BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fungsi umum bahasa adalah sebagai alat komunikasi sosial. Manusia dalam sepanjang hidupnya hampir-hampir tidak pernah dapat terlepas dari peristiwa komunikasi. Di dalam berkomunikasi manusia memerlukan sarana untuk mengungkapkan ide, gagasan, isi pikiran, maksud, realitas, dan sebagainya. Sarana yang paling utama dan vital untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah bahasa. Dengan demikian fungsi bahasa yang paling utama adalah sebagai sarana komunikasi. Setiap anggota masyarakat dan komunitas selalu terlibat dalam komunikasi bahasa, baik dia bertindak sebagai komunikator (pembicara atau penulis) maupun sebagai komunikan (mitra baca, penyimak, pendengar, atau pembaca)
Secara garis besar, sarana komunikasi verbal dibedakan menjadi dua macam, yaitu sarana komunikasi yang berupa bahasa lisan dan sarana komunikasi yang berupa bahasa tulis. Dengan begitu, wacana atau tuturan pun dibagi menjadi dua macam: wacana lisan dan wacana tulis. Kridalaksana (1978:23) berpendapat bahwa dalam konteks tata bahasa, wacana merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Dari pendapat tersebut berarti bahwa apa yang disebut wacana mencakup kalimat, gugus kalimat, alinea atau paragraf, penggalan wacana (pasal, subbab, bab, atau episode), dan wacana utuh. Hal ini berarti juga bahwa kalimat merupakan satuan gramatikal terkecil
dalam wacana dan dengan demikian kalimat juga merupakan basis pokok pembentukan wacana.
Wacana merupakan tataran yang paling besar dalam hierarki kebahasaan. Sebagai tataran terbesar dalam hierarki kebahasaan, wacana tidak merupakan susunan kalimat secara acak, tetapi merupakan satuan bahasa, baik lisan maupun tertulis. Untuk wacana yang disampaikan secara tertulis, penyampaian isi atau informasi disampaikan secara tertulis. Ini dimaksudkan agar tulisan tesebut dapat dipahami dan diinterpretasikan oleh pembaca. Hubungan antarkalimat dalam sebuah wacana tulis tersusun berkesinambungan dan membentuk suatu kepaduan. Oleh karena itu, kepaduan makna dan kerapian bentuk pada wacana tulis merupakan salah satu faktor yang penting dalam rangka meningkatkan tingkat keterbacaan.
Informasi yang disampaikan melalui wacana tulis tentu mempunyai perbedaan dengan infomasi yang disampaikan secara lisan. Perbedaan itu ditandai oleh adanya keterkaitan antarproposisi. Keterkaitan dalam wacana tulis dinyatakan secara eksplisit yang merupakan rangkaian antarkalimat secara gramatikal. Adapun untuk bahasa lisan keterikatan itu dinyatakan secara implisit, di mana kejelasan informasi akan didukung oleh konteks.
Berdasakan pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa bahasa lisan atau ujaran lebih ditekankan pada konteks dan situasi untuk lebih menjelaskan topik pembicaraan pada saat komunikasi. Lain halnya pada bahasa tulis, keterkaitan kalimat sebagai unsur pembangun wacana, harus dirangkaikan secara runtut sehingga menjadi wacana yang mempunyai kepaduan, baik
secara bentuk ataupun secara makna. Kelompok kata belum tentu disebut wacana bila rentetan itu tidak memberikan informasi yang lengkap unsur- unsur yang membangun wacana.
Melihat fenomena yang ada, dalam wacana tulis hubungan antarkalimat harus selalu diperhatikan untuk memelihara keterkaitan dan keruntutan antarkalimat. Di dalam ilmu bahasa keterkaitan dan kerapian bentuk dinamakan kohesi dan koherensi. Di dalam manifestasi fonetisnya kohesi dan koherensi memiliki peran yang sangat vital untuk memelihara keterkaitan antarkalimat, sehingga wacana menjadi padu, tidak hanya sekumpulan kalimat yang setiap kalimat mengandung pokok pembicaraan yang berbeda, melainkan satu unsur dalam teks harus menyatakan konsep ikatan (Nunan 1992:6).
Wacana merupakan sebuah struktur kebahasaan yang luas melebihi batasan-batasan kalimat, sehingga dalam penyusunannya hendaknya selalu menggunakan bentuk tulis yang efektif. Salah satunya dengan penggunaan kohesi internal yang tepat. Kohesi merupakan salah satu unsur pembangun wacana yang menjadikan wacana menjadi padu dan jelas secara gamatikal. Konsep suatu ikatan dalam kebahasaan merupakan unsur pembangun yang membentuk sebuah wacana, sehingga menjadi kesatuan rangkaian kalimat yang bermakna.
Pemakaian bahasa yang baik dan benar, berarti sesuai dengan tata gramatikal dalam wacana tulis. Suatu wacana mempunyai kesatuan makna yang diciptakan melalui hubungan yang kohesif antarkalimat dalam wacana
tersebut. Dengan hubungan yang kohesif itu, suatu unsur dalam wacana dapat diinterpretasikan sesuai dengan ketergantungan antarunsur-unsur (Halliday dan Hasan dalam Cahyono 1995:231). Dengan demikian, kalimat yang terdapat dalam wacana saling berkaitan.
Baryadi (2002:17) mengemukakan bahwa untuk menciptakan keutuhan, bagian wacana harus saling berhubungan. Sejalan dengan pandangan bahwa bahasa itu terdiri dari bentuk (form) dan makna (meaning), hubungan dalam wacana dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu hubungan bentuk yang disebut kohesi (cohesion) dan hubungan makna atau hubungan semantis yang disebut koherensi (coherence).
Salah satu hubungan bentuk dalam sebuah wacana dapat dilakukan dengan menggunakan penanda referensial. Hubungan referensial menandai hubungan kohesif wacana melalui pengacuan. Sumarlam (2003:23) menyebutkan bahwa pengacuan atau referensi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual yang lain (atau suatu acuan) yang mendahului atau mengikutinya.
Dalam wacana tulis terdapat berbagai unsur seperti pelaku perbuatan, penderita perbuatan, pelengkap perbuatan, perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, dan tempat perbuatan (Alwi 1998:40). Unsur itu acap kali harus diulang-ulang untuk mengacu kembali atau untuk memperjelas makna. Oleh karena itu, pemilihan kata serta penempatannya harus tepat sehingga wacana tadi tidak hanya kohesif, tetapi juga koheren. Dengan kata lain, referensinya atau pengacuannya harus jelas.
Referensi di dalam bahasa yang menyangkut nama diri digunakan sebagai topik baru (untuk memperkenalkan) atau untuk menegaskan bahwa topik masih sama. Topik yang sudah jelas biasanya dihilangkan atau diganti. Pada kalimat yang panjang, biasanya muncul beberapa predikat dengan subjek yang sama dan subjek menjadi topik juga. Subjek hanya disebutkan satu kali pada permulaan kalimat, lalu diganti dengan acuan (referensi) yang sama. Perhatikan contoh berikut,
(1) Safira kembali ke Indonesia. Dia membeli rumah baru di daerah Kebayoran, dan mulai mengatur hidupnya kembali di tempat baru itu.
Pada contoh (1) kata ‘Safira’ merupakan topik yang diletakkan di depan paragraf. Pada kalimat berikutnya topik yang masih sama diulang kembali menggunakan penanda referensial persona ‘dia, dan -nya’, serta penanda referensial demonstratifa ‘itu’. Dengan adanya penanda referensial membuat kepaduan dalam kalimat. Apabila penanda ini dihilangkan berarti topik merupakan informasi yang kurang penting sebagai unsur kesatuan yang suplementer (pelengkap). Bila penanda referensial ini digunakan dalam kalimat tersebut makna akan dijadikan kesatuan terdahulu. Dalam hal ini, pronomina dapat digunakan sebagai referensi dalam bahasa Indonesia.
Pembahasan yang akan dilakukan adalah wacana bentuk tulis dalam surat kabar karena peneliti menduga bahwa wacana tulis dalam surat kabar mempunyai variasi penggunaan penanda referensial. Fungsinya sebagai alat penggabung antarkalimat yang satu dengan yang lain, antara paragraf yang
satu dengan yang lain sehingga membentuk keterkaitan. Penanda kebahasaan itu biasa disebut kohesi referensial.
Adapun pemilihan wacana tulis dalam surat kabar dikarenakan wacana yang terdapat pada surat kabar lebih bervariasi jenisnya. Misalnya terdapat wacana narasi, eksposisi, argumentasi, persuasi. Dengan kevariasian jenis wacana tersebut menjadikan data penelitian berasal dari berbagai jenis wacana. Selain itu, surat kabar adalah sebuah lembaga yang menggunakan bahasa tulis sebagai alat komunikasi. Dengan demikian, penggunaan bahasa selalu diperhatikan untuk membentuk sebuah hubungan dalam sebuah wacana.
Pemilihan surat kabar Kompas, Suara Merdeka, dan Solopos sebagai sumber data dalam penelitian dengan mempertimbangkan beberapa aspek. Kompas dipilih karena merupakan surat kabar nasional yang memiliki oplah yang cukup besar dan rantai distribusi yang luas. Suara Merdeka dipilih karena merupakan surat kabar regional terbesar di Jawa Tengah. Adapun Solopos dikelompokkan ke dalam surat kabar lokal. Ketiganya merupakan surat kabar ternama, yang tentunya berbanding lurus dengan efektifitas wacana yang berada di dalamnya.
Beranjak dari fenomena yang ada dalam latar belakang di atas maka peneliti mengangkat judul “Referensi dalam Wacana Tulis Berbahasa Indonesia di Surat Kabar”.
Judul : REFERENSI DALAM WACANA TULIS BERBAHASA INDONESIA DI SURAT KABAR (PBI-4))
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File
atau klik disini
0 komentar:
Posting Komentar