Kebebasan individu dan kemerdekaan telah menjadi bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM).Penindasan, dalam bentuk apa pun, merupakan pelanggaran atas nilai-nilai universal HAM. Kesadaran politik masyarakat dunia juga sudah semakin mengglobal. Isu dan usaha penegakan HAM sudah tidak lagi bersifat personal atau eksklusif tetapi menjadi perjuangan bersama, perjuangan internasional dunia. Banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi di dunia, terlebih lagi pada wilayah konflik. Bukan hanya militer yang berjuang dan menjadi korban, bahkan warga sipil, wanita,dan anak-anak, yang tidak berdosa ikut menjadi korban nyawa. Salah satunya adalah pelanggaran HAM oleh China terhadap masyarakat Tibet. Tibet sebenarnya merupakan wilayah yang begitu indah dan banyak diminati wisatawan, tetapi keberadaan peristiwa ini membuat Tibet kehilangan keindahan tersebut. Daerah dengan suhu rendah itu justru memanas karena pemberontakan yang berlangsung puluhan tahun.
Peristiwa ini berawal saat jatuhnya Dinasti Qing tahun 1912, bersamaan dengan itu, Dalai Lama ke-13, Pemimpin Spiritual Tibet, mendeklarasikan kemerdekaan Tibet. Namun, kemerdekaan tersebut tidak bertahan lama karena direbut oleh China pada masa Pemerintahan Mao Tse Dong tahun 1949. Militer China melancarkan invasi ke Lasha, Ibu Kota Tibet. Tindakan China itu tidak membuat Tibet menyerah begitu saja. Meski merasakan dampak kemajuan ekonomidi wilayah mereka, pemberontakan tetap terjadi.
Pemberontakan terhadap Pemerintah China di wilayah Tibet terjadi pada 10 Maret 1959, tapi dihentikan oleh China dalam beberapa pekan, hingga memaksa Dalai Lama untuk melarikan diri ke pengasingan, India. Keberlangsungan hidup rakyat Tibet berada di bawah rezim Beijing. Sejak itu pula, dimulai pembatasan beragama, penindasan, penyiksaan, pelecehan, dan segala bentuk pelanggaran HAM oleh aparat militer China terhadap gerakan perlawanan Tibet. Ribuan jiwa menjadi korban nyawa dalam berbagai serbuan, serangan, serta tindakan militer lainnya bagi para pembangkang.Demonstrasi para pemberontak itu kembali terjadi tahun 2008, meluas dalam beberapa hari, sehingga menjadi kerusuhan di seluruh Tibet dan wilayah-wilayah yang berdekatan dengan penduduk etnis Tibet.[1] Sperling Elliot, penulis buku “Tibet Since 1950’s: Silent, Prison, or Exile”, memberikan pernyataan pada Komite Senat Hubungan Luar Negeri Asia Timur dan Pasifik, ia menjelaskan bahwa Tibet telahlebih dari satu dekade, menjadi tempat terjadinya pelanggaran HAMpaling nyata dan mengerikan yang dilakukan oleh China.[2]
Human Rights Watch (HRW), sejak tahun 1987, telah memantau dan melaporkan secara ekstensif pelanggaran yang terjadidi Tibet. Secara umum, dengan adanya pendataan terhadap kasus ini, perhatian yang lebih besar dilimpahkan oleh Pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk Tibet. Misalnya, pelanggaran HAMTibet telah dibahas signifikan dalam tinjauan tahunan Departemen Luar Negeri Internasional.
Salah satu keprihatinan besar, yaitu pelanggaran kebebasan beragama dan pelaksanaan ibadah oleh Pemerintah China. Kebijakan yang ditujukan untuk menundukkan praktek keagamaan bukan hanya masalah propaganda dan persuasi. Sebaliknya, kebijakan ini melanggar kebebasan individu Tibet untuk mengekspresikan keyakinan agama mereka yang diterapkan melalui pemaksaan, represi kekerasan, dan penjara. Salah satu yang terlihat adalah kampanye yang sedang berlangsung berupa "pendidikan patriotik", yang bertujuan merusak dan menghilangkan pengaruh Dalai Lama di Tibet. Selain itu, ada pula yang tertekan oleh otoritas China, mereka adalah biara-biara dan menempatkan kuil di bawah sekuler dalam rangka mengimplementasikan kontrol pemerintah yang lebih besar dari agama Tibet.
Tashi Tsering, seorang warga Tibet ditangkap di Lhasa, Ibukota Tibet pada bulan Agustus 1999, saat mencoba mengangkat bendera Tibet di sebuah lapangan umum. Ia sempat dipukuli sebelum akhirnya dibawa pergi oleh petugas keamanan umum. Pada bulan Maret 2000, dia dilaporkan telah bunuh diri di penjara sebulan sebelumnya. Pada bulan April 2000, laporan kematian terus bertambah. Sonam Rinchen, seorang petani dari sebuah kota dekat Lhasa, dia telah ditangkap dengan dua orang lainnya pada tahun 1992 saat membentangkan bendera Tibet selama protes dan dijatuhi hukuman lima belas tahun penjara.[3] Sebuah studi oleh Tibet Information Network menunjukkan jumlah kematian tahanan di penjara Drapchi Lhasa pada tahun 1998-1999 sekitar 1 dari 24 jiwa.[4] Beberapa diantaranya dilaporkan sebagai kasus bunuh diri. Tindakan keras Pemerintah China sudah termasuk upaya menutup negara itu dari dunia luar, menutup akses keluar, juga kontrol atas media, termasuk media internet dan situs yang digunakan untuk menampilkan rekaman gambar yang terjadi sebenarnya.
China saat ini tidak lagi sama dengan puluhan tahun lalu. China telah memiliki perekonomian yang eksklusif, negara dengan penduduk padat ini telah mendominasi pasar internasional. Keberhasilan ekonomi menjadikan negara matahari terbit sebagai negara besar, meskipun masih berada di bawah pemerintahan komunis. Pemerintahan Hu Jintao yang berlangsung sejak Maret 2003 hingga saat ini, masih dianggap sebagai penentu masa depan Tibet, eksistensi China di dunia internasional, dan juga hubungan antara China dan AS. Sejarah menceritakan bahwa antara AS dan China merupakan dua kubu yang sangat berbeda, liberalisme yang berkembang di AS, komunisme yang dipertahankan China. Dahulu mungkin AS tidak khawatir dengan perbedaan tersebut, namun perkembangan China sepuluh tahun belakangan ini cukup drastis, sehingga membuat AS perlu mengamati lebih arah kepentingan nasional China.
AS yang terkenal dengan keterlibatannya dalam beberapa konflik internal negara, dari konflik Israel-Palestina hingga Libya. Tindakan AS telah mendapat respon pro dan kontra dari para pengamat dan masyarakat internasional. AS terkesan senang mencampuri urusan dalam negeri negara lain, termasuk dalam kasus pelanggaran HAM di Tibet. Tanggal 18 November 1964, Dalai Lama mengirimkan surat pada Presiden AS saat itu, Lyndon B. Johnson, isinya adalaha permintaan untuk membantu perjuangan rakyat Tibet dan mengharapkan bantuannya dalam mengangkat isu Tibet dalam perbincangan internasional, agar perjuangan Rakyat Tibet mendapat perhatian dunia[5]. Johnson membalas surat tersebut dengan menyatakan kesediaan AS untuk membantu Tibet.
Penulis telah membaca beberapa artikel, serta berita-berita mengenai pertemuan Dalai Lama dengan para Presiden AS, seperti pertemuan 16 Oktober 2007 di Gedung Putih[6] hingga beberapa pertemuan antara Presiden AS dengan Presiden China membahas khusus tentang Tibet. Misalnya pertemuan G.W.Bush dengan Hu Jintao, 26 Maret 2008 di Washington[7]. Pertemuan antara kepala negara tentu mengundang banyak pertanyaan, apalagi dilakukan oleh kedua negara besar dan berlawanan dalam hal ideologi pemerintahan. Apakah ini bentuk intervensi atau ada kepentingan khusus yang menjadi tujuan dari kedua negara tersebut? Inilah alasan sehingga penulis tertarik untuk mengangkat judul “Intervensi Amerika Serikat terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia di China (Studi Kasus : Tibet)”
0 komentar:
Posting Komentar