Dewasa ini Indonesiamenjadi salah satu Negara dengan dinamika sosial politik yang sangat dinamis. Setelah pergantian rezim yang terjadi pasca kejatuhan Soeharto pada tahun 1998, kondisi sosial politik Indonesia mengalami eforia pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Kondisi tersebut disebabkan oleh ruang-ruang peran aktif masyarakat menjadi sangat terbuka.
Keterlibatan masyarakat dalam ranah sosial politik menjadikan sistem politik Indonesia menjadi sangat dinamis. Berbagai sub-sistem politik yang sebelumnya cenderung tealienasi oleh sifat sentralistik Negara, kemudian menjadi pelaku-pelaku aktif dalam ranah interaksi antar sub-sistem dengan Negara. Kondisi ini tentu saja memberikan situasi yang cenderung positif bagi pertumbuhan dan konsolidasi sub-sistem yang ada dalam sistem politik Indonesiasecara keseluruhan.
Kekuatan-kekuatan seperti partai politik, organisasi keagamaan, dan organisasi sosial lainnya seolah mendapatkan kekuatan untuk memegang peranan lebih besar dalam dinamika sosial politik Negara. Jika pada rezim sebelumnya, dinamika politik sangat sentralistis dengan penguasaan eksekutif dalam hal ini presiden sangat besar. Maka saat ini, keberadaan kekuatan-kekuatan subsistem kemudian ikut berpengaruh pada berbagai dinamika yang terjadi dalam Negara. Hal ini juga terjadi dalam proses pembuatan kebijakan.
Saat ini, proses pembuatan kebijakaan menjadi ruang bagi terlibatnya berbagai kekuatan sosial politik masyarakat. Selain partai politik, kelompok-kelompok kepentingan juga turut memainkan perannya. Hal tersebut diatas secara ideal cenderung dianggap sebagai bagian dari upaya memperjuangkan kepentingan masyarakat. Akan tetapi pada sisi lain, kelompok-kelompok kepentingan dianggap hanya memperjuangkan kepentingan tertentu kelompoknya dengan mengatasnamakan masyarakat. Hal ini cenderung menjadi praktik-praktik yang meluas dikalangan masyarakat pada setiap level proses kebijakan, baik pusat maupun di daerah. Dengan demikian, keterlibatan kelompok-kelompok kepentingan yang ada disekitar proses pembuatan kebijakan tidak dapat dinafikan, termasuk keberadaan institusi Dharma Wanita.
Berbagai kenyataan tersebut diatas tidak bias dipisahkan dengan kebijakan pembangunan orde baru. Politik gender orde baru dengan tegas menempatkan perempuan bukan sebagai subyek yang mandiri untuk terlibat dalam proses politik formal. Perempuan ditempatkan dalam posisi domestic sementara untuk ranah publik merupakan tempat bagi laki-laki. Kebijakan tersebut secara formal terdapat dalam panca Dharma Wanita serta kebijakan penyatuan organisasi-organisasi perempuan dalam satu payung, seperti istri Pegawai Negeri disatukan dalam Dharma Wanita, istri Tentara Nasional Indonesia (TNI) disatukan dalam Dharma Pertiwi, sedangkan perempuan (khususnya istri) dari tingkat kelurahan atau RT/RW sampai pusat diarahkan untuk masuk dalam PKK (Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga).[1]
Sebagai sebuah institusi yang berisi para istri pegawai negeri sipil (PNS), selama ini keberadaan Dharma Wanita hanya dipandang sebagai organisasi tempat para perempuan untuk menunjukkan eksistensinya. Dalam hal ini secara stigamatik, esksitensinya hanya diseputar pemberian kegiatan-kegiatan kepada para istri PNS tersebut pada bidang-bidang sosial. Dharma Wanita seolah hanya menjadi institusi “kumpul-kumpul” bagi para istri PNS yang jauh dari keterlibatannya secara signifikan pada proses-proses kebijakan. Dharma wanita cenderung dilekatkan pada kegiatan non-politis seperti pengajian, peresmian, arisan dan kegiatan-kegiatan lainnya. Dengan stigma demikian, keberadaan Dharma Wanita pada setiap jenjang organisasi pemerintahan pusat maupun daerah hanya dianggap institusi pelengkap bagi keberadaan pegawai Negara. Secara umum kondisi tersebut menunjukkan perspektif masyarakat terhadap keberadaan perempuan dalam ranah politik. Perempuan cederung dianggap belum dapat memberi pengaruh signifikan pada proses-proses kebijakan. Pandangan tersebut juga dilekatkan pada keberadaan Dharma Wanita.
Dalam era reformasi, posisi dan peran Dharma Wanita cenderung mengalami pergeseran. Posisi institusi yang selama ini hanya dianggap sebagai organisasi yang non-politis ternyata pada beberapa hal cenderung menunjukkan hal yang berbeda.
Dewasa ini, peran perempuan Indonesia telah berkembang jauh dari masa lampau. Para perempuan Indonesia saat ini telah banyak berpartisipasi dalam bidang-bidang yang ada di masyarakat. Bukan hanya sebagai penunjang atau kelas dua namun banyak dari perempuan ini sudah memiliki peran penuh dalam menjalankan roda-roda baik itu politik, ekonomi dan lainnya. Selain hadir sebagai pemikir, mereka juga mampu membaur dari segi teknis pelaksanaan. Pada titik ini, perempuan Indonesiatermasuk Dharma Wanita memiliki potensi untuk memberikan pengaruh signifikan bagi bergeraknya dinamika politik termasuk pada level pemerintah daerah.
Hal ini dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, terdapat kecenderungan bahwa Dharma Wanita nampaknya mulai terlibat dalam kegiatan-kegiatan politis termasuk dalam proses kebijakan. Posisi institusi ini nampaknya memberikan ruang yang potensial bagi keterlibatan mereka dalam mempengaruhi proses kebijakan. Dalam hal ini Dharma wanita kemudian seolah bertransformasi menjadi salah satu kekuatan potensial yang berpengaruh pada proses kebijakan. Gambaran tersebut nampaknya cukup relevan dalam pengamatan pada dinamika politik di daerah.
Selama ini kecenderungan menunjukkan bahwa peran isteri PNS termasuk para pejabat daerah cenderung hanya berdasarkan kertas kerja yang membaginya dalam dua kelompok besar yakni peranan kedalam dan peranan keluar. Hal tersebut di atas dinilai berdasarkan posisinya baik di rumah tangga, anggota masyarakat Indonesia di daerah, sebagai anggota Dharma Wanita maupun anggota kelompok isteri para pejabat yang berada di daerah tempat para suami mereka ditugaskan.
Peranan kedalam yang dimaksudkan di sini adalah peran isteri baik yang berkaitan dengan perannya di rumah tangga, anggota masyarakat setempat maupun posisinya sebagai anggota Dharma Wanita di daerah setempat. Sedang peran keluar yang dimaksudkan adalah peran yang dijalankan sebagai mana keberadaan kelompok ini dalam masyarakat seperti politik sosial dan ekonomi.
Layaknya ibu rumah tangga pada umumnya, maka dalam upaya membina keluarga, seorang isteri juga menghadapi berbagai tugas pokok yang berkaitan dengan urusan keluarga. Tugas tersebut antara lain mengelola dan mengatur segala hal yang berhubungan dengan keperluan keluarga yang tentu saja non-politis.
Sebagaimana fenomena yang biasa dilihat dari perbedaan tentang bagaimana Hillary Clinton dan Tien Soeharto mengembangkan kekuasaan. Ada perbedaan radikal dalam cara keduanya mempengaruhi proses kebijakan pemerintahan baik eksekutif maupun legislatif di daerah maupun di pusat meskipun waktu itu ia adalah istri presiden Amerika Serikat. Salah satu caraagar Hillary dapat mempengaruhi sektor publik , yaitu ua harus masuk secara langsung dan terlibat didalamnya. Sebaliknya, Tien Soeharto yang dalam perspektif barat dipandang sebagai wanita yang lebih tidak terdidik, tertindas, tidak modern, tidak sejajar dengan suaminya yang saat itu menjadi presiden RI, hanya dengan satu kalimat saja ia bias menentukan atau mengubah kebijakan pemerintah. Rumor lain yang berkembang selain pembangunan TMII adalah suatu ketika Tien Soeharto mendampingi Presiden Soeharto meninjau candi Prambanan di Yogyakarta. Di lokasi candi Tien Soeharto terpeleset. Saat itu ia kemudian berucap, “Tempat ini kalau dibuat taman pasti bagus.” Setahun kemudian pembangunan Taman Candi Prambanan dilakukan melalui rapat APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) di DPRD sebagai badan legislatif. Fenomena ini menunjukkan betapa besar pengaruh Tien Soeharto terhadap kebijakan pemerintah (badan Eksekutif) tanpa melalui prosedur formal (dengan persetujuan badan legislatif).[2]
Indikasi-indikasi yang timbul seperti di atas diasumsikan ada dalam beberapa kebijakan daerah seperti kebijakan mengenai pengelolaan program penaggulangan bencana alam yang menyangkut kepentingan anggota kelompok ini, Disini Dharma Wanita berupaya mempengaruhi proses kebijakan daerah yang sedang atau akan dibuat oleh daerah tersebut diatas.
Dengan kata lain, Dharma Wanita Kota Palopo dan Kabupaten Luwu saat ini cenderung dapat dianggap sebagai salah satu kekuatan yang mampu memberi pengaruh secara signifikan pada proses kebijakan. Dharma Wanita nampaknya menjelma menjadi suatu kelompok kepentingan yang juga memainkan peran dalam proses kebijakan. Kondisi tersebut tentu saja menarik untuk dicermati, yaitu kecenderungan adanya pergeseran Dhama Wanita dari organisasi perempuan non-politis menjadi salah satu kekuatan.
Memperhatikan hal yang telah dipaparkan sebelumnya, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hal tersebut. Penelitian yang akan dilakukan adalah “Partisipasi Dharma Wanita dalam proses pembuatan perda Mengenai Penanggulangan Bencana Alam Di Kota Palopo dan Kabupaten Luwu.”
0 komentar:
Posting Komentar