BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam Islam, persoalan nikah adalah salah satu persoalan penting yang diatur dalam berbagai ajarannya. Al-Qur’an dan As-Sunah, dua sumber utama ajaran islam, banyak berbicara tentang persoalan ini. Secara lebih sistematis dan komprehensif, tema ini dipaparkan di dalam kitab-kitab fiqih dari berbagai mazhab. Dan dalam pandangan Jawa, hubungan seks juga sangat ditabukan dan hanya boleh dilakukan ketika dalam lembaga perkawinan. Hal ini dianut dan menjadi pandangan umum masyarakat Jawa.
Salah satu persoalan yang terkait dengan persoalan nikah adalah persoalan kafa’ah, yakni kesejajaran, kesetaraan, kesepadanan, atau kesederajatan antara pihak calon suami dan pihak istri dalam faktor-faktor tertentu. Persoalan kafa’ah ini menjadi penting di dalam pembahasan tentang nikah, karena fuqaha telah sepakat bahwa kafa’ah merupakan hak bagi calon istri dan walinya. Maksudnya, calon istri berhak menolak atau menggagalkan pernikahan yang akan atau telah dilakukan oleh walinya, apabila dia menilai calon suami yang dipilihkan oleh walinya tidak sekufu’ dengannya. Demikian pula sebaliknya, wali berhak menolak atau menggagalkan pernikahan yang akan atau telah dilangsungkan di hadapan wali hakim oleh calon istri apabila calon suami dinilainya tidak sekufu’ dengan wanita yang berada di bawah perwaliannya itu.
Di kalangan fuqaha, terdapat perbedaan pendapat mengenai konsep kafa’ah ini, terutama tentang faktor-faktor yang diperhitungkan dalam menentukan kesekufu’an seseorang. Menurut Mazhab Hanafi, faktor keberagamaan, keturunan, profesi dan kemerdekaan menentukan kesepadanan itu, sementara menurut Mazhab Maliki, hanya faktor keberagamaan yang diperhitungkan dalam menentukan konsep kesepadanan. Dalam pandangan Mazhab Syafi’i faktor keberagamaan, profesi, dan kekayaan menjadi faktor yang diperhitungkan dalam menentukan kesepadanan seseorang. Adapun menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Buku I. Hukum perkawinan Bab IV Pasal 23 Ayat (1) dan (2), apabila wali nasab enggan atau tidask bewrsedia menjadi wali, maka wali hakim bisa bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan dari Peradilan Agama. Dan pada Bab X pasal 61 dinyatakan bahwa tidak sekufu’ tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu’ karena perbedaan agama (ikhtilaf ad-din).
Dalam pandangan masyarakat Jawa sendiri, hubungan seks sangat ditabukan dan hanya bisa dilakukan dalam lembaga perkawinan. Itulah mengapa perkawinan menjadi sangat penting bagi fase kehidupan masyarakat Jawa. Perkawinan ditempatkan sebagai fase penting sama dengan sebuah kelahiran dan kematian. Adagium yang mengatakan bahwa hidup itu adalah lahir, kawin dan mati begitu terkenal dalam masyarakat Jawa.
Dalam memahami pandangan hidup suatu masyarakat, kita bisa mempelajarinya melalui catatan-catatan yang ditinggalkan oleh masyarakat tersebut pada jaman dahulu. Catatan itu bisa bersifat tulisan atau pun dari tradisi yang berkembang pada masyarakat. Jawa abad 19 juga menemukan sebuah cara perlawanan terhadap penjajahan yang betul-betul lahir dari pandangan hidup dan filsafat orang jawa yang kemudian membentuk sosok “Jawa” yang orisinil, yaitu melalui perhelatan perkawinan kerajaan.
Sementara itu, literatur-literatur sastra jawa tidak banyak yang membahas masalah nikah secara umum dan kafa’ah secara khusus. Hal ini sesuai dengan tipologi kepustakaan yang berkembang di Jawa yaitu perpustakaan islam kejawen, di mana di samping menggunakan bahasa Jawa, juga sangat sedikit mengungkapkan aspek syari’at atau bahkan kurang menghargai aspek syari’at, dalam arti yang berkaitan dengan hukum-hukum lahir agama islam.
Dari yang sedikit ini, dapat dikemukakan salah satunya adalah Serat Piwulang Warni-warni karya KGPAA Mangkunegara IV. Serat Piwulang tersebut merupakan salah satu genre sastra klasik yang mengandung nilai didaktis pedagogis. Dari segi tahunnya, Serat Piwulang termasuk ke dalam jaman Madya. Piwulang diubah menjadi sebagian pendidikan dan penggunaan waktu senggang kepada para pangeran keluarga sentana (keluarga kerajaan). Dari sisi pengarangnya, Serat Piwulang Warni-Warni dikarang oleh Mangkunegara IV yang mempunyai keahlian dalam berbagai segi. Diantaranya adalah keahliannya dalam segi militer, ekonomi, sastra budaya, dan keagamaan. Keahliannya memerintah wilayah Mangkunegaran, menjadikan kerajaan tersebut mampu menyesuaikan diri dengan keadaan baru pada masa kekuasaan kerajaan Belanda dan merupakan satu-satunya istana yang tradisi militer bangsawan Jawa masih tetap hidup meskipun di bawah kekuasaan Belanda. Dalam bidang ilmu keagamaan, beliau pernah belajar ilmu agama secara serius pada seorang ulama karena kegelisahan hatinya mengingat kepada kehidupan sesudah mati. Dan berhentinya beliau dari menuntut ilmu agama tersebut lebih dikarenakan tuntutan panggilan tugas kerajaan, di mana pada waktu tesebut beliau dalam posisi yang sangat bimbang antara meneruskan menuntut ilmu ataukah mengikuti panggilan kerajaan.
Dalam salah satu Serat Piwulang Warni-Warni tepatnya pada Serat Warayagnya pupuh dhandhanggula disebutkan :
“Mula nora gampang wong arabi, kudu milih wanadya kang utama, ginawe rewang uripe, sarana ngudi tuwuh, myang ngupaya sandang bukti, wewilangane ana, catur upayeku, yogyane kawikana, dhingin bobot, pindho bebet, katri bibit, kaping pat tatariman”.
Terjamah:
Karena itu tidak gampang orang menikah, harus memilih sesorang yang dapat diajak bekerjasama dalam suka maupun duka, dengan mengupayakan apa yang menjadi ciri utama yang terdiri dari keempat ciri yang sebaiknya diperhatikan pertama berkualitas baik, kedua berdarah mulia, ketiga dapat berketurunan, keempat bersifat menerima.
Dan dalam bait selanjutnya beliau mengatakan:
“Papat iku iya uga kanti, dhingin warna kapindhone brana, kaping tri kawibawane, catur pambekanipun, endi kang sira senengi, aja ngawang, menawa kaduwung, karana milih wanadya, datan kena den mupakataken sasami, wuruk neng karsanira”.
Terjemah:
Keempat itu juga harus ada, pertama kecantikannya, kedua hartanya, ketiga kewibawaanya dan keempat prilakunya. Mana-mana yang kamu senangi, jangan sampai salah pilih, karena akan menyesal. Karena memilih seorang wanita itu tanpa dimusyawarahkan, tergantung pada kehendakmu.
Dari kedua bait tersebut dapat diambil dasar memilih pasangan hidup yaitu bobot (berkualitas baik), bebet (berdarah mulia), bibit (dari keturunan yang baik) , tatariman (bersifat menerima), warna (kecantikan), brana (harta), wibawa (kewibawaan), dan pambeka (prilaku). Hal tersebut menandakan bahwa proses pernikahan sudah jauh hari harus diperhitungkan oleh seseorang yang akan menikah, mulai dari proses memilah dan memilih pasangan hidupnya. Sedangkan dalam Islam Nabi SAW sudah pernah bersabda:
تنكح المرأ ة لأربع : لمالها ولحسبها ولجمالها ولد ينها فاظفر بذا ت الدين تربت يدا ك
Addin diletakkan sebagai prasyarat utama dalam Islam sebelum menginjak pada prasyarat yang lain. Sedangkan dalam Serat Warayagnya tidak disebutkan secara eksplisit dan berbarengan dengan sarat yang lain. Dilihat dari pernyataan-pernyataan di atas, tampaknya penulis memiliki kecenderungan untuk mendasarkan kafa’ah pada latar belakang dan status sosial.
0 komentar:
Posting Komentar