Pages

Rabu, 01 Juli 2015

EKSISTENSI KEBIJAKAN DAERAH YANG DEMKORATIS DALAM SISTEM PEMERINTAHAN YANG BERSIH BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME (HK-11)

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Seiring dengan dilaksanakannya program otonomi daerah, pada umumnya masyarakat mengharapkan adanya peningkatan kesejahteraan dalam bentuk peningkatan mutu pelayanan masyarakat, partisipasi masyarakat yang lebih luas dalam pengambilan kebijakan publik, yang sejauh ini hal tersebut kurang mendapat perhatian dari pemerintahan pusat. Namun kenyataannya sejak diterapkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah sejak Januari 2001, belum menunjukkan perkembangan yang signifikan bagi pemenuhan harapan masyarakat tersebut.


Dalam era transisi desentralisasi kewenangan itu telah melahirkan berbagai penyimpangan kekuasaan atau korupsi, kolusi dan nepotisine (KKN) termasuk didalamnya bidang politik di daerah, KKN yang paling menonjol pasca otonomi daerah antara lain semakin merebaknya kasus-kasus politik uang dalam pemilihan kepala daerah, anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang tidak memihak pada kesejahteraan rakyat banyak, penggemukan instansi-instansi tertentu di daerah yang menimbulkan disalokasi anggaran, dan meningkatkan pungutan-pungutan melalui peraturan-peraturan daerah (perda) yang memberatkan masyarakat dan tidak kondusif bagi pengembangan dunia usaha di daerah.
Berbagai pihak menyoroti realitas otonomi daerah yang rawan terhadap terjadinya KKN tersebut, dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :


(1) Program otonomi daerah hanya terbatas pada pelimpahan wewenang dalam pembuatan kebijakan, keuangan dan administrasi dari pemerintah pusat ke daerah, tanpa disertai pembagian kekuasaan kepada masyarakat atau tanpa partisipasi masyarakat secara luas. Dengan perkataan lain, program otonomi daerah tidak diikuti dengan prograrn demokratisasi yang membuka peluang keterlibatan masyarakat dalam pengambiian kebijakan uraum di daerah. Karenanya, program desentralisasi ini hanya memberi peluang kepada para elit lokal (daerah) baik elit eksekutif maupun elit legislatif untuk mengakses sumber-sumber ekonomi daerah dan politik daerah, yang rawan terhadap KKN, perbuatan sewenang-wenang, penyalahgunaan wewenang dan atau perbuatan yang rnelampui batas wewenang;
(2) Tidak adanya institusi negara yang mampu mengontrol secara efektif
penyimpangan wewenang di daerah. Program otonomi daerah telah memotong struktur hirarki pemerintahan, sehingga tidak efektif lagi kontrol pemerintah pusat ke daerah karena tidak ada lagi hubungan struktural secara langsung memaksakan kepatuhan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Kepala daerah, baik bupati maupun Walikota tidak lagi ditentukan oleh pemerintah pusat, melainkan oleh mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD dan
bertanggungjawab kepada DPRD. Hubungan pemerintahan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah tidak lagi struktural, melainkan fungsional yaitu hanya kekuasaan untuk memberi policy guidance kepada pemerintah daerah.
(3) Terjadi indikasi KKN yang cukup krusial antara pemerintah daerah dan DPRD, sehingga kontrol terhadap jalannya penyelenggaraan pemerintah

daerah sulit terlaksana, sementara kontrol dari kalangan masyarakat masih sangat lemah.
Berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah, penyelenggaraan pemerintahan daerah yang demokratis dan akuntabel, merupakan isu yang sangat penting dan strategis. Hal tersebut sesungguhnya merupakan konsekuensi logis otonomi daerah yang semestinya memungkinkan:
(1) Semakin dekatnya pelayanan pemerintahan daerah kepada masyarakat;
(2) Penyelesaian masalah-masalah di daerah menjadi lebih terfokus dan mandiri;
(3) Partisipasi masyarakat menjadi lebih luas dalam pembangunan daerah;
(4) Masyarakat melakukan pengawasan lebih intensif terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Keempat faktor tersebut hanya dapat berlangsung dalam suatu pemerintahan yang demokratis dan akuntabel. Pelaksanaan otonomi daerah tanpa diimbangi dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang demokratis dan akuntabel, pada hakekatnya otonomi daerah tersebut telah kehilangan jati diri dan maknanya.
Pemerintahan daerah yang demokratis dapat dikaji dari dua aspek, yakni aspek tataran proses maupun aspek tataran substansinya. Penyelenggaraan pemerintahan daerah dikatakan demokratis secara proses, apabila pemerintahan daerah yang bersangkutan mampu membuka ruang bagi keterlibatan masyarakat dalam semua pembuatan maupun pengkritisan terhadap sesuatu kebijakan daerah yang dilaksanakan. Penyelenggaraan pemerintahan daerah dikatakan demokratis secara substansial apabila kebijakan-kebijakan daerah yang dibuat oleh para penguasa daerah mencerminkan aspirasi masyarakat.

Sesuatu pemerintahan daerah dikatakan akuntabel, apabila ia mampu menjalankan prosedur-prosedur yang telah ada dan dapat mepertanggungjawabkannya kepada publik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Kebijakan-kebijakan daerah yang bertentangan dengan aspirasi masyarakat maupun peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, demikian pula dengan tidak adanya keterpaduan dalam mekanisme pembuatan kebijakan daerah antara kepala daerah dengan DPRD, menimbulkan permasalahan di berbagai daerah.
Dengan demikian tidak ada kejelasan mengenai produk hukum daerah, yang dapat mendukung proses mengalirnya partisipasi masyarakat dalam setiap proses pembuatan kebijakan daerah dan atau pengkritisan atas suatu pelaksanaan setiap kebijakan daerah. Dengan perkataan lain tidak ada kejelasan mengenai pranata hukum daerah yang mengatur mekanisme penyaluran aspirasi masyarakat guna mewujudkan suatu pemerintahan daerah yang bersih bebas dari KKN.
Sebagai ilustrasi pemerintahan Kota Yogyakarta secara perposif dipilih sebagai lokasi penelitian hukum empiris, dengan pertimbangan bahwa (pemerintahan Kota Yogyakarta merupakan salah satu pemerintahan daerah yang mempunyai kedudukan, fungsi dan peranan yang sejajar dengan pemerintahan daerah lainnya, dalam jajaran dan sistem pemerintahan negara kesatuan Republik Indonesia. Demikian pula secara perposif ilustrasi obyek kajian dibatasi khusus eksistensi kebijakan daerah yang demokratis dalam sistem pemerintahan yang bersih bebas dari KKN.

2. Rumusan Masalah
Bertolak dari paparan latar belakang masalah, dapat dirumuskan sebagai isu sentral dalam penelitian ini yaitu : "ketidak jelasan eksistensi kebijakan daerah yang demokratis dalam sistem pemerintahan yang bersih bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme", yang kemudian diungkapkan dalam judul penelitian yaitu : "EKSISTENSI KEBIJAKAN DAERAH YANG DEMOKRATIS DALAM SISTEM PEMERINTAHAN YANG BERSIH BEBAS DARI KORUPSI KOLUSI DAN NEPOTISME". Isu sentral tersebut mengandung berbagai permasalahan, baik permasalahan hukum empiris maupun permasalahan hukum normatif, baik permasalahan hukum normatif pada lapisan dogmatik hukum maupun pada lapisan teori hukum.

Dengan demikian dapatlah dirumuskan masalahnya sebagai berikut:
1. Permasalahan hukum empiris, bagaimanakah realisasi pembuatan kebijakan daerah yang demokratis dalam sistem pemerintahan yang bersih bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
2. Permasalahan hukum normatif pada lapisan dogmatik hukum, apakah dalam setiap pembuatan kebijakan daerah telah melibatkan partisipasi masyarakat, demikian pula apakah produk-produk kebijakan daerah pasca UU No. 22 Tahun 1999 telah mencerminkan aspirasi masyarakat.
3. Permasalahan hukum normatif pada lapisan teori hukum, mengapa masyarakat perlu dilibatkan dalam setiap pembuatan dan evaluasi kebijakan daerah.

3. Keaslian Penelitian
Setelah melakukan penelusuran pada berbagai referensi dan hasil penelitian dalam berbagai media, baik cetak maupun elektronik, penelitian tentang eksistensi kebijakan daerah yang demokratis dalam sistem pemerintahan yang bersih bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, belum pernah dilakukan penelitian dan dalam kesempatan ini peneliti berniat untuk melakukan penelitian terhadap permasalahan tersebut. Dengan demikian penelitian ini adalah asli.

4. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini meliputi berbagai dimensi antara lain :
a. Tujuan deskriptif, untuk mengetahui realisasi pembuatan dan atau evaluasi kebijakan daerah yang demokratis dalam sistem pemerintahan yang bersih bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
b. Tujuan kreatif, untuk mengetahui ada tidaknya partisipasi masyarakat dalam setiap pembuatan kebijakan daerah dan untuk mengetahui aspiratif tidaknya produk-produk kebijakan daerah pasca UU No. 22 Tahun 1999.
c. Tujuan inovatif, untuk mengetahui perlu tidaknya masyarakat dilibatkan dalam setiap pembuatan dan evaluasi kebijakan daerah.

5. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, baik untuk kepentingan akademis maupun untuk kepentingan praktis,
a. Manfaat akademis
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan pengembangan ilmu hukum pada khususnya.
b. Manfaat praktis
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dan wacana bagi para elit eksekuttf dan legislatff dalam pembuatan dan evaluasi kebijakan daerah, serta bagi masyarakat luas agar menyadari akan hak dan kewajibannya untuk berperan serta aktif dalam setiap pembuatan dan evaluasi atas kebijakan-kebijakan daerah.


0 komentar:

Posting Komentar