4.200 di bulan Februari tahun 2009.
Sumber: Data Diolah, 2012
Grafik 1.3 Harga Saham PT XL AxiataTbk., Tahun 2006-2011
Dari grafik di atas, diketahui bahwa harga saham PT XL Axiata Tbk., bergerak secara fluktuasi dari tahun 2006-2012, harga penutupan tertinggi berada pada harga Rp 6.800 di bulan April tahun 2011, dan harga penutupan terendah berada pada harga Rp 850 di bulan November tahun 2008.

Sumber: Data Diolah
Grafik 1.4 Harga Saham PT Smartfren Telecom Tbk., Tahun 2006-2011
Dari grafik di atas, diketahui bahwa harga saham PT Smartfren Telecom Tbk., di buka pada November 2006, bergerak secara fluktuasi dari tahun 2007-2008, kemudian konstan meningkat per tahun hingga tahun 2011. Harga penutupan tertinggi berada pada harga Rp 4.062 di bulan Desember tahun 2006, dan harga penutupan terendah berada pada harga Rp 635 di bulan Oktober 2008 hingga November tahun 2010.
Sumber: Data Diolah
Grafik 1.5 Harga Saham PT Bakrie Telecom, Tbk., Tahun 2006-2011
Dari grafik di atas, diketahui bahwa harga saham PT Bakrie Telecom Tbk., di buka pada Februari 2006, bergerak secara fluktuasi dari tahun 2006-2011. Harga penutupan tertinggi berada pada harga Rp 446 di bulan Oktober tahun 2007, dan harga penutupan terendah berada pada harga Rp 50 di bulan Januari2009.
Terjadinya pergerakan harga saham secara fluktuatif dari masing-masing perusahaan menunjukkan harga saham yang terus bergerak seiring dengan permintaan pembelian saham dari investor. Tentunya hal ini akan menyebabkan risiko tersendiri.Dalam industri telekomunikasi, faktor risiko akanterus bermunculan seiring perubahan dalamindustri telekomunikasi itu sendiri, maupun dinamikadari Perseroan. Manajemen menerapkan prinsipmanajemen risiko yang senantiasa dikelola agarPerseroan dapat terus tumbuh dan berkembang.
Ada beberapa faktor risiko utama yang dianggap dapatmenghambat atau menjadi ancaman bagi Perseroan,yaitu industri telekomunikasi yang semakin kompetitifdengan banyaknya produk-produk yang barudengan tarif yang semakin bersaing, pertumbuhan pelanggan dan penggunaan jaringan oleh pelanggan yang tidak diimbangi dengan ketersediaan jumlah kapasitas jaringan yang memadai dapat berdampak negatif pada kinerja dan kegiatan usaha Perseroan, kegagalan atas operasi jaringan Perseroan secara berkesinambungan, sistem-sistem utama tertentu, atau titik interkoneksi (gateway) ke jaringan penyelenggara lainnya, dapat berdampak negatif terhadap kegiatan usaha Perseroan, Perseroan yang beroperasi pada teknologi CDMA, di tengah penggunaan teknologi GSM yang lebih populer, sehingga terdapat risiko perubahan teknologi yang dapat memengaruhi kegiatan usaha Perseroan. Terlebih lagi, Perseroan juga menghadapi persaingan dari kehadiran teknologi Wi-Max, yang lisensinya telah dikeluarkan oleh Pemerintah kepada beberapa perusahaan (Annual Report PT Smartfren Telecom Tbk, 2011:53-54).
Risiko-risiko yang muncul dalam industri telekomunikasi ini tentunya akan berdampak pada kemampuan perusahaan dalam menjual produk, yang pada akhirnya berdampak pada tingkat keutungan yang dihasilkan perusahaan nantinya. Oleh karena itu, langkah-langkah mengatasi risikoperlu terus diperkuat agar stabilitas sistem keuangan tetap terjaga dengan prospekyang positif. Sistem keuangan yang stabil adalah sistem keuangan yang kuat dantahan terhadap berbagai gangguan ekonomi sehingga tetap mampu melakukanfungsi intermediasi, melaksanakan pembayaran, dan menyebar risiko secara baik.
Manajemen risiko pada industri telekomunikasi menjadi salah satu unsur penting, baik menyangkut keberhasilan maupun kegagalan perusahaan. Karena risiko yang dikelola secara tepat dapat memberikan manfaat kepada perusahaan, khususnya industri telekomunikasi dalam menghasilkan laba yang atraktif, mengingat industri yang pada teknologi tersebut menyerap dana yang tidak sedikit, baik dalam pendiriannya maupun dalam pengoprasiannya, sehingga  penekanan pada perusahaan tersebut agar dapat memperoleh keuntungan  yang diharapkan oleh seorang investor di kemudian hari terhadap sejumlah dana yang telah ditempatkannya.Untuk memberikan kepuasan maksimum kepada para investor tersebut, maka banyak pakar financemenganalisis korelasi return dan risiko.Dalam pasar yang sempurna dan efisien, maka akan berlaku ‘hukum’ hubungan positif antara return dengan risiko. Semakin tinggi return yang diharapkan, semakin tinggi risikonya, dan sebaliknya.
Returnadalah keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan, individu dan institusi dari hasil kebijakan investasi yang dilakukannya (Fahmi, 2012:189).
Returndibedakan menjadi dua, pertama returnyang telah terjadi (actual return) yang dihitung berdasarkan data historis, dan kedua return yang diharapkan (expected return) akan diperoleh investor di masa akan datang.
Expected return adalah returnyang diharapkan oleh seorang investor di kemudian hari terhadap sejumlah dana yang telah ditempatkannya (Fahmi, 2012:203).Expected returnmerupakan returnyang digunakan untuk pengambilan keputusan investasi (Jogiyanto, 2010:222). Returnini penting dibandingkan dengan returnhistoris karena returnekspektasian merupakan returnyang diharapkan dari investasi yang akan dilakukan.
Komponen returnmeliputi, yaitu (1) capital gainmerupakan keuntungan bagi investor yang diperoleh dari kelebihan harga jual di atas harga beli yang keduanya terjadi di pasar sekunder, dan (2) Yield merupakan pendapatan atau aliran kas yang diterima investor secara periodik, misalnya berupa dividen atau bunga. Yield dinyatakan dalam persentase dari modal yang ditanamkan (Halim, 2003:08).
Risiko dapat ditafsirkan sebagai bentuk keadaan ketidakpastian tentang suatu keadaan yang akan terjadi nantinya (future) dengan keputusan yang diambil berdasarkan pertimbangan pada saat ini (Fahmi, 2012:189). Risiko seringkali disebut sebagai ketidakpastian (uncertainty). Jika menggunakan konsep risiko dalam investasi saham, maka risiko diartikan sebagai variabilitas return yang dikaitkan dengan suatu saham. Jika diterapkan dalam konteks sekuritas umum, maka risiko dapat diartikan sebagai kemungkinan melencengnya atau tidak tercapainya harapan diperolehnya return tertentu (Gumanti, 2011:50).
Risiko juga dapat diartikan sebagai kemungkinan mengalami kerugian yang biasanya diukur dalam bentuk kemungkinan (probabilities) bahwa beberapa hasil akan muncul yang bergerak dalam kisaran sangat baik ke sangat buruk.
Menurut Emery dan Finnerty dalam Gumanti (2011:51), risiko secara definisi memiliki dua dimensi, yaitu (1) ketidakpastian tentang hasil yang diperoleh di masa mendatang dan (2) kemungkinan akan diperolehnya kegagalan yang tinggi – hasil yang jelek (rugi). Maksud dari jelek di sini adalah hasil yang tidak diinginkan atau tidak dikehendaki.
Apabila dikaitkan dengan preferensi investor terhadap risiko, maka risiko dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) investor yang suka terhadap risiko (risk seeker), (2) investor yang netral terhadap risiko (risk neutrality), (3) investor yang tidak suka risiko (risk averter) (Halim, 2005:42).
Risiko selalu muncul dalam kegiatan apapun, termasuk semua aktivitas bisnis yang kita lakukan (Pramana, 2011:37). Earning Volatility atau biasa disebut Business Risk adalah variabel indikator yang menggambarkan risiko yang diciptakan akibat tidak efisiennya operasional perusahaan, dimana terdapat kegagalan internal kontrol yang mengakibatkan kerugian yang tidak diperkirakan sebelumnya (Pandey, 2001).
Kondisi dan situasi pasar dengan berbagai stabilitas dan instabilitasnya mampu memberikan pengaruh pada kontinuetasdan return perusahaan. Jika situasi dan kondisi tersebut masih ada berada dalam posisi kendali manajemen (management control) maka itu masih dianggap aman, namun jika itu sudah berada di luar kendali (uncontroller) perusahaan akan mengalami risiko, baik secara finansial maupun non finansial.
Financial riskatau risiko keuangan adalah variabel indikator yang menggambarkan kebijakan penggunaan hutang dalam struktur modal perusahaan dimana risiko keuangan diukur dengan rasio variabilitas laba pemegang saham yaitu rasio laba sebelum bunga dan pajak dengan laba bersih sebelum pajak.
Selain itu, perusahaan dengan berbagai instrumen kebijakan yang dimiliki berusaha maksimal untuk meminimalisasi dan bahkan berusaha menghilangkan risiko pasar.Risiko pasar merupakan kondisi yang dialami oleh suatu perusahaan yang disebabkan oleh perubahan kondisi dan situasi pasar di luar kendali perusahaan (Fahmi, 2010:69). Besarnya risiko pasar suatu saham ditentukan oleh beta pasar. Beta pasar menunjukkan hubungan (gerakan) antara saham dan pasarnya (saham secara keseluruhan) (Fahmi, 2012:293).
Dalam pembahasan Model CAPMdan berbagai rumus yang diterapkan beta pasar selalu saja dipergunakan. Beta pasar diartikan sebagai risiko saham sistematis (Fahmi 2012:293). Menurut Jogiyanto (2010:375), beta pasar merupakan pengukur volatilitas (volatility) return suatu sekuritas atau portofolio terhadap returnpasar.
  ini menunjukkan harga saham perusahaan adalah lebih mudah berubah dibandingkan indeks pasar.
  ini menunjukkan tidak terjadinya kondisi yang mudah berubah berdasarkan kondisi pasar.
  ini menunjukkan bahwa kondisinya sama dengan indeks pasar.
Pada saat  menunjukkan kondisi saham menjadi lebih berisiko, dalam arti jika pada saat terjadinya perubahan pasar 1% maka pada saham X akan mengalami perubahan lebih besar 1% atau saham  (Fahmi, 2012:293).
Dengan menghitung besarnya expected return, market risk/ beta pasar, financial risk, dan business risk, investor dapat melihat hubungan antara risiko dan returnsaham suatu investasi industri telekomunikasidi Indonesia.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka penulis tuangkan dalam skripsi yang berjudul “Analisis Risiko Investasi Terhadap ReturnSaham Pada Industri Telekomunikasi di Indonesia”.

Analisis Penggunaan Modal Kerja Dan Pengaruhnya Terhadap Tingkat Profitabilitas Pada Pt. Semen Tonasa (KE-62)



            Dunia usaha memegang peranan penting dalam pembangunan, baik yang diusahakan oleh pemerintah melalui BUMN maupun yang dilaksanakan oleh pihak swasta. Sukses  suatu perusahaan hanya mampu dicapai dengan manajemen yang baik, yaitu manajemen yang mampu mempertahankan kontinuitas perusahaan dengan memperoleh laba yang maksimal karena pada dasarnya tujuan perusahaan adalah memaksimumkan kemakmuran para pemiliknya dan harga pasar sahamnya.
            Agar tujuan tersebut dapat tercapai diperlukan manajemen yang  efisien dan mampu menciptakan rangkaian kerjasama yang teratur di antara masing-masing bagian yang ada dalam perusahaan tersebut. Modal kerja merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi bagian lainnya dalam suatu perusahaan. Modal kerja dapat diperoleh baik dari dalam (laba ditahan dan modal sendiri), maupun dari luar (pinjaman). Modal kerjalah yang menjadi sumber utama dalam menjalankan suatu usaha, misalnya kekurangan bahan baku akan menghambat proses produksi. Jika hal ini terjadi, maka akan mengakibatkan keterlambatan penyerahan barang sehingga kemungkinan besar pelanggan akan beralih pada produk lain, yang artinya profit atau keuntungan perusahaan akan berkurang.


            Mengingat modal kerja sangat penting dalam proses atau jalannya suatu usaha, maka diperlukanlah manajemen modal kerja yang baik. Perlu diingat bahwa aktiva lancar dari suatu perusahaan manufaktur jumlahnya lebih dari setengah jumlah total aktiva, terlebih lagi perusahaan distribusi.
            Untuk jalannya kontinuitas perusahaan, maka perlu adanya modal kerja yang cukup sehingga perusahaan dapat memenuhi kewajiban-kewajiban jangka pendek atau hutang lancarnya dan dapat juga memenuhi pembayaran-pembayaran yang diperlukan untuk kelancaran jalannya perusahaan. Agar modal kerja dapat digunakan secara efektif dan efisien, maka perlu adanya penyesuaian antara modal kerja yang tersedia dengan kebutuhan operasi perusahaan.

            Modal kerja sangat erat kaitannya dengan keuntungan atau tingkat profitabilitas perusahaan. Profitabilitas itu sendiri diukur berdasarkan laba bersih yang diterima oleh perusahaan. Laba bersih menunjukkan jumlah penjualan atau target yang dicapai perusahaan dalam satu tahun atau periode sehingga dapat dijadikan alat ukur terhadap tingkat profitabilitas perusahaan.
            Salah satu perusahaan yang hingga saat ini masih beroperasi secara baik dan lancar adalah PT. Semen Tonasa. Pabrik Semen yang didirikan sejak tahun 1968 hingga saat ini masih mempertahankan jalannya usahanya. Pengelolaan modal kerja yang baik mungkin salah satu faktor keberhasilan perusahaan tersebut. Jika perusahaan terus berjalan secara kontinu dan mempertahankan keuntungannya, bisa jadi profitabilitasnya setiap tahun meningkat tanpa adanya penambahan modal kerja atau malah setiap tahunnya terjadi penambahan modal kerja.
           
            Adapun spesifikasi produk yang dihasilkan oleh PT. Semen Tonasa yaitu :
1. Semen Portland tipe 1, merupakan jenis semen hidrolis yang dibuat dengan menggiling klinker, semen, dan gypsum. Semen jenis ini diproduksi oleh PT. Semen Tonasa sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI).
2. Semen Portland Pozzolan, merupakan semen hidrolis yang terdiri dari campuran homogen antara semen portland dan pozzolan.
3. Semen Portland Komposit, merupakan semen hasil penggilingan bersama antara semen portland dan gypsum dengan satu atau lebih bahan anorganik.

                 Untuk menghasilkan produk-produk di atas pastinya dibutuhkan modal kerja, berikut ini adalah data mengenai total modal kerja bersih yang dimiliki oleh PT. Semen Tonasa periode 2006 – 2010.

Tabel 1.1
Total Modal Kerja PT Semen Tonasa Tahun 2006 - 2010


TAHUN
TOTAL MODAL KERJA BERSIH
(dalam ribuan rupiah)
2006
514.930.954
2007
624.659.221
2008
785.566.051
2009
629.812.863
2010
94.436.866
Sumber : Neraca PT. Semen Tonasa 2011
     Produk semen yang dipasarkan oleh PT. Semen Tonasa telah mencakup seluruh wilayah Indonesia hingga mancanegara.  Berikut data penjulan semen PT. Semen Tonasa se-Indonesia tahun 2006 hingga 2010.

Tabel 1.2
Data Penjualan Semen se-Indonesia PT. Semen Tonasa Tahun 2006 – 2010


TAHUN
JUMLAH PENJUALAN SEMEN
(dalam ton)
2006
2.684.599
2007
2.932.454,85
2008
3.179.982,68
2009
3.664.272,71
2010
3.468.112,93
Sumber : PT. Semen Tonasa 2011

     Berdasarkan data penjualan di atas penjualan semen PT. Semen Tonasa pada umumnya mengalami peningkatan. Dengan penjualan yang mengalami peningkatan tentunya pendapatan yang diperoleh juga bertambah dan kebijakan perusahaan tiap tahunnya juga berbeda. Berikut gambaran awal mengenai kondisi keuangan PT. Semen Tonasa periode 2006 – 2010.





Tabel 1.3
Kondisi Keuangan PT. Semen Tonasa Tahun 2006-2010
(Dalam ribuan rupiah)


TAHUN
AKTIVA LANCAR
TOTAL AKTIVA
KEWAJIBAN LANCAR
LABA BERSIH
2006
802.159.247
1.503.411..326
287.228.293
189.379.965
2007
879.665.144
1.533.638.112
255.005.923
211.704.695
2008
1.196.788.836
1.858.066.211
411.222.785
294.441.494
2009
1.318.430.889
2.401.347.403
688.618.036
429.722.633
2010
1.017.517.644
3.510.477.336
923.080.778
543.587.123
Sumber : Laporan Laba Rugi PT. Semen Tonasa Persero 2011

Berdasarkan data di atas terlihat bahwa tiap tahunnya terjadi peningkatan laba bersih pada PT. Semen Tonasa yang tentunya dipengaruhi oleh penggunaan modal kerja dalam pengoperasian perusahaan. Perolehan aktiva perusahaan setiap tahunnya meningkat yang di ikuti dengan peningkatan jumlah kewajiban yang harus dibayarkan.
Penelitian mengenai modal kerja dan profitabilitas pada PT. Semen Tonasa pernah dilakukan oleh Ruslan Gunawan (2000) dengan judul Analisis Kebutuhan Modal Kerja dan Keterkaitannya dengan Keuntungan pada PT. Semen Tonasa di Pangkep. Menggunakan analisis kebutuhan modal kerja, analisis cash flowdan analisis rasio keuangan (gross profit margin, operating margin, operating ratio, return on investment, dan return on equity) dalam pembahasannya. Melakukan analisis dengan menggunakan data perusahaan  tahun 1995 hingga 1998. Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini adalah kebutuhan modal kerja berkaitan erat dengan tingkat profitabilitas perusahaan, semakin tinggi modal kerja maka semakin tinggi keuntungan yang diperoleh  PT. Semen Tonasa.
Yuliany dalam penelitiannya yang berjudul “ Analisis Tingkat Likuiditas dan Tingkat Profitabilitas pada PT. Semen Tonasa Persero di Kabupaten Pangkep ” tahun 2000 menggunakan data keuangan perusahaan antara tahun 1996 hingga 1999. Dalam penelitiannya mengunakan metode analisis deskriptif yang memaparkan kinerja keuangan PT. Semen Tonasa. Metode analisis rasio likuiditas dan profitabilitas juga digunakan seperti current ratio, quick ratio, cash ratio, gross profit margin, net profit margin, dan return on investment. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan kenaikan positif jumlah aktiva dari tahun ke tahun sehingga tingkat likuiditas menurun karena kenaikan jumlah pinjaman yang jatuh tempo dan kenaikan pembelian bahan baku akibat manajemen tidak memperhatikan kenaikan kurs. Profitabilitaspun mengalami penurunan tiap tahun karena kecilnya laba bersih yang diperoleh PT. Semen Tonasa yang diakibatkan oleh naiknya beban bunga. 
Pada penelitian kali ini, penulis akan membahas lebih lanjut dan mendalam mengenai penggunaan modal kerja dan pengaruhnya terhadap profitabilitas yang diperoleh  perusahaan. Adapun judul dari penelitian tersebut adalah:
            “ ANALISIS PENGUNAAN MODAL KERJA DAN PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT PROFITABILITAS PADA PT SEMEN TONASA DI PANGKEP “

Analisis Pengaruh Variabel Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (Ihsg) Di Bursa Efek Indonesia Periode 1997-2011 (KE-61)



Pasar modal memiliki peranan yang  penting terhadap perekonomian suatu negara karena pasar modal menjalankan dua fungsi, yaitu fungsi ekonomi dan fungsi keuangan. Dalam fungsi ekonomi, pasar modal menyediakan fasilitas untuk mempertemukan dua kepentingan, yaitu pihak yang memiliki kelebihan dana (investor) dan pihak yang memerlukan dana (pihak yang menerbitkan efek atau emiten). Dengan adanya pasar modal, pihak yang memiliki kelebihan dana dapat menginvestasikan dana tersebut dengan harapan memperoleh keuntungan  (return), sedangkan perusahaan (issuer) dapat memanfaatkan dana tersebut untuk kepentingan investasi tanpa menunggu tersedianya dana operasional perusahaan. Dalam fungsi keuangan, pasar modal memberikan kemungkinan dan kesempatan memperoleh keuntungan (return) bagi pemilik dana, sesuai dengan karakteristik investasi yang dipilih.
Pasar modal diharapkan mampu meningkatkan aktivitas perekonomian, karena pasar modal merupakan alternatif  pendanaan jangka panjang bagi perusahaan, sehingga perusahaan dapat beroperasi dengan skala yang lebih besar dan pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan perusahaan dan kesejahteraan bagi masyarakat luas.
Keberadaan pasar modal di Indonesia merupakan salah satu faktor penting dalam pembangunan perekonomian nasional, terbukti telah banyak industri dan perusahaan yang menggunakan institusi ini sebagai media untuk menyerap investasi dan media untuk memperkuat posisi keuangannya. Secara faktual pasar modal telah menjadi pusat saraf finansial (financial nerve centre) pada dunia ekonomi modern dewasa ini, bahkan perekonomian modern tidak akan mungkin dapat eksis tanpa adanya pasar modal yang tangguh dan berdaya saing global serta terorganisir dengan baik. Selain itu, pasar modal juga dijadikan salah satu indikator bagi perkembangan perekonomian suatu negara (Ishomuddin, 2010).

Salah satu indikator utama yang mencerminkan kinerja pasar modal apakah sedang mengalami peningkatan (bullish) ataukah sedang mengalami penurunan (bearish) yaitu indeks harga saham gabungan (IHSG). Karena indeks harga saham gabungan (IHSG) ini mencatat pergerakan harga saham dari semua sekuritas yang tercatat di Bursa Efek Indonesia. Sehingga pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) menjadi perhatian bagi semua investor di Bursa Efek Indonesia, sebab pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) ini akan mempengaruhi sikap para investor apakah akan membeli, menahan ataukah menjual sahamnya.Selain itu kenaikan dan penurunan indeks harga saham gabungan (IHSG) bursa merupakan sebuah ukuran atas persepsi pasar di luar kenaikan dan penurunan nilai tukar valuta asing terhadap rupiah (Manurung, 2004).
Di pasar modal sebuah indeks memiliki beberapa fungsi antara lain: indikator tren pasar, indikator tingkat keuntungan dan tolok ukur (benchmark) kinerja suatu portofolio atau reksa dana (Fakhruddin, 2008). Indikator pasar modal ini dapat berfluktuasi seiring dengan perubahan asumsi-asumsi makroekonomi yang ada. Seiring dengan indikator pasar modal, indikator makroekonomi juga bersifat fluktuatif (Ishomuddin, 2010).
Indeks IHSG mengalami fluktuasi dalam kurun waktu 1997-2011. Kondisi ekonomi dalam negeri maupun kondisi ekonomi secara global memberikan warna tersendiri bagi fluktuasi pergerakan IHSG. Fluktuasi IHSG sebagian besar diakibatkan oleh kejadian-kejadian di luar faktor fundamental perusahaan, seperti keadaan makroekonomi yaitu  Produk Domestik Bruto (PDB), laju inflasi, tingkat suku bunga dan nilai tukar mata uang/ kurs (Thobarry, 2009).
Pasar modal yang ada di Indonesia merupakan pasar yang sedang berkembang yang dalam perkembangannya sangat rentan terhadap kondisi makroekonomi secara umum serta kondisi ekonomi global dan pasar modal dunia. Pengaruh makroekonomi tidak  mempengaruhi kinerja perusahaan secara seketika melainkan secara perlahan dan dalam jangka waktu yang panjang. Sebaliknya harga saham akan terpengaruh dengan seketika oleh perubahan faktor makroekonomi tersebut karena para investor lebih cepat bereaksi. Ketika perubahan makroekonomi itu terjadi, para investor akan memperhitungkan dampaknya baik yang positif maupun yang negatif terhadap kinerja perusahaan beberapa tahun ke depan, kemudian mengambil keputusan membeli, menjual atau menahan saham yang bersangkutan (Samsul, 2006). Oleh karena itu harga saham lebih cepat menyesuaikan diri terhadap perubahan variabel makroekonomi daripada kinerja perusahaan yang bersangkutan.
Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang cepat merupakan indikasi terjadinya pertumbuhan ekonomi. Jika pertumbuhan ekonomi membaik, maka akan berdampak positif terhadap harga saham suatu perusahaan. Pada tahun 2011 pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu dari 2.313,8 trilyun di tahun 2010 ke 2.463,2 trilyun rupiah di tahun 2011 dan diikuti dengan penguatan  IHSG dari  level 3.821,99 bps di tahun 2010 ke level 3.703, 51 bps di tahun 2011.
Depresiasi rupiah dapat terjadi apabila faktor fundamental perekonomian Indonesia tidaklah kuat, sehingga dolar Amerika akan menguat dan akan menurunkan Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia (BEI) (Sunariyah, 2006). Hal ini dapat di lihat pada tahun 2001 di mana kurs rupiah terhadap dollar Amerika mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu dari 8.534 Rp/US$ di tahun 2000 ke level 10.261 Rp/US$ di tahun 2001 dan depresiasi rupiah ini disertai dengan  menurunnya IHSG dari level 416,32 bps di tahun 2000 ke level 392,04 bps di tahun 2001.
Kinerja bursa efek ikut mengalami penurunan jika inflasi meningkat (Tandelilin, 2001). Hal tersebut dapat terlihat pada tahun 1998 dimana tingkat inflasi mencapai 77,63% jauh lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya berkisar  11,05 % dan peningkatan inflasi ini disertai penurunan IHSG sebesar 3,67 bps. Hal ini juga terjadi pada tahun 2001 dan tahun 2008 di mana terjadi peningkatan inflasi yang disertai penurunan IHSG.
Tingginya tingkat suku bunga deposito berakibat negatif terhadap pasar modal. Investor tidak lagi tertarik untuk menanamkan dananya di pasar modal, karena total return yang diterima lebih kecil dibanding dengan pendapatan dari bunga deposito. Akibat lebih lanjut, harga-harga  saham di pasar modal mengalami penurunan yang drastis (Jogiyanto, 2010). Hal ini terbukti pada tahun 2000 dimana BI Rate mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu dari 12.51 % di tahun 1999 ke 14.53 % di tahun 2000 dan peningkatan BI Rate ini disertai dengan penurunan IHSG yaitu dari 676,91 bps di tahun 1999 ke 416,32 bps di tahun 2000.
Berdasarkan gambaran yang telah dikemukakan sebelumnya, kondisi makroekonomi dapat dicerminkan pada indeks harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI). Hal ini berarti anggapan bahwa variabel-variabel makroekonomi merupakan faktor yang dapat mempengaruhi harga saham dalam kasus ini adalah IHSG dapat diterima secara umum (Dedi dan Suyanto dalam Ishomuddin, 2010). Dan berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan maka peneliti tertarik untuk mengambil judul : “ Analisis Pengaruh Variabel Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Di Bursa Efek Indonesia Periode 1997-2011”

Analisis Pengaruh Penanaman Modal Asing Dan Penanaman Modal Dalam Negeri Terhadap Pdrb Di Provinsi Sulawesi Selatan Periode 2000-2009 (KE-60)



Pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting dari pembangunan nasional dengan tujuan akhir untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Pembangunan ekonomi dalam suatu daerah atau negara dapat dilihat dari perkembangan pertumbuhan ekonominya dalam jangka panjang yang tercermin dari perkembangan PDRB-nya.
Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional yang memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat yang bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Penyelenggaraan pemerintah daerah sebagai sub sistem negara dimaksudkan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan masyarakat. Sebagai daerah otonom, Kabupaten/Kota untuk bertindak sebagai ”motor” sedangkan pemerintah propinsi sebagai koordinator mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan  kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat dan pertanggung jawaban kepada masyarakat.
Salah satu tolak ukur penting dalam menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi yang menggambarkan suatu dampak nyata dari kebijakan pembangunan yang dilaksanakan. Pertumbuhan ekonomi berkaitan erat dengan proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Menurut Djojohadikusumo (1993) dalam pertumbuhan ekonomi biasanya ditelaah proses produksi yang melibatkan sejumlah jenis produk dengan menggunakan sarana dan prasarana produksi.
Pembangunan di Provinsi Sulawesi Selatan yang berlangsung secara menyeluruh dan berkesinambungan telah meningkatkan perekonomian masyarakat merupakan agregat pembangunan dari 23 Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan yang tidak terlepas dari usaha keras bersama antara pemerintah dan swasta. Namun di sisi lain berbagai kendala dalam memaksimalkan potensi sumber daya manusia dan sumber modal masih dihadapi oleh penentu kebijakan di tingkat provinsi maupun di kabupaten/kota.

Sebagai ilustrasi, selama periode 2000-2009, perekonomian Sulawesi Selatan relatif stabil dengan rata-rata pertumbuhan 6,34 persen pertahun. Sejak pasca krisis ekonomi, pada periode ini ekonomi mulai membaik walaupun belum lebih baik dibanding saat sebelum krisis tahun 1997, namun dari tahun ke tahun tampak terjadi peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan yang semakin membaik, yakni pada tahun 2000 tumbuh 4,89 persen, kemudian tumbuh 5,23 persen pada tahun 2001, meningkat tajam pada tahun 2002 dengan tingkat pertumbuhan 9,52 persen, tahun 2003 pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan menurun dari tahun sebelumnya dengan tingkat pertumbuhan 6,05 persen. Tahun 2004 pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan kembali mengalami penurunan yang signifikan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi 5,26 persen. Pada tahun 2005 pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan meningkat dari tahun sebelumnya dengan tingkat pertumbuhan 6,05 persen, tahun 2006 meningkat kembali dengan tingkat pertumbuhan 6,72 persen, tahun 2007 pertumbuhan ekonomi Sulawesi selatan menurun dari tahun sebelumnya dengan tingkat pertumbuhan ekonomi 6,34 persen, tahun 2008 pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan meningkat tajam dengan tingkat pertumbuhan 7,78 persen, dan pada tahun 2009 pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan mengalami penurunan dari tahun sebelumnya dengan tingkat pertumbuhan 6,2 persen.
Selama periode 1999-2010 pertumbuhan perekonomian Sulawesi Selatan relatif lebih baik bila dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Pada tahun 2005 misalnya, ekonomi Sulawesi Selatan tumbuh cukup baik yakni sekitar 6,05 persen. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, telah mengubah konsep dan kewenangan daerah yang ada selama ini. Undang-undang ini memiliki makna substansial dalam pemberian kewenangan daerah yang semula ditujukan atas dasar porsi kebijakan pusat yang menonjol dalam pembagian kewenangan pusat-daerah selanjutnya diarahkan menjadi kemandirian daerah dalam mengelola kawasannya termasuk kebijakan-kebijakan dalam pembiayaan.
Konsekuensi logis dari hal tersebut berdampak terhadap kemajuan perekonomian daerah yang pada akhirnya terciptanya peningkatan pembangunan daerah dengan memperhatikan potensi dan keaneka ragaman daerah. Oleh karena itu sudah menjadi tuntutan daerah untuk dapat mengembangkan potensi yang dimiliki guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerahnya. Menurut Todaro (1999) ada tiga faktor atau komponen utama yang berpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi suatu daerah, ketiganya adalah akumulasi modal, pertumbuhan penduduk dan kemajuan teknologi. Akumulasi modal (capital accumulation) meliputi semua jenis investasi baru baik yang dilakukan oleh pemerintah ataupun swasta yang ditanamkan dengan bentuk tanah, peralatan fisik, dan modal sumber daya. Akumulasi modal akan terjadi apabila sebagian dari pendapatan ditabungkan (diinvestasikan) kembali dengan tujuan untuk memperbesar output atau pendapatan di kemudian hari.
Pentingnya peran pemerintah dalam suatu sistem perekonomian telah banyak dibahas dalam teori ekonomi publik. Selama ini banyak diperdebatkan mengenai seberapa jauh peranan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah. Hal ini dikarenakan setiap orang berbeda dalam penilaian mengenai biaya keuntungan yang diperoleh dari program yang dibuat oleh pemerintah. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan masyarakat selama ini sangat bergantung kepada jasa yang disediakan oleh pemerintah. Banyak pihak yang mendapatkan keuntungan dari aktivitas dan pengeluaran pemerintah. Beberapa hasil penelitian menunjukkan peranan yang positif dari modal publik terhadap pertumbuhan ekonomi (Aschauer, 1999).
Tujuan pembangunan ekonomi adalah mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Dalam tingkat pencapaian tujuan pembangunan ekonomi tersebut, pemerintah sering diperhadapkan oleh berbagai macam permasalahan yang timbul dalam perekonomian, seperti tingkat inflasi yang tinggi, defisit neraca pembayaran, ketidakstabilan kegiatan ekonomi, tingkat pengangguran yang tinggi dan sebagainya. Dalam menghadapi permasalahan seperti ini, diperlukan suatu kebijakan dalam rangka untuk mengurangi, menghilangkan, atau mencegah timbulnya permasalahan tersebut. Oleh karena permasalahan tersebut secara langsung menyangkut variabel-variabel ekonomi secara agregat, maka kebijakan yang dapat dilakukan adalah melalui kebijakan pengeluaran pemerintah daerah. Dimana kebijakan pengeluaran pemerintah daerah merupakan bagian dari kebijakan fiskal yang bertujuan agar tercapainya kestabilan ekonomi yang lebih mantap.
Dalam rangka mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif dan efisien dengan memberdayakan pelaku dan potensi ekonomi yang dimiliki daerah tersebut, dimana harus senantiasa memperhatikan penataan ruang baik fisik maupun sosial tentang Pemerintah Daerah, maka pemerintah daerah diharapkan mampu menghasilkan kebijakan pembangunan yang melibatkan semua pihak (stakeholder), dimana hasilnya dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat serta dapat mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Secara umum peranan pengeluaran pemerintah daerah yang dibiayai APBD khususnya pengeluaran untuk human capital dan infrastruktur fisik, dapat mempercepat pertumbuhan, tetapi pada sisi lain pembiayaan dari pengeluaran pemerintah tersebut dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi. Hal ini sangat tergantung pada sejauh mana produktifitas pengeluaran pemerintah tersebut dan distorsi pajak yang ditimbulkannya, yang mana dalam konteks ini pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi total output (PDRB).
Kebijakan pengeluaran pemerintah daerah yang dituangkan dalam APBD memerlukan perhatian terutama dalam hal pendistribusian anggaran, sehingga dapat menghasilkan sumber-sumber pendapatan baru bagi daerah. Kebijakan pengeluaran baru pemerintah daerah yang secara langsung dapat mendorong pertumbuhan ekonomi adalah belanja pembangunan karena variabel ini diwujudkan dalam bentuk pembangunan prasarana ekonomi dan sosial seperti jalan, jembatan dan pembangunan prasarana sektor-sektor ekonomi lainnya.
Selain pengeluaran pemerintah, variabel lain yang juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi adalah investasi swasta yang secara akumulatif memiliki nilai investasi dan output/produksi yang lebih besar dan selanjutnya dapat mendorong meningkatnya pendapatan masyarakat. Dalam konteks pembangunan ekonomi, investasi atau penanaman modal merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan, sebab dengan investasi kita dapat mengubah sumber daya manusia menjadi kekuatan ekonomi nyata. Melalui kegiatan investasi akan dihasilkan barang dan jasa untuk memperluas kesempatan berusaha, melaksanakan alih teknologi dan sebagainya. Hal ini diselaraskan dengan kenyataan bahwa investasi dapat menghasilkan barang dan jasa yang pada akhirnya akan menghasilkan dan meningkatkan pendapatan.
Dengan meningkatnya investasi yang dapat meningkatkan kapasitas produksi yang diharapkan dapat meningkatkan produktivitas untuk menghasilkan output dan nilai tambah, sehingga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Peningkatan kapasitas produksi tersebut dapat diperoleh melalui investasi swasta (Private Investment) yang bisa disebut dengn penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun investasi luar negeri yang disebut dengan Penanaman Modal Asing (PMA).
Keberhasilan daerah untuk meningkatkan daya tariknya terhadap investasi salah satunya tergantung dari kemampuan daerah dalam merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan investasi dan dunia usaha serta peningkatan kualitas pelayanan terhadap masyarakat. Hal yang juga penting diperhatikan dalam upaya menarik investor, selain makroekonomi yang kondusif juga adanya pengembangan sumber daya manusia dan infrastruktur dalam artian luas. Selain itu kemampuan daerah untuk meneyukan faktor-faktor yang dapat digunakan sebagai ukuran daya saing perekonomian daerah terhadap daerah lainnya juga sangat penting dalam upaya meningkatkan daya tariknya dan memenangkan persaingan.
Sulawesi selatan memiliki sumber daya alam yang cukup potensial untuk di kembangkan oleh para investor diberbagai sektor.potensi tersebut sampai saat ini belum dikelola secara maksimal oleh para pengusaha yang ada dan oleh karenanya,masih terbuka lahan investasi untuk dikembangkan lebih lanjut.selain itu, tersedianya berbagai infrastruktur yang mamadai serta iklim investasi yang kondusif  menjadikan sulawesi selatan sebagai daerah alternativ bagi investor untuk berinvestasi.beberapa indikator yang menggambarkan besarnya potensi dan peluang investasi di sulawesi selatan dapat dilihat sebagai berikut total wilayah sulawesi selatan mencapai 62.361,71 kmpersegi yang mencapai 5% dari lahan tersebut dapat ditanami,24% lahan tambak, 22.7% kolam air payau yang cocok untuk budidaya komoditi udang dan tingginya laju sektor perdagangan menjadikan sulawesi selatan merupakan pintu gerbang memasuki wilayah kawasan timur indonesia yang dilengkapi oleh kelengkapan infrastruktur sehingga pada tahun 1999 nilai investasi sebesar Rp.713,1 milyar dan meningkat sangat drastis menjadi Rp.29.982 milyar lebih pada tahun 2000. Kemudian setelah itu dalam tahun 2002 ,PMDN turun menjadi Rp.146 M dan mulai bankit kembali pada tahun 2003 hingga 2006.Pada tahun 2007 PMDN kembali turun namun menjadi masih lebih baik dibandingkan periode tahun 2002-2003 dengan nilai Rp.245 M .investasi sebesar itu terutama dipergunakan bagi sektor perdagangan,Hotel,dan restoran senilai Rp.186.36 milyar, sektor industri Rp.54.26 milyar atau 22,18% dan sisanya dengan nilai kurang dari 1 persen masing-masing digunakan oleh sektor pertanian dan jasa, dan pada tahun 2008 investasi meningkat di sektor jasa dengan PMDN Rp.1.213.999 triliun dalam juta dan PMA Rp.611.550 Milyar hingga ketahun 2009. Memposisikannya sebagai pusat pelayanan di wilayah indonesia timur, sulawesi selatan memiliki penduduk muda di bawah umur 25 tahun sebesar 51.7% yang merupakan jaminan tersedianya suplai tenaga kerja.
Pertumbuhan ekonomi pada lima tahun terakhir mencerminkan dinamisnya perekonomian nasional yang mempunyai rata-rata 4.5% pertahun. Pertumbuhan ekonomi pada lima tahun terakhir mencerminkan dinamisnya perekonomian nasional yang mempunyai rata-rata 4.5% pertahun.
Berdasarkan uraian yang dikemukakan diatas, maka hal ini mendorong penulis untuk membahas secara rinci mengenai pengaruh investasi pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi di provinsi sulawesi selatan terhadap faktor-faktor ekonomi yang mempengaruhinya dalam bentuk skripsi yang berjudul : “Analisis Pengaruh Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal dalam Negeri Terhadap PDRB di Provinsi Sulawesi Selatan Periode 2000-2009.