BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seorang yang mengajukan suatu perkara perdata ke Pengadilan untuk mendapatkan penyelesaian perkara. Pemeriksaan perkara dalam pengadilan diakhiri dengan putusan. Namun hanya dengan putusan saja belum dikatakan persoalan selesai. Putusan ini harus dilaksanakan atau dieksekusi.
Putusan pengadilan yang harus dieksekusi atau dilaksanakan itu hanya putusan yang bersifat kondemnatoir artinya putusan yang mengandung tindakan penghukuman terhadap pihak yang kalah dalam suatu perkara.
Putusan deklaratoir dan konstitutief tidak perlu dieksekusi karena keadaan hukium demikian itu sudah ada pada waktu diucapkan oleh hakim. Jadi disini hakim hanya menyatakan apa yang sudah ada. Demikian juga dengan keputusan konstitutief, dengan diucapkan oleh hakim maka penggugat yang telah melakukan tindakan hukum sudah ada, tidak perlu dieksekusi. Putusan komdemnatoir bisa berupa :
a. membayar sejumlah uang;
b. menyerahkan suatu barang;
c. mengosongkan sebidang tanah;
d. menghentikan suatu perbuatan/keadaan;
e. melakukan perbuatan tertentu (Subekti, 1994:130)
Eksekusi dalam diktum (a) adalah eksekusi yang diatur dalam HIR Pasal
195-200 HIR. Eksekusi dalam diktum (b, c, dan d) tersebut diatas merupakan
eksekusi riil yang tidak diatur dalam HIR karena pelaksanaannya lebih mudah. Jadi tidak memerlukan peraturan khusus. Selanjutnya dalam diktum (e) yaitu melakukan sesuatu perbuatan tertentu diatur dalam pasal 225 HIR jis, pasal
228, 195-200 HIR.
Selain putusan kondemnatoir tersebut diatas yang dapat dieksekusi adalah tulisan-tulisan tertentu yang diberi kekuatan sama dengan putusan hakim diatur dalam pasal 224 HIR tulisan yang dapat dieksekusi tersebut dinamakan tulisan dengan eksekutorial titel, dapat berupa :
a. Setifikat Hak Tanggungan, dulu sertifikat Hipotik;
b. Sertifikat Jaminan Fidusia;
c. Grosse akta pengakuan hutang.
Suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti dapat dilaksanakan dengan sukarela oleh pihak yang kalah. Pelaksanaan secara sukarela tersebut tidak menimbulkan masalah. Namun apabila seseorang enggan memenuhi isi putusan tersebut maka eksekusi dapat dipaksakan dengan bantuan kekuatan umum (execution force).
Jika sebelumnya tidak dilakukan sita jaminan, maka eksekusi dimulai dengan menyita sekian banyak barang-barang bergerak, dan apabila diperkirakan belum cukup, juga dilakukan terhadap barang-barang tidak bergerak milik pihak yang dikalahkan sehingga cukup untuk memenuhi pembayaran sejumlah uang yang harus dibayar menurut putusan beserta biaya- biaya yang timbul sehubungan dengan pelaksana putusan tersebut. Penyitaan
yang dilakukan tersebut di atas disebut eksetutorial (Sutantio Iskandar,
1995:131).
Dalam HIR ditentukan bahwa yang dapat mengajukan verzet terhadap eksekusi tidak hanya debitur (pasal 207 (1) HIR), tetapi pihak ketiga berdasarkan hak milik dapat mengajukan verzet (pasal 208 (1) HIR).
Berdasarkan alasan tersebut diatas maka penulis sangat tertarik untuk mengadakan penelitian di Pengadilan Negeri Semarang dengan judul
”PELAKSANAAN VERZET TERHADAP EKSEKUSI DALAM PERKARA PERDATA (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SEMARANG, KASUS HUTANG PIUTANG ATAS HAK TANGGUNGAN)”.
Alasan penulis memiih judul ini karena dalam hal pelaksanaan eksekusi diajukan verzet, maka timbulah sengketa eksekusi, sebab jalannya eksekusi terganggu. Dalam praktik verzet terhadap eksekusi tidak menghentikan eksekusi yang akan dimulai atau menghentikan eksekusi yang sudah bejalan. Akan tetapi ketua berwenang memerintahkan, menunda eksekusi sambil sambil menunggu putusan dari perlawanan itu
0 komentar:
Posting Komentar