BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Telah menjadi kesepakatan tak tertulis oleh para intelektual (‘ulama>’) se-dunia, bahwa al-Qur’an diturunkan sekitar lima belas abad lalu di tanah Arab Makkah dari Tuhannya Nabi Muhammad saw. Ia (al-Qur’an) terbukukan (al-tadwi>n) menjadi sebuah kitab resmi umat Islam sekitar tahun 30-an Hijriyyah pada masa Khalifah Usman bin Affan. Dari dulu sampai sekarang, kaum muslimin masih tetap meyakini bahwa al-Qur’an merupakan himpunan wahyu Tuhan yang senantiasa memberi petunjuk moral. Ia (al-Qur’an) merupakan dokumen umat manusia, sekaligus diturunkan dalam konteks kesejarahan dan kebudayaan tertentu. Oleh sebab itulah, ia dianggap sebagai dokumen historis sekaligus dokumen keagamaan yang suci. Sebagai dokumen historis, karena al-Qur’an -dalam setiap pernyataannya- mengacu pada peristiwa aktual sesuai dengan konteks sejarahnya ketika ia diturunkan, dan sekaligus pesan yang dikandungnya bersifat transedental -dalam arti- melampui zaman. Sedangkan sebagai dokumen keagamaan, karena al-Qur’an senantiasa dapat memberi bimbingan kepada manusia dalam hidup dan kehidupan umat. Dengan kata lain, al-Qur’an merupakan sumber makna dan nilai hidup. Ia (al-Qur’an) –oleh sebab itu- selain merupakan sumber ajaran moral, sumber hukum Islam, dan hudan bagi manusia, juga merupakan inspirator, pemandu, sekaligus pemadu gerakan dan dinamika umat Islam sepanjang kurang lebih 14 abad yang lalu.
Pemahaman mengenai kitab al-Qur’an begitu juga dengan kitab lainnya semisal Injil, Taurat, Kitab Perjanjian Lama, dan Kitab Perjanjian Baru, menjadi sangat penting ketika kitab-kitab tersebut -dalam perjalanan sejarah- tidak hanya menjadi suri tauladan, petunjuk, dan pijakan hukum an sich, namun lebih dari itu wahyu Tuhan juga telah menjadi inspirator, pemandu, dan sekaligus pemadu terhadap umat di dalam sebuah kehidupan. Pemahaman awal baik mengenai al-Qur’an, Injil, Taurat, Kitab Perjanjian Lama, maupun Kitab Perjanjian Baru –paling tidak- adalah bahwa semuannya (wahyu Tuhan yang ada tersebut) –pada awalnya- dibawa oleh seorang perantara (rasul/nabi).
Rasul maupun nabi –dalam hal ini- berfungsi sebagai perantara awal yakni perantara yang berada pada tingkat pertama. Posisi tingkatan seorang rasul maupun nabi dalam proses transformasi sebuah wahyu Tuhan ini, menjadi penting karena nabi maupun rasul merupakan dijadikannya sebagai pelantara komunikasi pertama murni tanpa ada campur tangan dari berbagai pihak.
Akan tetapi, keaslian wahyu Tuhan baik yang telah terdokumentasikan di dalam al-Qur’an, Taurat, Injil, Kitab Perjanjian Lama, maupun Kitab Perjanjian Baru, menjadi disangsikan atau diragukan –dalam perjalanan sejarahnya- ketika banyak dari pelbagai kata yang ada dalam kitab-kitab suci tersebut ada yang hilang. Adanya pelbagi kata yang hilang ini menjadikan keraguan terhadap keaslian kitab suci. Disangsikan dan diragukan keaslian dari kitab suci inilah nantinya -tak pelak- akan merembet diragukannya hasil dari penafsiran kitab-kitab suci tersebut.
Problem diragukannya keaslian kitab suci ini –ternyata- telah mengasumsikan terhadap pemahaman mengenai kitab suci, yakni bahwa kitab suci yang ada selama ini ternyata mengalami cacat total. Kecacatan ini –dalam pengamatan sejarah- telah ditemukan dalam kumpulan kitab-kitab suci yang ada dewasa ini. Artinya, jika hal ini terjadi, maka keaslian atau otentitas dari sebuah kitab suci sangat disangsikan. Begitu juga wahyu Tuhan yang telah terdokumentasikan dalam kitab-kitab suci di atas menjadi diragukan ketika teks yang ada dalam wahyu Tuhan (teks yang diturunkan dalam situasi dan budaya tertentu) tidak sama dengan bahasa penutur aslinya. Hal ini dikarenakan sudah terjadi pengalihan dan penghapusan yang terjadi di beberapa kitab suci.
Menjadikan rujukan dan sumber hukum terhadap kitab-kitab suci tersebut, akan menjadi berbahaya ketika ternyata dalam kitab suci yang ada ditemukan adanya kerancuhan dan berbagai kesalahan. Bahaya ini pun akan berdampak pada wilayah penafsiran sebagaimana dikatakan di atas. Artinya, penafsiran yang ada terhadap kitab suci apapun baik al-Qur’an, Taurat, Injil, Kitab Perjanjian Lama, maupun Kitab Perjanjian Baru, akan menjadi sia-sia ketika wilayah wahyu Tuhan yang telah ditafsirkan, ditemukan adanya beberapa redaksi teks kitab suci yang palsu.
Dengan adanya ketidakaslian dari wahyu Tuhan yang diakibatkan oleh berbagai fajtor sejarah inilah, maka hal tersebut, akan menjadi hambatan besar pada wilayah penafsiran selanjutnya. Artinya, jika sudah jelas ditemukan beberapa indikasi bahwa dalam wahyu Tuhan yang tertulis di dalam beberapa kitab suci agama (al-Qur’an, Taurat, Injil, Kitab Perjanjian Lama dan Baru) ada yang tidak asli dan dirancukan dari sejarahnya, maka hasil penafsiran yang sudah ada merupakan bentuk penafsiran tentang hal-hal yang tidak asli juga.
Ini artinya -konsekuensi dari mengkonsumsi penafsiran-penafsiran yang sudah ada- sangat jelas akan merugikan banyak umat. Konsekuensinya, dengan mengkonsumsi hasil tafsiran dan pemahaman dari kitab suci yang sudah tidak asli tersebut, generasi umat manusia dikuatirkan akan terjerumus pada wilayah kesalahan fatal yang begitu dalam.
Oleh karena asumsi inilah, Hassan Hanafi dalam kerangka penafsiran kitab suci mengatakan bahwa untuk melakukan tindakan penafsiran sebuah kitab suci+ perlu (pada mulanya) mengetahui keotentikan sebuah kitab suci terlebih dahulu. Hal ini disebabkan karena –bagi Hanafi- langkah memahami makna sebuah pesan Tuhan yang terdokumentasikan dalam kitab suci tidak hanya harus berkutat –sebagaimana dewasa ini terjadi- pada wilayah pemaknaan teks redaksinya (kritik eidetik) an sich, namun –bagi Hanafi- tindakan memahami pesan Tuhan tersebut perlu disertai dengan adanya tindakan pemahaman mengetahui keotentikan redaksi kitab suci terlebih dahulu (yang dalam hal ini disebut oleh Hanafi sebagai kritik sejarah, kritik historis).
Hal inilah yang menjadikan penulis -tanpa bermaksud mengupas tuntas mencari jawaban- berkeinginan untuk meneliti dan mengkajinya. Setidaknya hal ini (dalam rangka) berupaya memahami pesan Tuhan secara tepat sebagaimana yang ditawarkan Hanafi selain mengetahui penjelasan mengenai keaslian sebuah kitab suci.
0 komentar:
Posting Komentar