BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi sehingga dibutuhkan penyediaan dana yang cukup besar. Oleh karena itu diperlukan lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu memberi kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Sehubungan dengan perkembangan tata ekonomi Indonesia, Staatsblad 1937-190 tentang Credietverband dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan perkreditan, sedangkan perkembangan mengenai hak-hak atas tanah menuntut harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat banyak. Selain Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan sebagai hak atas tanah yang dapat dibebankan Hak Tanggungan berdasar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Hak Pakai atas tanah tertentu yang wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan, perlu juga dimungkinkan untuk dibebani Hak Tanggungan.
Berhubung dengan hal-hal tersebut di atas, maka dibentuklah undang-undang yang mengatur masalah hak tanggungan atas tanah secara tersendiri, sekaligus mewujudkan unifikasi Hukum Tanah Nasional. Undang-undang yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, yang kemudian disebut dengan Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT).
Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hak tanggungan lahir dengan sebuah perjanjian. Adapun beberapa unsur pokok dari hak tanggungan adalah:
1. Hak yaitu hak jaminan yang dibebankan atas tanah sebagai yang dimaksud oleh UUPA;
2. Berikut atau tidak berikut dengan benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu;
3. Untuk pelunasan utang tertentu;
4. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur yang lain.
Adapun ciri-ciri hak tanggungan adalah memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas. Asas spesialitas yaitu asas yang mewajibkan dalam muatan akta pemberian hak tanggungan harus mencantumkan ketentuan-ketentuan seperti ditegaskan dalam pasal 11 UUHT. Sedangkan asas publisitas yaitu asas yang mewajibkan didaftarkannya hak tanggungan pada kantor pertanahan setempat sesuai Pasal 13 UUHT.
Objek hak tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang diatur dalam UUPA. Benda-benda (tanah) akan dijadikan jaminan atas suatu utang dengan dibebani hak tanggungan harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Dapat dinilai dengan uang;
2. Harus memenuhi syarat publisitas;
3. Mempunyai sifat droit de suite apabila debitor cidera janji;
4. Memerlukan penunjukkan menurut UU.
Hak tanggungan tidak dapat berdiri sendiri tanpa didukung oleh suatu perjanjian (perjanjian kredit) antara debitor dan kreditor. Dalam perjanjian itu diatur tentang hubungan hukum antara kreditor dan debitor, baik menyangkut besarnya jumlah kredit yang diterima oleh debitor, jangka waktu pengembalian kredit, maupun jaminan yang nantinya akan diikat dengan hak tanggungan. Oleh karena hak tanggungan tidak dapat dilepaskan dari perjanjian kredit, itulah sebabnya maka hak tanggungan dikatakan accessoir (mengikuti) perjanjian pokoknya.
Kredit yang diberikan oleh kreditor mengandung risiko, maka dalam setiap pemberian kredit, bank tidak diperkenankan memberikan kredit tanpa ada suatu perjanjian tertulis. Itu sebabnya diperlukan suatu jaminan kredit dengan disertai keyakinan akan kemampuan debitor melunasi utangnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang menyatakan dalam memberikan kredit, bank umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitor untuk melunasi hutangnya sesuai yang diperjanjikan.
Dalam menjalankan suatu perjanjian khususnya dalam perjanjian kredit, para pihak (debitor, kreditor) selalu dibebani dua hal yaitu hak dan kewajiban. Menurut J. Satrio bahwa suatu perikatan yang dilahirkan oleh suatu perjanjian, mempunyai dua sudut: sudut kewajiban-kewajiban (obligations) yang dipikul oleh suatu pihak dan sudut hak-hak atau manfaat, yang diperoleh oleh lain pihak, yaitu hak-hak menurut dilaksanakannya sesuatu yang disanggupi dalam perjanjian itu. Jadi hak tanggungan merupakan jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberi kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya.
Kreditor sebagai pemegang hak tanggungan mempunyai hak mendahului daripada kreditor-kreditor yang lain (“droit de preference”) untuk mengambil pelunasan dari penjualan tersebut. Selain itu hak tanggungan akan tetap membebani obyek hak tanggungan ditangan siapapun benda itu berada, ini berarti bahwa kreditor pemegang hak tanggungan tetap berhak menjual lelang benda tersebut, biarpun sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain (“droit de suite”).
Dalam hal terjadinya pengalihan barang jaminan kepada pihak lain tanpa seizing pihak kreditor maka kreditor dapat mengajukan upaya hukum untuk membatalkan seluruh tindakan deditor yang dianggap merugikan. Dengan demikian, dalam perjanjian tanggungan, pihak kreditor tetap diberikan hak-hak yang dapat menghindarkannya dari praktek-praktek “nakal” debitor atau kelalaian debitor.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam perjanjian hak tanggungan, seorang kreditor diberikan hak untuk mendapatkan pelunasan terlebih dahulu dari pihak pemberi tanggungan selain itu, pihak kreditor dapat pula mengajukan hak mendahuluinya, dalam hal terjadinya pengalihan barang jaminan oleh debitor tanpa izin kreditor.
Sehubungan dengan hak tanggungan atas tersebut di atas, sering terdapat kasus-kasus terkait dengan hak tanggungan yang muncul ke permukaan dan merupakan bahan pemberitaan di media massa. Secara makro penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan tersebut adalah sangat bervariasi yang antara lain harga tanah yang meningkat dengan cepat, kondisi masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan kepentingan/haknya, iklim keterbukaan yang digariskan pemerintah. Pada hakikatnya, kasus tersebut merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan dengan perorangan, perorangan dengan badan hukum, badan hukum dengan badan hukum, dan lain sebagainya.
Kasus yang menjadi fokus pembahasan penulis dalam penulisan ini adalah kasus perdata tanah mengenai kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki obyek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji sebagaimana diputuskan oleh Mahkamah Agung melalui Putusan No. 901/Pdt/2007, tanggal 24 Oktober 2007 tentang Perkara Permohonan Eksekusi Hak Tanggungan No. 147/PEN.EKS/APHT/2003/PN.TNG. Sengketa hak tanggungan atas tanah inii terjadi antara PT. Bank Niaga selaku Pemohon Kasasi dahulu Tergugat I - Pembanding I melawan Ny. Han Moy selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat – Terbanding dan CV. Rahayu, Yohan Suparman, Pemerintah RI cq. Departemen Keuangan RI cq. Direktorat Jenderal Piutang Dan Lelang Negara, cq. Kantor Wilayah IV Bandung cq. Kantor Pelayanan Piutang Dan Lelang Negara Serang selaku para turut Termohon Kasasi dahulu para Tergugat – Pembanding II dan para turut Terbanding.
Kasus ini berawal dari perjanjian kredit antara CV. Rahayu dengan Bank Niaga dengan tujuan untuk investasi perluasan modal kerja, masa berlakunya kredit ini efektif mulai berlaku pada tanggal 14 Nopember 2002 dan harus dilunasi pada tanggal 14 Nopember 2005. Namun setelah pinjaman kredit diterima oleh CV. Rahayu, ternyata pelaksanaan program perluasan usaha sebagaimana yang tertuang dalam persetujuan fasilitas kredit tidak dilaksanakan, dan ternyata dialihkan kebidang usaha lain yaitu pembebasan tanah Bandara Soekarno Hatta.
Salah satu persyaratan dalam perjanjian kredit investasi adalah kewajiban dari CV. Rahayu, untuk menyerahkan sebagai jaminan yaitu 3 (tiga) bidang tanah Sertipikat Hak Guna Bangunan milik Penggugat yang asalnya dari Sertipikat Hak Milik No. 344, No. 421 dan No. 538 yang kini telah dibalik nama oleh PT. Bank Niaga menjadi :
1. Sertipikat HGB No. 8563/Cibodas, luas 650 m2, gambar situasi tanggal 15 Desember 2004 No. 271/Cibodas/2004, tertanggal 10 Juli 1987 yang tercatat atas nama PT. Bank Niaga Tbk ;
2. Sertipikat HGB No. 8564/Cibodas, luas 1.133 m2, gambar situasi tanggal 15 Desember 2004 No. 272/Cibodas/2004, tertanggal 15 Oktober 1991 yang tercatat atas nama PT. Bank Niaga Tbk ;
3. Sertipikat HGB No. 8565/Cibodas, luas 1.500 m2, gambar situasi tanggal 15 Desember 2004 No. 273/Cibodas/2004, tertanggal 10 April 1996 yang tercatat atas nama PT. Bank Niaga Tbk ;
Sertipikat Hak Guna Bangunan (HGB) milik Penggugat tersebut diatas telah dijadikan sebagai jaminan karena berdasarkan kesepakatan bersama yang tertuang dalam Akta pendirian perusahaan yang dibuat oleh Notaris Nani Wahyudi, SH dan Akta perubahan yang dibuat oleh Notaris Herry Sosiawan, SH, Sdr. Anton Wijaya selaku Direktur CV. Rahayu berjanji untuk dengan segera selambat-lambatnya pada tanggal 14 Maret 2003, setelah sertipikat hak atas tanah tersebut selesai segera menyerahkan kepada PT. Bank Niaga sebagai jaminan, dan melaksanakan serta menandatangani akta pemberian jaminan atas tanah dan bangunan sesuai dengan Akta Perjanjian Kredit.
Oleh karena CV. Rahayu tidak melaksanakan program perluasan usaha sebagaimana yang tertuang dalam persetujuan fasilitas kredit antara Bank Niaga dengan CV. Rahayu dan ternyata dialihkan kebidang usaha lain yaitu pembebasan tanah Bandara Soekarno Hatta. Maka seluruh jumlah pinjaman baik karena hutang pokok, bunga, provisi, fee dan biaya lainnya wajib dibayarkan kembali dengan seketika dan seluruhnya kepada Bank Niaga, karena kelalaian dari CV. Rahayu tersebut.
Oleh karena CV Rahayu terhitung sejak April 2003 tidak melakukan pembayaran atas kelalaiannya tersebut kepada Bank Niaga. Dengan berdasar pada Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan Pasal 6 UUHT, Bank Niaga melakukan tindakan penyitaan atas harta milik Penggugat berupa Sertipikat Hak Milik No. 344 No. 421, No. 583 atas bidang tanah dan bangunan milik suami istri yang tercatat atas nama Yohan Suparman yang telah dijual lelang oleh Kantor Lelang Negara yang lelangnya telah dilaksanakan pada tanggal 3 September 2004 No. 426/2004.
Namun dalam proses pelelangan objek hak tanggungan dalam hal ini sertipikat hak milik (yang juga merupakan objek hak tanggungan CV. Rahayu terhadap Bank Niaga) yang dilakukan oleh Bank Niaga tersebut, namun dalam proses pelelangan tersebut Bank Niaga juga bertindak sebagai pembeli lelang dari sertipikat tersebut.
Dengan berdasar pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 49/PRP/1960 yang mengatur mengenai penyelesaian kredit macet menyatakan bahwa penyelesaian kredit macet harus diadakan kesepakatan terlebih dahulu antara debitur dengan Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) yang menghasilkan surat pernyataan bersama yang berkepala ‘Atas Nama Keadilan’. Kemudian surat pernyataan bersama ini mempunyai kekuatan eksekutorial sebagai landasan hukum untuk melakukan penyitaan barang agunan dan pelelangan, serta Pasal 12 UUHT yang menyebutkan bahwa "pemegang Hak Tanggungan dilarang untuk membeli tanah dimaksud dari pelelangan, jadi ikut dalam pelelangan apa akibatnya, pasti bahwa hal-hal yang sangat memprihatinkan akan terjadi dan yang menjadi korban adalah rakyat”, pihak penggugat Ny. Han Moy yang juga merupakan istri dari Yohan Suparman (Direktur Keuangan CV Rahayu yang mengadakan perjanjian kredit dengan Bank Niaga) menggugat bahwa pelelangan yang dilakukan oleh Bank Niaga cacat hukum.
Terhadap gugatan dari Ny. Han Moy tersebut di atas Pengadilan Negeri Tangerang telah membuat putusan, melalui Putusan No. 215/PDT.G/2005/PN.TNG, tanggal 21 Februari 2006 yang amarnya sebagai berikut : “Menyatakan tidak sah penjualan lelang atas tanah-tanah milik Yohan Suparman yaitu Serfikat Hak Milik No. 344, No. 421, dan No. 583 oleh Bank Niaga melalui perantaraan Kantor Pelayanan Piutang Dan Lelang Negara Serang. Menyatakan Risalah Lelang 426/2004 tertanggal 3 September 2004 yang dibuat oleh turut Tergugat I tidak mempunyai kekuatan hukum. Dan menghukum turut Tergugat I dan turut Tergugat II tunduk dan patuh terhadap putusan ini.”
Putusan Pengadilan Negeri tersebut diambil alih sebagai pertimbangan hukum dari Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Banten di Serang dan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Banten dengan putusan No. 41/Pdt/2006/PT.Banten tanggal 18 September 2006.
Dalam perkara ini dengan mendasarkan diri Pasal 12 A (1) UU No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 Tentang PERBANKAN yang berbunyi "Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun diluar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual diluar lelang dari pemilik agunan dalam hal Nasabah Debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya ; yang selanjutnya penjelasan dari pasal ini*menyatakan bahwa "Pembelian agunan oleh bank melalui pelelangan dimaksudkan untuk membantu bank agar dapat mempercepat penyelesaian kewajiban Nasabah Debiturnya. Dalam hal Bank sebagai pembeli agunan Nasabah Debiturnya, status bank adalah sama dengan pembeli bukan bank lainnya. Bank dimungkinkan membeli agunan diluar pelelangan dimaksudkan agar dapat mempercepat penyelesaian kewajiban Nasabah Debiturnya. Bank Niaga melakukan permohonan kasasi secara lisan pada tanggal 14 Desember 2006 sebagaimana ternyata dari akte permohonan kasasi No. 215/Pdt.G/2005/PN/TNG yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri Tangerang, permohonan mana disertai dengan/diikuti oleh memori kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 27 Desember 2006.
Berdasarkan hal tersebut Mahkamah Agung pada tanggal 24 Oktober 2007 melalui Putusan No. 9001 K/Pdt/2007, memutuskan untuk membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Banten di Serang No. 41/Pdt/2006/PT.Banten tanggal 18 September 2006 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Tangerang No. 215/Pdt.G/2005/PN.TNG, tanggal 21 Februari 2006, menolak gugatan Penggugat, dan menghukum Termohon Kasasi/Penggugat untuk membayar biaya perkara.
Hal tersebut di ataslah yang menjadi fokus pembahasan dari penulisan ilmiah ini, yaitu mengenai keabsahan dari pemegang Hak Tanggungan untuk ikut menjadi peserta lelang dan membeli tanah yang merupakan objek Hak Tanggungan dalam suatu pelelangan dari objek tersebut. Ini terjadi karena adanya kerancuan yang terkandung dalam Pasal 12 UUHT yang berbunyi “Janji yang memberi kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk memiliki obyek Hak Tanggungan apabila cidera janji, akan batal demi hukum”.
Selain itu bagaimana dengan pertimbangan hukum dari Termohon Kasasi/dahulu Penggugat dengan berdasar pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 49/PRP/1960 yang mengatur mengenai penyelesaian kredit macet menyatakan bahwa penyelesaian kredit macet harus diadakan kesepakatan terlebih dahulu antara debitur dengan PUPN yang menghasilkan surat pernyataan bersama yang berkepala ‘Atas Nama Keadilan’. Kemudian surat pernyataan bersama ini mempunyai kekuatan eksekutorial sebagai landasan hukum untuk melakukan penyitaan barang agunan dan pelelangan. Apakah hal ini dapat menyebabkan proses kepemilikan tanah Serfikat Hak Milik No. 344, No. 421, dan No. 583 yang di beli melalui pelelangan tersebut menjadi cacat hukum.
Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk mengangkat permasalahan yang timbul ke dalam suatu penulisan skripsi yang berjudul: “Dampak Penyalahgunaan Perjanjian Kredit Dari PT. Bank Niaga Oleh CV. Rahayu Terhadap Tanah Objek Hak Tanggungan”.
0 komentar:
Posting Komentar