BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hidup berumah tangga merupakan tuntutan fit}rah manusia sebagai makhluk sosial. Keluarga atau rumah tangga muslim adalah lembaga terpenting dalam kehidupan kaum muslimin umumnya dan manhaj amal Islami> khususnya. Ini semua disebabkan karena peran besar yang dimainkan oleh keluarga, yaitu mencetak dan menumbuhkan generasi masa depan, pilar penyangga bangunan umat dan perisai penyelamat bagi negara.
Maka tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa keluarga merupakan pondasi awal dari bangunan masyarakat dan bangsa. Oleh karenanya, keselamatan dan kemurnian rumah tangga adalah faktor penentu bagi keselamatan dan kemurnian masyarakat, serta sebagai penentu kekuatan, kekokohan, dan keselamatan dari bangunan negara. Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa apabila bangunan sebuah rumah tangga hancur maka sebagai konsekuensi logisnya masyarakat serta negara bisa dipastikan juga akan turut hancur.
Kemudian setiap adanya sekumpulan atau sekelompok manusia yang terdiri atas dua individu atau lebih, tidak bisa tidak, pasti dibutuhkan keberadaan seorang pemimpin atau seseorang yang mempunyai wewenang mengatur dan sekaligus membawahi individu lainnya (tetapi bukan berarti seperti keberadaan atasan dan bawahan).
Demikian juga dengan sebuah keluarga, karena yang dinamakan keluarga adalah minimal terdiri atas seorang suami dan seorang istri yang selanjutnya muncul adanya anak atau anak-anak dan seterusnya. Maka, sudah semestinya di dalam sebuah keluarga juga dibutuhkan adanya seorang pemimpin keluarga yang tugasnya membimbing dan mengarahkan sekaligus mencukupi kebutuhan baik itu kebutuhan yang sifatnya dhohir maupun yang sifatnya bat}iniyah di dalam rumah tangga tersebut supaya terbentuk keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Di dalam al-Qur’ān disebutkan bahwa suami atau ayahlah yang mempuyai tugas memimipin keluarganya.
ألرّجال قوّامون علىالنّسآء.
Sebagai pemimpin keluarga, seorang suami atau ayah mempunyai tugas dan kewajiban yang tidak ringan yaitu memimpin keluarganya. Dia adalah orang yang bertanggung jawab terhadap setiap individu dan apa yang berhubungan dengannya dalam keluarga tersebut, baik yang berhubungan dengan jasādiyah, rūhiyah, maupun aqliyahnya. Yang berhubungan dengan jasādiyah atau yang identik dengan kebutuhan lahiriyah antara lain seperti kebutuhan sandang, pangan, tempat tinggal, ataupun yang sifatnya sosial seperti kebutuhan berinteraksi dengan sesamanya dan lain sebagainya. Sedangkan kebutuhan yang berhubungan dengan rūhiyah seperti kebutuhan
beragama, kebutuhan aqidah atau kebutuhan tauhid, dsb. Kemudian selanjutnya adalah kebutuhan yang bersifat aqliyah yaitu kebutuhan akan pendidikan.
Namun dari semua kebutuhan yang tersebut di atas, kebutuhan ru>hiyah lah yang paling penting. Yaitu apa saja yang berhubungan dengan aqi>dah islami>yah. Karena masalah ini berlanjut sampai kehidupan kelak di akherat. Allah SWT berfirman:
يآأيّها ألّذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا.
Selain sebagai seorang suami dan atau ayah yang mempunyai tanggung jawab terhadap keluarga yang dipimpinnya, laki-laki sebagai seorang muslim juga mempunyai tugas yang tidak kalah pentingya dan merupakan tugas pokok setiap muslim atau mu’min yaitu melakukan amar ma’ru>f nahi> munkar. Sesuai firman-Nya:
ولتكن منكم أمة يدعون الىالخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر.
Perintah untuk amar ma’ru>f nahi> munkar ini di dalam al-Qur’ān disebutkan di beberapa surat, antara lain: Ali Imrān (3): 3 dan 114; al-Nisā’ (4): 114; al-Māidah (5): 63, 78, 79; al-An’ām: 69; al-A’rāf (7): 157, 165, 199; al-Taubah (33): 67, 71, 112; Hūd (11): 116; al-Nahl (16): 90; Maryam (19): 55; al-Hajj (22): 41, 77; an-Nūr (24): 21; Luqmān (31): 17; al-Z|āriyāt (51): 55; al-A’lā (87): 9.
Amar ma’ru>f nahi> munkar diperintahkan untuk dikerjakan di manapun dan kapanpun seorang muslim berada dan kepada siapa saja hal itu perlu dilakukan. Akan tetapi yang paling penting dan utama dilakukan amar ma’ru>f nahi> munkar adalah dimulai dari diri sendiri, keluarga dekat maupun jauh, baru kemudian kepada masyarakat secara umum. Juga dengan cara apapun sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan, misalnya dengan ucapan saja ataukah diperlukan dengan perbuatan.
Karena urgennya mengerjakan amar ma’ru>f nahi> munkar ini, oleh beberapa orang yang merasa perlu mengajak orang-orang yang se-ide dengan mereka untuk membuat wadah atau perkumpulan (karena mereka tidak mau disebut sebagai organisasi, red) yang khusus mewadahi kegiatan mereka tersebut yaitu berupa dakwah atau tablig. Untuk masa sekarang ini telah banyak kelompok-kelompok atau jama’ah muslim yang memfokuskan diri bekerja di sektor dakwah dan salah satunya yang cukup besar menamakan dirinya dengan Jama>’ah Tablig.
Di dalam tulisan ini penyusun hanya memfokuskan pembahasan pada Jama>’ah Tablig (yang selanjutnya disebut dengan JT) dengan alasan bahwa JT yang mempunyai aliran sufiyah ini mempunyai model dakwah yang cukup menarik yaitu di samping mempunyai koordinasi yang bagus antar anggotanya juga yang terpenting adalah para anggntanya mempunyai semangat kemandirian yang tinggi, yaitu dengan mengandalkan biaya sendiri dan meluangkan waktunya untuk bertabligh ke berbagai penjuru desa, kota bahkan manca negara dalam jangka waktu tertentu antara 3-40 hari, 4-7 bulan bahkan setahun yang mereka biasa menyebutnya dengan khurūj fi sabilillah. Itu semua dilakukan mereka dengan meninggalkan keluarganya dan semua kesibukan yang sifatnya duniawi.
Alasan selanjutnya kenapa penyusun memilih JT adalah karena JT yang didirikan oleh Maulana Muhammad Ilya>s ini berupaya untuk mewujudkan ajaran Islam secara konsisten sesuai dengan ajaran dan yang dilakukan oleh Nabi SAW pada masa itu. Sehingga kadang-kadang apa yang dilakukan oleh mereka (anggota JT) tidak sesuai lagi dengan zamannya terutama masalah yang berhubungan dengan keseimbangan hak dan kewajiban di dalam rumah tangga.
Maulana Muhammad Ilya>s berpendapat setiap orang Islam baik laki-laki maupun perempuan harus mengikuti jejak langkah Nabi SAW. Jadi mesti menyeru manusia ke jalan Allah, kapan saja ada kesempatan untuk melakukan hal tersebut di hadapannya. Menyeru manusia ke jalan yang benar mestilah dijadikan tugas dalam kehidupannya. Maka sudah sepantasnya kalau mengaku sebagai umat Muhammad saw harus meneruskan tugas Beliau ber-amar ma’ru>f nahi> munkar yang komplit.
Untuk melaksanakan dakwah, Maulana Muhammad Ilya>s berpendapat diperlukan upaya khurūj, yaitu keluar rumah meninggalkan segala kesibukan duniawi dengan jangka waktu tertentu untuk meningkatkan keagamaannya dan ta’lim. Dengan demikian berdakwah dengan cara berkeliling (jaulah) merupakan sebuah keharusan, karena itu berarti tugas dakwah merupakan tugas setiap umat Islam secara individual, bukan diserahkan kepada institusi atau lembaga yang bergerak di bidang dakwah saja.
Amalan jaulah merupakan tulang punggung dalam menjalankan tugas-tugas jama’ah. Jika amalan ini benar dan sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh jama’ah niscaya amalan ini diterima oleh Allah SWT. Demikian juga Allah juga akan menerima amalan dakwah yang dilakukan oleh manusia. Jika Allah menerima dakwah seseorang, niscaya Allah juga akan menerima doa manusia sehingga Dia akan menurunkan hidayah-Nya.
Demikianlah pentingnya tanggung jawab seorang muslim terhadap kehidupannya di dunia sebagai hamba Allah yang dipercaya memikul predikat khali>fah fî> al-ard}. Dalam beberapa hal yang berkaitan dengan tanggung jawabnya terhadap keluarganya dan tanggung jawabnya sebagai muslim yang konsekuen terhadap perintah agamanya (di jalan Allah). Bagaimanakah sebenarnya konsep bentuk keluarga sakinah menurut mereka (JT) dalam menyikapi situasi dan kondisi yang mereka hadapi dan yang mereka kerjakan, serta bagaimana konsep tersebut jika dilihat dari sudut pandang hukum Islam. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang melatarbelakangi penyusun untuk membahasnya dalam sebuah karya tulis.
0 komentar:
Posting Komentar