Pages

Sabtu, 04 Juli 2015

Peranan Barang Bukti Terhadap Putusan Pengadilan Dalam Penyelesaian Perkara Pembunuhan Di Pengadilan Negeri Semarang (HK-24)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penegakan hukum adalah suatu kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah/ pandangan-pandangan nilai yang mantap dan mengejawantahkan serta sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup baik merupakan tindakan pencegahan (preventif) maupun tindakan pemberantasan (represif) (Afiah, 1989:13).

Dalam upaya penegakan hukum, selain kesadaran akan hak dan kewajiban, juga tidak kurang pentingnya akan kesadaran penggunaan kewenangan-kewenangan aparat penegak hukum, karena penyalahgunaan kewenangan-kewenangan tersebut selain sangat memalukan dan dapat merugikan keuangan negara juga dapat mengakibatkan timbulnya kekhawatiran atau ketakutan jika berhadapan dengan aparat penegak hukum.


Adalah suatu kewajiban bersama untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran pada diri setiap warga negara untuk ikut berperan serta menegakkan kebenaran dan keadilan. Karena tegaknya kebenaran dan keadilan dalam masyarakat adalah untuk kepentingan bersama. Kesadaran
pada setiap warga dapat tercermin dari adanya warga negara yang melihat
suatu peristiwa atau mengetahui peristiwa tidak akan menghindarkan diri dari kewajiban sebagai saksi bahkan dengan suka rela dan ikhlas mengajukan diri sebagai saksi.

Hukum acara pidana mempunyai tujuan untuk mencari dan mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat waktu dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwa melakukan suatu pelanggaran hukum, selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan oleh orang yang didakwa itu.

Penanganan suatu perkara pidana mulai dilakukan oleh penyidik setelah menerima laporan dari masyarakat ataupun diketahui sendiri tentang terjadinya tindak pidana, atau bisa juga tertangkap tangan, kemudian dituntut oleh penuntut umum dengan jalan melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan negeri. Selanjutnya hakim melakukan pemeriksaan apakah dakwaan penuntut umum terhadap terdakwa terbukti atau tidak.
Bagian yang paling penting dari tiap-tiap proses pidana adalah persoalan mengenai pembuktian, karena dari hal inilah tergantung apakah tertuduh akan dinyatakan bersalah atau dibebaskan.

Untuk kepentingan pembuktian tersebut maka kehadiran benda- benda yang tersangkut dalam suatu tindak pidana, sangat diperlukan. Benda- benda dimaksud lazim dikenal dengan istilah “barang bukti”.

Istilah barang bukti dalam perkara pidana yaitu barang mengenai mana delik dilakukan (obyek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan yaitu alat yang dipakai untuk melakukan delik misalnya pisau yang dipakai menikam orang. Termasuk juga barang bukti ialah hasil dari delik misalnya uang negara yang dipakai (korupsi) untuk membeli rumah pribadi, maka rumah pribadi itu merupakan barang bukti, atau hasil delik (Afiah, 1989:15).

Di samping itu ada pula barang bukti yang bukan merupakan obyek, alat atau hasil delik, tetapi dapat pula dijadikan barang bukti sepanjang barang tersebut mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana, misalnya pakaian yang dipakai korban pada saat ia dianiaya atau dibunuh.

Dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.
Selanjutnya ketentuan tersebut di atas ditegaskan lagi dalam Pasal
183 KUHAP yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP disebutkan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang. Adanya ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal
183 KUHAP menunjukkan bahwa negara kita menganut sistem atau teori pembuktian secara negatif menurut undang-undang, di mana hakim hanya dapat menjatuhkan hukuman apabila sedikit-dikitnya terdapat dua alat bukti dalam peristiwa pidana yang dituduhkan kepadanya. Walaupun alat-alat bukti lengkap, akan tetapi jika hakim tidak yakin tentang kesalahan terdakwa maka harus diputus lepas.

Adapun yang dimaksud dengan sistem pembuktian secara negatif menurut undang-undang adalah:
1. Untuk mempersalahkan seorang terdakwa diperlukan suatu minimum pembuktian yang ditetapkan dalam undang-undang.
2. Namun demikian biarpun bukti bertumpuk-tumpuk melebihi minimum yang ditetapkan dalam undang-undang tadi, jika hakim tidak berkeyakinan tentang kesalahan terdakwa, ia tidak mempersalahkan dan menghukum terdakwa.
Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah:

a. Keterangan saksi. b. Keterangan ahli.
c. Surat.
d. Petunjuk.

e. Keterangan terdakwa.

Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung oleh satu alat bukti yang sah. Dengan kata lain, walaupun hanya didukung oleh satu alat bukti yang sah, dan hakim yakin atas kesalahan terdakwa maka terdakwa tersebut dapat dihukum.
Dengan demikian hakim baru boleh menghukum seorang terdakwa apabila kesalahannya terbukti secara sah menurut undang-undang. Bukti-bukti itu harus pula diperkuat dan didukung oleh keyakinan hakim. Jadi walaupun alat bukti sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP terpenuhi, namun apabila hakim tidak berkeyakinan atas kesalahan terdakwa, maka terdakwa tersebut dapat dibebaskan. Hal ini sejalan dengan tugas hakim dalam pengadilan pidana yaitu mengadili dalam arti menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan (Pasal 1 butir 9 KUHAP).

Undang-undang selalu menempatkan keyakinan hakim sebagai suatu kunci terakhir dalam pemeriksaan pengadilan di persidangan. Keyakinan hakim memegang peranan yang tidak kalah pentingnya dengan upaya-upaya bukti yang diajukan di persidangan, bahkan keyakinan hakim diletakkan oleh pembuat undang-undang di tingkat teratas. Karena berapapun saja upaya bukti yang diajukan di persidangan mengenai suatu tindak pidana, kalau hakim
tidak yakin atas kesalahan (kejahatan) yang dituduhkan kepada terdakwa, maka terdakwa tidak dapat dipidana (Pasal 183 KUHAP), berarti dibebaskan atau setidak-tidaknya dilepaskan.

Faktor keyakinan itulah yang memberi bobot dan sekaligus ciri pada prinsip-prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, peradilan yang bebas dan kebebasan hakim dalam mengenai perkara yang disidangkan.
Untuk mendukung dan menguatkan alat bukti yang sah sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, dan untuk memperoleh keyakinan hakim atas kesalahan yang didakwakan penuntut umum kepada terdakwa, maka di sinilah letak pentingnya barang bukti tersebut.

Dengan demikian bukan tersangka (pelaku tindak pidana) saja yang harus dicari atau ditemukan oleh penyidik, melainkan bahan pembuktiannyapun harus ditemukan pula . Hal ini mengingat bahwa fungsi utama dari hukum acara pidana adalah tidak lain dari pada merekonstruksi kembali kejadian-kejadian dari seorang pelaku dan perbuatannya yang dilarang, sedangkan alat-alat pelengkap dari pada usaha tersebut adalah barang bukti.
Pelaku, perbuatannya dan barang bukti merupakan suatu kesatuan yang menjadi fokus dari usaha mencari dan menemukan kebenaran materiil.

Terhadap pelaku harus dibuktikan bahwa ia dapat dipertanggung jawabkan secara pidana di samping bukti tentang adanya kesalahan, dan
terhadap perbuatannya apakah terbukti sifat melawan hukum dari perbuatan itu.
Bahwa peranan barang bukti dalam tindak pidana pembunuhan sangat penting dalam pembuktian perkara pidana, yaitu harus ada keterkaitan antara pelaku, perbuatan, dan barang bukti yang digunakan pelaku dalam melakukan tindak pidana tersebut. Barang bukti dalam tindak pidana pembunuhan menjadi penting karena dalam tindak pidana pembunuhan sering kali tidak ditemukan bukti-bukti yang lengkap, demikian juga saksi mata yang melihat kejadian tersebut. Melihat keadaan tersebut tentu sangat menyulitkan aparat hukum dalam mengungkap pelaku dan kejadian tersebut.
Bagi penyidik barang bukti dalam tindak pidana pembunuhan berperan dalam mengungkap pelaku dari tindak pidana tersebut, serta mengungkap kejadian sebenarnya dari perkara tersebut. Bagi penuntut umum, barang bukti dalam tindak pidana pembunuhan digunakan sebagai dasar untuk melakukan penuntutan terhadap tersangka pelaku tindak pidana pembunuhan. Sedangkan bagi hakim, barang bukti tersebut akan menjadi dasar pertimbangan dalam menjatuhkan putusan bagi terdakwa.

Begitu pentingnya barang bukti dalam tindak pidana pembunuhan maka penyidik harus sebisa mungkin mendapatkan barang bukti di Tempat Kejadian Perkara (TKP), karena pengungkapan perkara tersebut berawal dari adanya barang bukti yang ditemukan dan kemudian disita oleh penyidik.

Dalam prakteknya, penyitaan barang bukti juga terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Barang bukti dalam tindak pidana pembunuhan adalah mayat manusia, dalam hal ini tentunya dalam menangani perkara pembunuhan perlu ketentuan-ketentuan khusus yakni dalam hal penyitaan barang bukti apakah harus menunggu izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat atau tidak, karena dikhawatirkan barang bukti dan lokasi di Tempat Kejadian Perkara (TKP) akan berubah atau bahkan hilang apabila tidak dilakukan tindakan oleh penyidik.
Terkait dengan hal tersebut, peneliti mengambil judul “Pengaruh barang bukti terhadap putusan pengadilan dalam penyelesaian perkara pidana pembunuhan di Pengadilan Negeri Semarang”.

0 komentar:

Posting Komentar