Pages

Sabtu, 17 April 2010

(015) TIJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN SANKSI PIDANA BAGI ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Apabila kita berbicara masalah hukum, maka kita akan dihadapkan dengan hal – hal yang berkaitan dengan kegiatan pergaulan hidup manusia dimasyarakat yang diwujudkan sebagai proses interaksi dan interrelasi antara manusia yang satu dengan manusia lainnya didalam kehidupan bermasyarakat.

Dalam pergaulan hidup dimaksud pada hakekatnya setiap manusia bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan materil ataupun immaterial.Dimana didalam upaya mencapai tujuan tersebut, tidak sedikit kemungkinan timbul kebersamaan bahkan mungkin sebaliknya tidak sedikit yang saling bertubrukan atau bertentangan satu sama lainnya. Pertentangan yang timbul akan mengakibatkan adanya suatu kekacauan atau kerusuhan bahkan kemungkinan dapat menimbulkan tindakan anarkis, sedangkan kondisi yang sedemikian bukanlah merupakan hal yang dicita – citakan dalam pergaulan hidup bermasyarakat, karena hal yang dicita – citakan oleh masyarakat dalam pergaulan hidupnya adalah tercpitanya kehidupan yang tertib,damai dan tentram.

Demi terciptanya kehidupan yang aman dan tertib,damai dan tentram tersebut maka penguasa dalam hal ini Negara telah menciptakan ketentuan – ketentuan berupa norma –norma atau kaidah – kaidah yang menentukan bagaimana seharusnya bertingkah laku dalam masyarakat, sehingga dengan demikian pelanggaran terhadap norma – norma atau kaidah – kaidah tersebut akan dikenakan sanksi atau hukuman baik berupa penderitaan atau nestapa.

Norma – norma atau kaidah – kaidah hukum dalam hidup bermasyarakat pada dasarnya bermacam – macam dan dinamakan norma social yang diantaranya norma hukum itu sendiri.

Menurut Kansil,kaidah atau norma – norma hukum itu adalah :

“Peraturan hidup bermasyarakat yang bersifat mengatur dan memaksa untuk menjamin tata tertib dalam pergaulan hidup bermasyarakat”.[1])

Pelanggaran terhadap kaidah hukum yang berupa terganggunya rasa keadilan yang dirasakan sedemikian rupa dan mendalam, maka reaksi yang ditekankan adalah berupa reaksi yang ditentukan oleh kekuasaan pemegang kedaulatan hukum yaitu penguasa atau Negara.

Menurut SATOCHID KARTANEGARA selaras dengan pendapatnya SIMONS merumuskan hukum pidana adalah sebagai berikut :

“Sejumlah peraturan – peraturan yang merupakan bagian dari hukum positif yang mengandung larangan – larangan dan keharusan – keharusan sebagaimana yang ditentukan oleh Negara atau kekuasaan lain yang berwenang untuk menentukan peraturan –peraturan pidana : Larangan atau keharusan mana disertai dengan ancaman pidana,dan apabila hal ini dilanggar timbullah hak dari Negara untuk melakukan tuntutan menjalankan pidana dan melaksanakan pidana”.[2])

Sebagaimana kita ketahui Indonesia merupakan Negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang –Undang Dasar 1945. Penegakan hukum merupakan salah satu usaha penting dalam menciptakan tata tertib ketentraman dalam masyarakat ,baik yang

Bersifat preventif maupun represif,setelah terjadinya pelanggaran hukum . Oleh karena itu sangat diperlukan adanya undang – undang yang menjadi dasar hukum yang sesuai dengan falsafah Negara dan pandangan hidup bangsa kita. Dengan demikian diharapkan adanya kesatuan gerak, langkah dan pandangan dalam rangka penegakan hukum sehingga dicapai sasaran semaksimal mungkin.

Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita – cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Dalam mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dan mampu memimpin serta memelihat kesatuan dan persatuan bangsa dalam wadah kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Undang – Undang Dasar 1945.

Masalah kenakalan anak dewasa ini tetap merupakan persoalan yang aktual, hampir di semua Negara – Negara di dunia termasuk Indonesia. Perhatian terhadap masalah ini telah banyak dicurahkan pemikiran, baik dalam bentuk diskusi – diskusi maupun dalam seminar – seminar yang mana telah diadakan oleh organisasi – organisasi atau instansi – instansi pemerintah yang erat hubungan dengan masalah ini.

Adapun proses pembinaan anak dapat dimulai dalam suatu kehidupan keluarga yang damai dan sejahtra lahir dan bathin. Pada dasar kesejahteraan anak tidak sama, tergantung dari tingkat kesejahteraan orang tua mereka. Kita dapat melihat di Negara kita masih banyak anak yang tinggal di daerah kumuh dan diantaranya harus berjuang mencari nafkah untuk membantu keluarga. Kemiskinan, pendidikan yang rendah, keluarga yang berantakan dan lingkungan pergaulan akan mempengaruhi kehidupan atau pertumbuhan seorang anak.

Dan hal tersebut merupakan merupakan dasar yang melatarbelakangi seorang anak untuk melakukan tindak pidana atau kejahatan. Menghadapi dan menanggulangi berbagai perbuatan dan tingkah laku anak nakal, perlu dipertimbangkan kedudukan anak dengan segala cirri dan sifatnya yang khas. Walaupun anak telah dapat menentukan sendiri langkah perbuatan berdasarkan pikiran,perasaan dan kehendaknya, tetapi keadaan disekitar dapat mempengaruhi perilakunya. Oleh karena itu anak nakal, orang tua dan masyarakat sekitarnya seharusnya lebih bertanggungjawab terhadap pembinaan,pendidikan,dan pengembangan perilaku tersebut. Mengingat sifatnya yang khusus yang memberikan landasan hukum yang bersifat nasional bagi generasi muda melalui tatanan Peradilan khusus bagi anak – anak yang mempunyai perilaku yang menyimpang dan melakukan pelanggaran hukum. Yang dimaksud untuk memberikan pengayoman dalam upaya pemantapan landasan hukum sekaligus memberikan perlindungan hukum kepada anak – anak Indonesia yang mempunyai sifat perilaku menyimpang, karena dilain pihak mereka merupakan tunas – tunas bangsa yang diharapkan berkelakuan baik dan bertanggungjawab.

Jadi perlakuan hukum pada anak sudah selayaknya mendapatkan perhatian yang serius karena bagaimana pun anak – anak ini adalah masa depan suatu bangsa. Oleh karena itu dalam pengambilan keputusan, hakim harus yakin benar bahwa keputusan yang diambil akan dapat menjadi satu dasar yang kuat untuk mengembalikan dan mengatur anak menuju masa depan yang baik untuk mengembangkan dirinya sebagai warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi kehidupan bangsa.

Berdasarkan hal – hal tersebut diatas, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian yang dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “TIJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN SANKSI PIDANA BAGI ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 DIHUBUNGKAN DENGAN PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BANDUNG VIDE PUTUSAN NOMOR 44/PID/B/2005/PN.BDG”

B. Identifikasi Masalah

Dengan bertitik tolak dari latar belakang masalah dan pemilihan judul sebagaimana tersebut diatas maka pembahasan selanjutnya akan bertumpu pada identifikasi masalah yaitu :

  1. Kualifikasi perbuatan yang dilakukan anak di bawah umur dalam Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 44/PID/B/2005/PN.BDG
  2. Kesalahan sebagai dasar pertanggungjawaban pidana bagi anak di bawah umur dalam Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 44/PID/B/2005/PN.BDG
  3. Efektifitas sanksi pidana yang dijatuhkan oleh Hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 44/PID/B/2005/PN.BDG

C. Maksud dan Tujuan Penulisan

Adapun maksud dan tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut :

  1. Untuk mengetahui kualifikasi perbuatan yang dilakukan oleh anak di bawah umur dalam Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 44/PID/B/2005/PN.BDG
  1. Untuk mengetahui bagaimana bentuk kesalahan sebagai dasar pertanggungjawaban pidana dalam Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 44/PID/B/2005/PN.BDG
  2. Sampai sejauhmana efektifitas sanksi pidana yang dijatuhkan oleh Hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 44/PID/B/2005/PN.BDG

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan yang diharapkan dari penelitian adalah sebagai berikut :

  1. Kegunaan secara teoritis yaitu :

Secara teoritis ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan hukum pidana materil, khususnya dalam Undang – undang Repubilk Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang peradilan anak.

  1. Kegunaan Praktis yaitu :

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada para praktisi hukum terutama penyidik dan para hakim yang bertugas menangani perkara pidana anak dan bagi pihak – pihak yang berkepentingan lainnya yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai pokok permasalahan yang dibahas dalam penulisan skripsi ini.

E. Kerangka Pemikiran

Pasal 1 Undang – undang No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menyebutkan bahwa anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun.-

Belum pernah kawin, maksudnya tidak terikat dalam perkawinan atau pernah kawin dan kemudian cerai. Apabila si anak terikat dalam suatu perkawinan atau perkawinannya putus karena perceraian maka si anak dianggap sudah dewasa. Walaupun umurnya belum 18 (delapan belas ) tahun.

Sedangkan menurut Kitab Undang – Undang Hukum Pidana dalam pasal 45 adalah anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun. Oleh karena itu,apabila ia tersangkut perkara pidana hakim boleh memerintahkan supaya si bersalah itu dikembalikan kepada orang tua, wali atau pemeliharanya dengan tidak dikenakan pidana, atau memerintahkannya supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenai sanksi pidana.

Anak menurut hukum perburuhan, berdasarkan pasal 1 ayat 1 Undang – undang Pokok Perburuhan (UU NO 12 TAHUN 1998) mendefinisikan anak adalah orang laki – laki atau perempuan yang berumur 14 tahun ke bawah.[3])

Terhadap anak nakal yang belum berumur 12 tahun dan melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 2 huruf a Undang – undang No 3 Tahun 1997, yang diancam dengan pidana penjara sementara waktu, tidak diancam dengan pidana mati / seumur hidup dijatuhkan sanksi akan tetapi dikenakan sanksi berupa tindakan, untuk dapat diajukan kesidang Pengadilan Anak maka anak nakal minimum telah berumur 8 tahun dan maksimum 18 tahun. Sanksi terhadap anak nakal yang melakukan tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 1 angka 2 huruf b Undang – undang No 3 Tahun 1997-.

Dapat diberikan tindakan disertai dengan teguran dan syarat – syarat tambahan yang ditetapkan oleh hukum. Syarat tambahan 1 tahun misalnya kewajiban untuk melapor secara periodik kepada Pembimbing Pemasyarakatan. Untuk menentukan apakah si anak dapat dikenakan sanksi pidana (Pasal 23 UU No 3 Tahun 1997) atau tindakan (Pasal 24 UU No 3 Tahun 1997) haruslah dengan memperhatikan berat ringannya kejahatan atau kenakalan yang dilakukan. Selain itu juga wajib memperhatikan keadaan anak, keadaan rumah tangga orang tua / wali / orang tua asuh, hubungan antar keluarga, keadaan rumah huniannya dan memperhatikan laporan pembimbing pemasyarakatan.

Bahwa sebagai pengaruh kemajuan iptek, kemajuan budaya, dan perkembangan pembangunan pada umumnya bukan hanya orang dewasa, tetapi anak – anak juga terjebak melanggar norma – norma terutama norma hukum. Anak – anak terjebak dalam konsumenrisme dan asosial yang makin lama dapat menjurus ke tindakan kriminal seperti ekstasi, narkotika, pemerasan, pencurian ,penggelapan,penganiayaan, pemerkosaan,dan sebagainya. Apalagi dalam era sekarang ini banyak orang tua yang selalu disibukan dengan mengurus pemenuhan duniawi (materil) sebagai upaya mengejar kekayaan, jabatan, atau gengsi. Dalam kondisi yang demikian anak sebagai buah hati sering dilupakan kasih sayangnya, bimbingan, pengembangan sikap dan perilaku, serta pengawasan orang tua.[4])

Anak yang kurang atau tidak memperoleh perhatian secara fisik, mental maupun sosial sering berperilaku dan bertindak asosial dan bahkan anti social yang merugikan dirinya, keluarga, dan masyarakat. Untuk itu salah satu pertimbangan dalam konsideran Undang – undang No 3 Tahun 1997 menyatakan : “bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita – cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri , sifat khusus,memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik , mental, dan sosial secara utuh, serasi selaras dan seimbang”.[5])

Jadi penjatuhan pidana sebagai upaya pembinaan dan perlindungan anak merupakan faktor penting. Salah satu upaya Pemerintah bersama DPR adalah terbitnya Undang – undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang – undang itu diundangkan tanggal 3 Januari 1997 ( Lembaran Negara 1997 No 3 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3668) dan mulai diberlakukan satu tahun kemudian yaitu 3 Januari 1998.

Melalui Undang – undang No. 3 Tahun 1997 diatur perlakuan khusus terhadap anak – anak nakal, yang berbeda dengan pelaku tindak pidana orang dewasa. Misalnya ancaman pidana ½ (satu perdua) dari ancaman maksimum pidana orang dewasa, tidak dikenal pidana penjara seumur hidup atau pun pidana mati dan sebagainya. Hal itu bukan berarti menyimpang dari prinsip equality before the law, ketentuan demikian dalam rangka menjamin pertumbuhan fisik dan mental secara utuh bagi anak.

Undang – undang Peradilan Anak yang tertuang dalam Undang – undang No 3 Tahun 1997 mengatur banyak hal kekhususan, selain itu juga melibatkan beberapa lembaga / institusi diluar Pengadilan, seperti pembimbing pemasyarakatan dari Departemen Kehakiman , pekerja social dari Departemen Sosial, dan pekerja sukarela dari organisasi kemasyarakatan. Adanya ketentuan prosedur, mekanisme, dan lembaga – lembaga yang mana baru itu memerlukan antisipasi dini bagi aparat terkait.

Bagi Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Penasihat Hukum merupakan hal biasa dalam proses penyidangan perkara pidana, namun dengan banyaknya kekhususan dalam Undang – undang nomor 3 tahun 1997, sebaiknya aparat penegak hukum tersebut harus berupaya mendalami dan memahami kandungan dan filosofi dari Undang – undang tersebut. Di luar itu, kerja sama dan koordinasi dalam pelaksanaan Undang – undang tersebut merupakan hal yang penting.

Adapun tindakan yang dapat dikenakan kepada anak – anak (Pasal 24 UU NO 3 TAHUN 1997) adalah sebagai berikut: [6])

a. Dikembalikan kepada orang tua / wali / orang tua asuh, anak nakal yang dijatuhi tindakan dikembalikan kepada orang tua / wali / orang tua asuhnya, apabila menurut penilaian hakim si anak masih dapat di bina di lingkungan orang tua/ wali /orang tua asuhnya (Pasal 24 ayat (1) huruf a UU NO 3 TH 1997). Namun demikian si anak tersebut tetap dibawah pengawasan dan bimbingan pembimbing kemasyarakatan antara lain untuk mengikuti kegiatan ke pramukaan, dan lain – lain.

b. Diserahkan Kepada Negara

Dalam hal menurut penilaian hakim pendidikan dan pembinaan terhadap anak nakal tidak lagi dilakukan di lingkungan keluarga, maka anak itu diserahkan kepada Negara dan disebut sebagai anak Negara (Pasal 24 UU No 3 TH 1997). Untuk itu si anak ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak dan wajib mengikuti pendidikan, pembinaan,dan latihan kerja. Tujuannya untuk memberi bekal keterampilan – keterampilan kepada anak dengan memberikan keterampilan mengenai pertukangan, perbengkelan, tata rias, dan sebagainya selesai menjalani tindakan itu si anak diharapkan mampu mandiri.

c. Diserahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan.

Tindakan lain yang mungkin dijatuhkan oleh hakim kepada anak nakal adalah menyerahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan latihan kerja untuk dididik dan di bina. Akan tetapi dalam hal kepentingan si anak menghendaki bahwa hakim dapat menetapkan anak tersebut diserahkan kepada organisasi sosial kemasyarakatan seperti pesantren, panti sosial dan lembaga lainnya (Pasal 24 ayat (1) huruf c UU NO 3 TAHUN 1997).

Dalam kenyataan hidup sehari – hari ternyata ada kalanya seorang anak harus diadili di Pengadilan Anak untuk mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah dilakukan. Tata cara pemeriksaan anak di depan Pengadilan Anak sebelum berlakunya UU NO 3 TH 1997-

Dipergunakan ketentuan Menteri Kehakiman RI, dengan peraturan NO.M.06 – UM. 01 tahun 1983 mengatur tata tertib persidangan anak. Dalam konsideran ketentuan ini diberlakukan sambil menunggu Undang – undang tentang peradilan anak yang akan mengatur masalah tersebut. Pasal 10 peraturan itu mengatakan sebagai berikut :

1. Sidang anak dilakukan dengan hakim tunggal, kecuali dalam hal tertentu oleh Ketua Pengadilan Negeri dapat dilakukan dengan pemeriksaan Hakim Majelis.

2. Pemeriksaan siding anak dilakukan dengan pintu tertutup.

3. Putusan diterapkan dalam siding terbuka untuk umum.

Pada prinsipnya, tugas dan kewenangan pengadilan anak sama dengan perkara pidana lainnya. Meski prinsipnya sama namun yang tetap yang harus diperhatikan ialah perlindungan anak yang merupakan tujuan utama. Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia, merupakan potensi dan penerus cita – cita bangsa. Selain itu anak sebagai bagian dari keluarga, merupakan buah hati, penerus, dan harapan keluarga. Di situlah letak pentingnya Pengadilan Anak sebagai salah satu sarana bagi perlindungan anak yang terganggu keseimbangan mental dan sosialnya sehingga menjadi anak nakal.

Adapun perlindungan yang diberikan kepada anak oleh Kitab Undang – undang Hukum Pidana adalah :

1. Menjaga kesopanan anak

2. Larangan bersetubuh dengan orang yang belum dewasa

3. Larangan berbuat cabul

4. Larangan menculik anak

5. Larangan menyembunyikan orang yang belum dewasa

6. Larangan melarikan perempuan belum dewasa

Adapun apa saja hak – hak tersangka / terdakwa anak nakal dapat diperinci sebagai berikut :

- Setiap anak nakal sejak saat ditangkap atau ditahan berhak mendapat bantuan hukum dalam waktu dan setiap tingkat pemeriksaan.

- Setiap anak nakal yang ditangkap atau ditahan berhak berhubungan langsung dengan penasehat hukumnya tanpa didengar oleh pejabat yang berwenang.

- Selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani dan social harus dipenuhi.

- Tersangka anak berhak mandapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya diajukan ke Pengadilan.

- Tersangka anak berhak segera diadili segera oleh Pengadilan

- Untuk mempersiapkan pembelaan tersangka anak berhak diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya.

- Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidik dan pengadilan, tersangka anak nakal berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa, apabila ia tidak paham bahasa Indonesia

- Dalam hal tersangka anak bisu atau tuli, ia berhak mendapat bantuan penterjemah orang yang pandai bergaul.

- Tersangka/ terdakwa anak yang dikenakan penahanan berhak menghubungi penasehat hukum sesuai dengan ketentuan KUHAP

- Tersangka / terdakwa anak yang dikenakan penahanan berhak diberitahukan tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang, pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka / terdakwa yang bantuannya dibutuhkan oleh tersangka / terdakwa.

- Tersangka / terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan keluarga dengan tersangka / terdakwa anak.

- Tersangka / terdakwa anak berhak secara langsung atau dengan perantara penasihat hukumnya menghubugi dan menerima kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka atau terdakwa untuk kepentingan keluarga.

- Tersangka / terdakwa anak berhak menghubungi dan menerima kunjungan rohaniawan

- Tersangka / terdakwa anak berhak untuk diadili di siding pengadilan yang terbuka untuk umum.

- Tersangka / terdakwa anak berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi guna memberikan keterangan.

- Tersangka / terdakwa anak tidak dibebani dengan kewajiban pembuktian.

- Tersangka / terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam pasal 95 KUHAP

Dengan diaturnya hak – hak diatas walaupun tersangka / terdakwa masih anak – anak, petugas pemeriksaan tidak boleh menghalang – halangi penggunaannya , dan sebaiknya sejak awal pemeriksaan sudah diberitahukan hak – hak tersebut.

F. Metode Penelitian

  1. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yaitu menggambarkan fakta – fakta yang diperoleh penulis berkaitan dengan objek penelitian berupa penerapan sanksi pidana bagi anak dibawah umur.

  1. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu menguji, mengkaji ketentuan – ketentuan penerapan sanksi pidana bagi anak dibawah umur menurut Undang – undang nomor 3 tahun 1997.

  1. Tahap Penelitian
  1. Studi kepustakaan , mempelajari literatur – literatur untuk memperoleh data sekunder yang berhubungan dengan masalah yang diteliti berupa Undang – undang Nomor 3 Tahun 1997.
  1. Studi lapangan yaitu memperoleh data primer dengan cara mengadakan penelitian langsung dilapangan guna mendapatkan fakta berupa Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 44/PID/B/2005/PN.BDG.
  1. Analisis Data

Setelah diperoleh data kemudian disusun secara sistematis lalu dianalisis dengan menggunakan metode analisis secara kualitatif sehingga tidak, menggunakan rumus angka, dan data statistik.

  1. Lokasi Penelitian

Di dalam penyusunan skripsi ini penulis mengadakan penelitian di Pengadilan Negeri Kls 1 Bandung Jl. R.E.MARTADINATA NO.8 Bandung dan kepustakaan SEKOLAH TINGGI HUKUM BANDUNG.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan didalam pemahaman skripsi ini akan dibuat sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB 1 : Berisi PENDAHULUAN yang didalamnya membahas tentang Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah , Maksud dan Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II : Berisi TINJAUAN TERHADAP PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR Umur yang meliputi Istilah dan Pengertian -

Pidana serta unsur – unsurnya, Teori – teori terhadap Pidana dan Pemidanaan, Sistem Perumusan Sanksi pidana, Pemidanaan terhadap Anak di bawah Umur berdasarkan Undang – undang Nomor 3 Tahun 1997.

BAB III : Berisi tentang TINJAUAN TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BANDUNG NOMOR 44/PID/B/2005/PN.BDG. Yang meliputi Posisi Kasus, Pertimbangan Hakim, Amar Putusan.

BAB IV : Berisi TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN SANKSI PIDANA BAGI ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 DIHUBUNGKAN DENGAN PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BANDUNG VIDE PUTUSAN NOMOR 44/PID/B/2005/PN.BDG. Yang meliputi Kualifikasi Perbuatan yang dilakukan oleh Anak di Bawah Umur dalam Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 44/PID/B/2005/PN.BDG. Kesalahan Sebagai Dasar Pertanggungjawaban Pidana bagi Anak di bawah Umur dalam Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 44/PID/B/2005/PN.BDG. Efektifitas Sanksi Pidana yang dijatuhkan oleh Hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 44/PID/B/2005/PN.BDG.

BAB V : Kesimpulan dan Saran yang merupakan hasil dari pembahasan masalah terhadap Pembangunan dan Pembaharuan Hukum Nasional.


[1] )C.S.T Kansil,”Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia”.PN.Balai Pustaka,Jakarta 1984.hlm 32

[2] )SR.Sianturi,”Asas – asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya”.Alumni AHM – PTHMN,1986,hlm 15

[3])Darwin print,”Hukum Anak Indonesia”,Cintra Aditya Bakti ,Bdg 1997,hlm 2

[4] ) Bambang Waluyo,”Pidana dan Pemidanaan”,Sinar Grafika,Jakarta ,2000 hlm 3

[5])ibid,hlm 3

[6] )Darwin Print,”Hukum Anak Indonesia”,Ibid,halaman 28


dapatkan file lengkapnya

klik disini

0 komentar:

Posting Komentar