Arab pegon, sebenarnya hanya merupakan ungkapan yang digunakan oleh orang Jawa, sedangkan untuk daerah Sumatera disebut dengan aksara Arab-Melayu6. Jadi, huruf Arab pegon atau disebut dengan aksara Arab-Melayu ini merupakan tulisan dengan huruf Arab tapi menggunakan bahasa lokal. Dikatakan bahasa lokal karena ternyata tulisan Arab pegon itu tidak hanya menggunakan Bahasa Jawa saja tapi juga dipakai di daerah Jawa barat dengan menggunakan Bahasa Sunda, di Sulawesi menggunakan Bahasa Bugis, dan di wilayah Sumatera menggunakan Bahasa Melayu.
Keberadaan Arab pegon di Nusantara sangat erat kaitannya dengan syi’ar Agama Islam, diduga merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh para ulama sebagai upaya menyebarkan Agama Islam7. Selain itu aksara Arab ini juga digunakan dalam kesusasteraan Indonesia. Menurut Prof. Dr. Koentjaraningrat, dalam kesusasteraan Jawa ada juga yang ditulis dengan tulisan pegon atau gundhil, penggunaan huruf ini terutama untuk kesusasteraan Jawa yang bersifat agama Islam,8 aksara Arab yang dipakai dalam Bahasa Jawa disebut dengan aksara Pegon.9Bukan hanya kesusasteraan Jawa saja tapi ternyata mencakup Nusantara karena menurut Drs. Juwairiyah Dahlan, bagi mereka yang mempelajari kesusasteraan Indonesia seringkali menggunakan aksara Arab ini, bahkan di Malaysia disebut dengan aksara Jawi.
Dengan aksara Arab ini, telah ditulis dan dikarang ratusan buku mengenai ibadah, hikayat, tasawuf, sejarah nabi-nabi dan rosul serta buku-buku roman sejarah. Pada zaman penjajahan Belanda, sebelum tulisan latin diajarkan di sekolah-sekolah, seringkali aksara Arab dipergunakan dalam surat menyurat, bahkan dikampung-kampung pada umumnya sampai zaman permulaan kemerdekaan, banyak sekali orang yang masih buta aksara latin tetapi tidak buta aksara Arab, karena mereka sekurang-kurangnya dapat membaca aksara Arab, baik untuk membaca Al-Qur’an maupun menulis surat dalam bahasa daerah dengan aksara Arab.10Menurut Prof. Dr. Denys Lombard, menjelang tahun 1880 aksara Arab masih digunakan luas untuk menuliskan Bahasa Melayu dan beberapa bahasa setempat (seperti Bahasa Aceh atau Minangkabau) 11
Beragam usaha untuk mempertahankan penggunaan aksara Arab ini, salah satunya di daerah Sulawesi Selatan tepatnya di daerah Buton. Menurut Laode Zaedi,12 aksara Arab dengan Bahasa Bugis/Walio dianggap sebagai salah satu khasanah kebudayaan daerah dan kini sedang digalakkan pelestariannya, salah satu caranya yaitu dengan mengajarkan kepada murid-murid sekolah dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga perguruan tinggi sebagai salah satu pilihan dalam kurikulum muatan lokal.
Selain itu, keberadaan penggunaan Arab pegon di pondok pesantren terutama yang masih kuat kultur masyarakatnya13sampai saat ini masih tetap dipertahankan. Karena selama ini pesantren masih dianggap banyak membawa keberhasilan dalam pencapaian berhasilnya pelajaran dan pengajaran Bahasa Arab. Penerapan penerjemahan kitab kuning dengan menggunakan Arab pegon dalam pengajarannya biasa disebut dengan Ngabsahi14atau Ngalogat15 dalam menerjemahkan dan memberi makna pada Kitab Kuning.
Pengertian umum yang beredar di kalangan pemerhati masalah pesantren adalah bahwa kitab kuning selalu dipandang sebagai kitab-kitab keagamaan berbahasa arab, atau berhuruf arab, sebagai produk pemikiran ulama masa lampau (as-salaf)yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17-an M. Dalam rumusan yang lebih rinci, definisi kitab kuning adalah kitab-kitab yang, ( a) ditulis oleh ulama-ulama “asing”, tetapi secara turun-temurun menjadi referenceyang dipedomani oleh para ulama indonesia, (b) ditulis oleh ulama Indonesia sebagai karya tulis yang “independen”, dan c) ditulis oleh ulama Indonesia sebagai komentar atau terjemahan atas kitab karya ulama “asing”.
Dalam tradisi intelektual Islam, khususnya di timur tengah, dikenal dua istilah yang menyebut kategori karya-karya ilmiah berdasarkan kurun atau format penulisannya. Katagori pertama disebut kitab-kitab klasik (al-kutub al-qodimah), sedangkan kategori kedua disebut kitab-kitab modern (al-kutub al-ashriyyah). Perbedaan pertama dari yang kedua dicirikan, antaara lain, cara penulisannya yang tidak mengenal pemberhentian, tanda baca (punctuation), dan kesan bahasanya yang berat, klasik, dan tanpa syakl (baca: sandangan- fatkhah, dhommah, kasroh). Dan sebutan kitab kuning pada dasarnya mengacu pada katagori yang pertama, yakni kitab-kitab klasik (al-kutub al-qodimah).
Spesifikasi kitab kuning secara umum terletak pada formatnya (lay-out), yang terdiri dari dua bagian: matn, teks asal (inti), dan syarh (komentar, teks penjelas atas matn). Dalam pembagian semacam ini, matnselalu di letakkan di bagian pinggir (margin) sebelah kanan maupun kiri, sementara syarh-karena penuturannya jauh lebih banyak dan panjang dibandingkan matn-diletakkan di bagian tengah setiap halaman kitab kuning. Ukuran panjang-lebar kertas yang digunakan kitab kuning pada umumnya kira-kira 26 cm (quarto). Ciri khas lainnya terletak dalam penjilidannya yang tidak total, yakni tidak dijilid seperti buku. Ia hanya dilipat berdasarkan kelompok halaman (misalnya, setiap 2 halaman) yang secara teknis dikenal dengan istilah korasan. Jadi, dalam satu kitab kuningterdiri dari beberapa korasan yang memungkinkn salah satu atau beberapakorasan itu dibawa secara terpisah. Biasanya, ketika berangkat ke majelis pengajian, santri hanya membawa korasan tertentu yang akan dipelajarinya bersama sang kiai-ulama.
Hal yang membedakan kitab kuning dari yang lainnya adalah metode mempelajarinya. Sudah dikenal bahwa ada dua metode yang berkembang di lingkungan pesantren untuk mempelajari kitab kuning: adalah metode sorogan dan metode bandongan. Pada cara pertama, santri membacakan kitab kuning dihadapan kiai-ulama yang langsung menyaksikan keabsahan bacaan santri, baik dalam konteks makna maupun bahasa (nahw dan sharf). Sementara itu, pada cara kedua, santri secara kolektif mendengarkan bacaan dan penjelasan sang kiai-ulama sambil masing-masing memberikan catatan pada kitabnya. Catatan itu bisa berupa syaklatau makna mufrodhat atau penjelasan (keterangan tambahan). Penting ditegaskan bahwa di kalangan pesantren, terutama yang klasik (salafi), memiliki cara membaca tersendiri yang dikenal dengan cara utawi-iki-iku, sebuah cara membaca dengan pendekatan tata bahasa (nahw dan sharf) yang ketat.
Selain kedua metode diatas, sejalan dengan usaha kontekstualisasi kajian kitab kuning, di lingkungan pesantren, dewasa ini telah berkembang metode jalsah (diskusi kelompok) dan halaqoh(seminar). Kedua metode ini lebih sering digunakan ditingkat kiai-ulama atau pengasuh pesantren, namun sekarang pun sudah sering dilakukan oleh santri. Guna membahas isu-isu kontemporer dengan bahan-bahan pemikiran yang bersumber dari kitab kuning.16
Ilustrasi berikut ini dapat memberikan suatu gambaran yang jelas bagaimana metode ini dilaksanakan dalam praktik:
الحمد لله الدي فضل بني ادم بالعلم والعمل على جميع العالم
Teks tersebut diatas diambil dari kitab Ta’lim al Muta’lim. Huruf-huruf besar syang horisontal adalah teks asli Bahasa Arab, sedangkan huruf-huruf kecil di antara tulisan horisontal yang ditulis miring kebawah adalah terjemahannya dalam bahasa Jawa. Teks asli dalam Bahasa Arab ditulis dengan vowels (dalam bahasa Jawa disebut nganggo sandangan) atau Arab Pegon. Murid-murid harus belajar dari kitab-kitab gundul yang ditulis tanpa huruf hidup atau tanpa syakal. Ilustrasi tersebut menunjukkan bagaimana cara penerjemahan teks Arab ke dalam Bahasa Jawa. Perkataan Arab Al-Hamdu lillahiditerjemahkan utawi sekabehane puji iku keduwe Alloh, yang berarti ”Segala puji adalah kepunyaan Alloh”. Perkataan Al hamdu yang didahului oleh al dan diakhiri dengan huruf hidup U (dzamah U) dan dalam Bahasa Jawa didahului dengan kata utawi dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa perkataan tersebut adalah mubtda’ atau pokok kalimat. Hal ini sangat penting untuk diketahui oleh murid-murid, sebab kitab-kitab yang diajarkan dalam metode sorogan dan bandongan ditulis tanpa syakal, sehingga untuk dapat membacanya dengan benar dan cocok para murid harus menguasai tatabahasa Arab.17
Tulisan sebagai lambang tertulis dari suatu bahasa berfungsi sebagai alat untuk dibaca agar dipahami maksud yang terkandung didalamnya. Kemampuan membaca dipakai untuk memahami maksud tulisan sehingga membaca untuk menjadi paham. Pemakaian Bahasa Jawa dalam penulisan Arab Pegon sebagai sistem yang diterapkan di Pondok Pesantren merupakan salah satu simbol masuk dan bercampurnya Budaya Jawa sebagai usaha untuk lebih dapat memahami isi kitab kuning yang didalamnya menggunakan Bahasa Arab.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu upaya dalam pengembangan keilmuan yang mengkaji tentang permasalahan tradisi Arab pegon di pondok pesantren, dengan harapan dapat membantu mendudukkan pada proporsinya. Mengingat keterbatasan waktu dan pengetahuan, skripsi ini sengaja membatasi kajiannya pada proses penerjemahan kitab kuning dengan menggunakan Arab pegon saja.
Pada kesempatan ini penulis mengambil studi kasus di Madrasah Salafiyah III, Komplek Q, Krapyak, Yogyakarta. Alasan pemilihan tempat merupakan salah satu hal yang sangat diperhatikan, selain karena secara geografis dekat dengan kampus Universitas Islam Negeri Yogyakarta, segala macam informasi mudah didapat, dan satu hal yang sangat penting yaitu karena Madrasah Salafiyah III ini masuk dalam lingkup salah satu pesantren tradisional yang dari awal pendiriannya hingga saat ini masih konsistenmenggunakan Arab pegon.
Judul : Pembelajaran Kitab Kuning Dengan Arab Pegon (AI-61))
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File
atau klik disini
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File
atau klik disini
0 komentar:
Posting Komentar