Pages

Selasa, 26 Februari 2013

Kekalahan Partai Golkar Pada Pemilukada Di Kabupaten ..... 2010 (PLT-10)



     Hubungan antara pemerintahan dengan warga negara/rakyat selalu berada dalam bingkai interaksi politik diantara keduanya dalam wujud organisasi negara. Hubungan negara dan rakyat ini dapat tergambarkan dalam icon yang diberi label demokrasi. Sejak lama, sebagai gambaran besar, demokrasi  menjadi cara terbaik dalam perkembangan organisasi negara modern.
            Demokrasi sebagai aspek penting berkaitan dengan pemerintahan dengan hirarki kekuasaan yang terdapat dalam suatu sistem politik negara. Artinya, akan terdapat sistem politik nasional yang didalamnya terdapat sub sistem politik daerah dalam bingkai sistem negara yang dianutnya. Hirarki suatu negara jangkauan pengaruh, dapat merujuk pada dua jenis atau kelompok demokrasi, yaitu demokrasi dalam lingkup negara dan demokrasi lokal. Pemilahan demokrasi lokal ini bukan berarti terdapat determinasi wilayah pemberlakuan demokrasi atau bahkan terdapat perbedaan demokrasi dari induknya. Dalam tulisan ini demokrasi lokal ditujukan sebagai bagian utuh dari demokrasi di Indonesia dalam pelaksanaan rekrutmen elit politik di pemerintahan daerah.[1]
            Demokrasi lokal merupakan bagian dari subsistem politik suatu negara yang derajat pengaruhnya berada dalam koridor pemerintahan daerah. Di Indonesia Demokrasi lokal merupakan subsistem dari demokrasi yang memberikan peluang bagi pemerintahan daerah dalam mengembangkan kehidupan hubungan pemerintahan daerah dengan rakyat di lingkungannya.[2]

            Semenjak era reformasi, demokrasi yang diusung mengarah pada demokrasi partisipatif atau langsung, salah satunya karena banyak pejabat politik yang tidak melakukan tanggung jawabnya dengan baik, sehingga legitimasi mereka lemah. Di sisi lain memunculkan ketidakpercayaan rakyat pada penguasa mendorong rekrutmen pejabat politik ke arah demokrasi langsung. Sehingga tidak mengherankan bila rekrutmen hampir semua jabatan politik dilaksanakan dalam format demokrasi yang bergerak pada hubungan negara dan warga negara secara langsung.
            Fase demokrasi langsung ini merupakan era baru reformasi politik di Indonesia yang pertama kali digelar sejak kemerdekaan Indonesia. Rekrutmen politik skala nasional ini merupakan perkembangan demokrasi yang mendapat pengakuan dunia karena keberhasilannya. Sebagai tindak lanjut dari keberhasilan rekrutmen poltik dalam tataran demokrasi ini, pada tahun 2005 telah dilakukan proses rekrutmen politik elit daerah sebagai kelanjutan dari pemilihan umum presiden dan wakil presiden yang telah melahirkan pasangan pemimpin politik berbasis legitimasi rakyat, yaitu Bapak Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla. Pemilihan Kepala daerah merupakan proses demokrasi yang akan menyetarakan legitimasinya dengan keberadaan DPRD yang telah dipilih secara langsung. 
Demokrasi lokal dalam pemilihan kepala daerah, menjadi momentum yang masih memberikan pertanyaan besar dalam pelaksanaannya. Pertanyaan ini berkaitan dengan demokrasi partisipatoris yang akan dilakukan. Betapa tidak, pemberian kedaulatan rakyat daerah pada elitnya masih diwarnai ketidakjelasan, baik dari prosedur kerja penyelenggara maupun peserta dan posisi pemilihnya.
Dari sisi kedaulatan rakyat daerah, demokrasi lokal dibangun untuk memberikan porsi yang seharusnya diperoleh rakyat lokal dalam pemberian legitimasi pada elit eksekutifnya. Selama ini rakyat daerah memberikan kedaulatan hanya pada legislatif daerah saja.
Ketidakpercayaan rakyat dan era reformasi mendorong adanya pemilukada langsung. Hal ini tidak langsung berkaitan dengan baik atau tidaknya demokrasi, karena di negara lain juga terdapat variasi pelaksanaan demokrasi yang langsung. Derajat kepentingannya adalah terpilihnya pejabat politik yang akuntabel sesuai dengan kebutuhanrakyatnya. Salah satu persyaratan mewujudkan demokrasi adalah adanya partai politik yang berfungsi maksimal dan efektif sebagai wadah aspirasi politik masyarakat dan sebagai media untuk melakukan bargaining kebijakan dengan negara. Sebagai perwujudan dan tersalurnya aspirasi publik oleh partai politik maka efektifitas fungsi partai politik haruslah dijunjung tinggi.
            Partai politik umumnya didefenisikan sebagai organisasi artikulatif yang terdiri atas pelaku-pelaku politik yang aktif dalam masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatian pada persoalan kekuasaan pemerintah dan bersaing guna memperoleh dukungan rakyat untuk menempati kantung- kantung kekuasaan politik.
           Partai politik membuka kesempatan seluas-luasnya bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik dan pemerintahan. Karena melalui partai politik dapat diwujudkan pemerintahan yang bertanggung jawab dan memperjuangkan kepentingan umum serta mencegah tindakan pemerintah yang sewenang-wenang. Sebagai suatu organisasi, partai politik secara ideal dimaksudkan untuk mengaktifkan dan memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu, dan memberikan jalan kompromi  bagi pendapat yang saling bersaing, serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan politik secara damai.[3]
            Batasan mengenai partai politik dikemukakan oleh Sigmund Neumann yang berpendapat bahwa partai politik adalah organisasai artikulatif yang terdiri dari pelaku-pelaku politik  yang aktif dalam masyarakat yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya pada pengendalian kekuasaan pemerintahan dan bersaing memperoleh dukungan rakyat, (Neumann dalam Miriam budiardjo 1984:1).[4] Dengan semangat konstitusi yang menegaskan sistem pemilihan presiden dan kepala daerah pun harus mengalami perubahan yang sesuai dengan pilihan rakyat dengan cara pandang mereka masing-masing.
            Sejak tahun 2004, Presiden yang sebelumnya di pilih oleh MPR telah dipilih langsung oleh rakyat,. Begitupun dengan kepala daerah yang dulunya dipilih oleh DPRD, maka sejak tahun 2005 Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat. Ini merupakan salah satu bentuk penyempurnaan dari UU otonomi daerah yang baru, UU No.32/2004 yang menyebutkan bahwa kepala daerah dipilih langsung oleh masyarakat.[5] Inilah salah satu pencapaian terbaik otonomi daerah, dimana masyarakat langsung dilibatkan untuk memilih pemimpin yang akan memerintah mereka selama pembatasan masa jabatan seorang kepala daerah, yaitu cukup satu periode saja, lima tahun ke depan. Kecuali bagi mereka yang benar-benar menonjol prestasi atau keberhasilannya. [6]
            Partai Golongan Karya (Partai Golkar), sebelumnya bernama Golongan Karya (Golkar) dan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar), adalah sebuah partai politik di Indonesia. Partai golkar bermula dengan berdirinya Sekber golkar di masa-masa akhir pemerintahan Presiden Soekarno, tepatnya 1964 oleh Angkatan Darat untuk menandingi pengaruh Partai Komunis Indonesia dalam kehidupan politik.
 Dalam perkembangannya, Sekber golkar berubah wujud menjadi Golongan Karya yang menjadi salah satu organisasi peserta Pemilu. Pada Pemilu 1971 (Pemilu pertama dalam pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto), salah satu pesertanya adalah Golongan Karya dan mereka tampil sebagai pemenang. Kemenangan ini diulangi pada Pemilu-Pemilu pemerintahan Orde Baru lainnya, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Kejadian ini dapat dimungkinkan, karena pemerintahan Soeharto membuat kebijakan-kebijakan yang sangat mendukung kemenangan GOLKAR, seperti peraturan monoloyalitas PNS, dan sebagainya.
Setelah pemerintahan Soeharto selesai dan reformasi bergulir, GOLKAR berubah wujud menjadi Partai golkar, dan untuk pertama kalinya mengikuti  Pemilu tanpa ada bantuan kebijakan-kebijakan yang berarti seperti sebelumnya di masa pemerintahan Soeharto. Pada Pemilu 1999 yang diselenggarakan Presiden Habibie, perolehan suara Partai golkar turun menjadi peringkat kedua setelah PDI-P.
Ketidakpuasan terhadap pemerintahan Megawati Soekarnoputri menjadi salah satu sebab para pemilih di Pemilu legislatif 2004 untuk kembali memilih Partai golkar, selain partai-partai lainnya seperti Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, dan lain-lain. Partai golkar menjadi pemenang Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif pada tahun 2004. Kemenangan tersebut merupakan prestasi tersendiri bagi Partai golkar karena pada Pemilu Legislatif 1999, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan mendominasi perolehan suara. Dalam Pemilu 1999, Partai  golkar menduduki peringkat kedua.
Pemilihan kepala daerah di kabupaten Toraja Utara yang dilaksanakan November 2010, merupakan pemilihan kepala daerah yang pertama kali dilaksanakan setelah adanya pemekaran kabupaten Toraja. Toraja utara adalah kabupaten baru hasil pemekaran dari kabupaten induk Tana Toraja. Terbentuknya kabupaten Toraja Utara merupakan buah dari undang-undang nomor 28 tahun 2008 yang diparipurnakan oleh DPR RI pada tanggal 24 Juni 2008. Namun peresmian kabupaten Toraja Utara baru berlangsung pada tanggal 31 Agustus 2008, bersamaan dengan perayaan ulang tahun Tana Toraja yang ke-761 dan ulang tahun Kabupaten Tana Toraja yang ke-51. Dengan adanya peresmian tersebut, maka Toraja Utara kini menjadi kabupaten yang ke-24 di Provinsi Sulawesi Selatan.
            Setelah diresmikan menjadi kabupaten baru yang beribukota di Rantepao, Drs. Yohanis Suririk Dalipang ditunjuk sebagai pejabat sementara Bupati Toraja Utara. Dalipang diharapkan mampu menjalankan roda pemerintahan dibumi lakipadada tersebut dengan baik, setidaknya sampai dilaksanakannya Pemilukada. Sebab Pemilukada Toraja Utara baru akan dilaksanakan pada tahun 2010.
             Pemilukada Toraja Utara ini diikuti oleh tujuh pasangan calon yang bertarung menjadi nomor satu di Kabupaten termuda di Sulsel. Tujuh pasangan masing-masing pasangan adalah nomor urut 1, Andarias Palino Popang-Sarah Lallo (Assa') yang di usung Partai Demokrat, nomor urut 2 Daniel Rendeng-Johanis Palimbong (Dambaan) yang di usung Partai Golkar , nomor urut 3 YS Dalipang-Simon Liling (Yes) Independen, urut 4, Bride Allorante-Johanis O.S Bari (Bijak) yang di usung PDIP dan PKDI, urut 5, Deka Paranoan-Mathius Lobo' (Damai) perseorangan, urut 6, Frederik Batti Soring-Frederik Buttang Lombelayuk (Sobat) yang di usung PKPI dan PDK serta urut 7, Kalatiku Paembonan-Alfrita Pasande (Kita) yang di usung PDS dan koalisi -partai kecil.
Partai Golkar di kabupaten Toraja Utara merupakan mesin suara yang di anggap paling berpotensi memenangkan Pemilukada putaran pertama november 2010. Partai penguasa sejak masa pemerintahan Soeharto ini sangat di agung-agungkan apalagi di pelosok desa-desa, dimana mereka menganggap partai ini adalah partai pemerintah yang dapat membawa pemerintahan daerah mereka ke arah yang lebih baik, seperti pada masa pemerintahan Soeharto.
Pada pemilukada sebelumnya di kabupaten induk Toraja Utara yakni Tana Toraja awal 2010, Partai Golkar yang mengusung pasangan Theopilus Allorerung – Adelheid Sosang  unggul dengan perolehan suara 30,07 persen dari jumlah total suara. Namun pemilukada ini berakhir ricuh, dimana Aksi brutal massa terjadi karena mereka tidak terima atas hasil penghitungan Pilkada Tana Toraja yang dimenangi calon dari Partai Golkar, Theofilus Allorerung-Adelheid Sosang (Teladan), dengan persentase di atas 30 persen. Kekecewaan atas hasil tersebut mendorong massa melakukan aksi perusakan dan membakar surat suara dan di depan kantor KPU Tana Toraja. Massa menilai pasangan yang didukung oleh partai golkar ini unggul bukan murni karena pilihan rakyat tetapi ada kecurangan yang didukung oleh suami calon wakil bupati (Adelheid Sosang) yang merupakan Bupati Tana Toraja sebelumnya.[7]
Hasil pemilukada di kabupaten induk ini sangat berbanding terbalik dengan hasil pemilukada putaran pertama di Toraja Utara. Pasangan yang di usung oleh Partai Golkar tertinggal jauh dengan pasangan yang hanya di usung oleh partai kecil dan independent, sehingga tidak bisa lolos ke putaran kedua.
Adapun hasil penghitungan suaranya adalah : [8]
1.      Andarias Palino Popang-Sarah Lallo (Assa'), Partai Demokrat. 3,19 persen
2.      Daniel Rendeng-Johanis Palimbong (Dambaan), Partai Golkar. 17, 36 persen
3.      YS Dalipang-Simon Liling (Yes), independen. 24, 34 persen
4.      Bride Allorante-Johanis O.S Bari (Bijak), PDIP dan PKDI. 7,87 persen
5.      Deka Paranoan-Mathius Lobo' (Damai), perseorangan. 4,06 persen
7.      Kalatiku Paembonan-Alfrita Pasande (Kita), PDS dan koalisi -partai kecil.15,89 persen.
Hal ini merupakan ujian yang sangat berat bagi partai golkar, dimana calon dari partai golkar Daniel Rendeng – Johanis Palimbong (Dambaan), hanya memperoleh 17, 36 persen suara, sementara Calon yang memperoleh suara terbanyak adalah calon yang di usung oleh koalisi partai kecil yang lolos ke putaran kedua. Padahal Daniel Rendeng diketahui memiliki latarbelakang yang tidak jauh berbeda dengan figur yang lolos ke putaran kedua Frederik Batti Soring, mereka adalah calon yang sama-sama pernah menjabat sebagai wakil bupati di Yahukimo dan Asmat, Papua.
            Hasil pemilukada putaran pertama ini  membuat banyak orang tercengang baik dari daerah Toraja Utara sendiri maupun masyarakat yang berada diluar Toraja Utara dengan bertumbangnya para calon yang berdomisili di daerah mereka dalam pertarungan pemilihan kepala daerah. Sejatinya calon yang berdomisili tetap di daerah mereka lebih mengenal dan mengetahui apa yang mereka butuhkan, sehingga sebagai pemegang kendali kekuasaan akan mudah memenangkan pertarungan dibanding dengan calon yang berdomisili di tempat lain kemudian kembali dan mencalonkan diri dan justru pendatang ini yang memperoleh banyak perhatian dari masyarakat.
Pasangan lain yang dianggap sangat berpeluang besar untuk memenangkan pemilukada adalah pasangan Kalatiku Paembonan-Alfrita Pasande (Kita), yang disusung oleh partai PDS dan koalisi -partai kecil, sebab mayoritas dari masyarakat Toraja Utara beragama Nasrani, ada harapan besar mereka akan mendukung calon yang diusung oleh partai yang berbasis keagamaan, akan tetapi hal demikian ternyata tidak berpengaruh terhadap pilihan mereka, Pasangan ini hanya mampu mengumpulkan suara sebanyak 15,89 persen.
            Berdasarkan pemikiran-pemikiran tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: “Kekalahan Partai Golkar Pada Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Toraja Utara 2010”



Eksistensi Partai Demokrat Pada Pemilu Legislatif Di Kota … Tahun 2009 (PLT-9)



Partai politik berkembang bersamaan dengan berkembangnya proses demokrasi yang merupakan sarana dalam pemilihan umum. Partaipolitik muncul sebagai kendaraan politik dalam pemilihan umum untuk mendapatkan dukungan bagi seorang kandidat dari warga negara. Partai politik juga telah diadopsi oleh rezim-rezim politik  pada ideologi tertentu dan hanya menawarkan beberapa calon untuk dipilih atau hanya ada satu partai yang menduduki hampir semua pilihan yang ada di badan legislatif.
Hingga saat ini institusi partai politik dinilai masih merupakan alat politik yang paling ampuh untuk mencapai tujuan politik. Sehubungan dengan keberadaan partai politik, Miriam Budiardjo mengungkapkan bahwa dengan meluasnya gagasan bahwa rakyat rnerupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik, maka partai politik telah hadir secara spontan dan berkembang menjadi penghubung antara rakyat di satu pihak dan pemerintah di pihak lain[1] sejalan dengan itu Mochtar Mas'oed dan Collin McAndrews menyatakan dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan partai politik terdapat 2 hal yang mempengaruhinya, yaitu kegiatan yang dilaksanakan oleh partai politik bergantung pada kelompok-kelompok yang terdapat di dalamnya dan tujuan-tujuan, yang dikejarnya[2].
Antusiasme masyarakat memang nampak jelas dalam pelaksanaan pemilu 2009 yang lalu, terlebih pada masa kampanye dan ­pemungutan suara. Gelombang kerusuhan berbau SARA  (suku, ras, agama dan antar golongan) yang melanda beberapa daerah, termasuk yang terjadi menjelang masa kampanye, tidak menyurutkan semangat sebagian besar masyarakat untuk memeriahkan "pesta demokrasi" di era reformasi.

Salah satu yang terpenting adalah terletak pada sistem kepartaian dimana Indonesia yang menganut sistem multi partai pada pemilu yang telah berlangsung, sebanyak 44partai politik yang menjadi kontestan pada pemilu 2009 di Indonesia merupakan institusi yang menjadikan sistem kepartaian yang digunkan di Indonesia berbentuk sistem multi partai, dimana banyak partai politik sebagai wujud kemajemukan masyarakat sehingga menuntut digunakannya sistem multi partai agar kepentingan masyarakat dapat terwadahi.
Kondisi tersebut menumbuhkan persaingan antar partai politik yang kompetitif disebabkan banyaknya partai yang bertarung memperebutkan kekuasaan. Pemilu merupakan ajang pembuktian kekuatan politik partai, dimana partai politik berjuang untuk memperebutkan suara untuk memperoleh eksistensi dalam sistem politik. Ketika partai politik tidak mampu mengakomodasi aspirasi dan kepentingan masyarakat, dengan sendirinya partai politik tersebut akan tersisih dari sistem politik.
Pembahasan mengenai eksistensi sebuah partai politik di Indonesia bukanlah suatu hal yang baru. Pada dasarnya proses yang dilakukan oleh partai politik untuk memperoleh eksistensi adalah upaya untuk merebut suara yang bersaing pada pemilu. Partai demokrat merupakan salah satu partai di Indonesia yang berupaya memperoleh eksistensi. Namun eksistensi Partai Demokrat dihadapkan pada situasi yang kompetitif dimana banyaknya partai yang menjadi peserta dalam pemilu selain itu, di Sulawesi Selatan khususnya di kota Makassar partai golkar telah terlebih dahulu merebut simpati rakyat, ini merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi partai demokrat untuk memperoleh suara dan menyatakan eksistensinya.
 Pemilu bertujuan untuk menyeleksi calon-calon pemimpin yang akan menduduki jabatan politik sebagai bentuk eksistensi sebuah partai politik. Tiap partai politik mempunyai strategiyang berbeda-bedadalam merebut simpati rakyat. Namun pada umumnya cara yang ditempuh oleh partai politik adalah melalui aturan partai berdasarkan platfrom partai. Partai Demokrat mengusahakan menarik orang-orang yang berpengaruh terutama yang telah memiliki latar belakang yang kuat, untuk dididik menjadi kader yang di masa sekarang dan akan datang untuk  melanjutkan kelangsungan hidup partai.

Bentuk eksistensi Partai Demokrat dipengaruhi oleh sistem kepartaian dan sistem Pemilu yang berkembangkan. Namun apapun sistemnya dari partai politik tidak akan lepas dari sistem-sistem lainya, Sehingga terkadang dipengaruhi oleh kader yang memiliki kualitas baik, kualitas intelektual, moral maupun akses ke bawah atau kader yang merakyat.
Hal ini dapat kita lihat pada fenomena Pemilu 2009 lalu, banyaknya kontestan partai politik bertarung untuk memperebutkan suara masyarakat dan berujung pada penentuan jumlah anggota di parlemen. Banyaknya partai politik adalah cerminan dari struktur masyarakat majemuk, sehingga dapat mewakili kepentingan masyarakat, dari fenomena tersebut penulis tertarik membahas eksistensi partai demokrat dalam memperoleh suara pada pemilu 2009 dalam di kota Makassar.
Dalam proses pemilihan umum 2009 ternyata ada beberapa hal yang cukup dapat menjadi bahan penelitian bagi penulis khususnya dalam eksistensi partai politik yang diperhadapkan pada situasi yang sangat kompetitif oleh karena partarungan partai politik yang begitu banyak sedangkan pada satu sisi jumlah sumber daya atau pemilih yang diperebutkan itu minim dan adanya partai yang telah terlebih dahulu memperoleh eksistensinya. Penulis mencoba melihat upaya apa yang dilakukan Partai Demokrat untuk memperoleh suara sebagai bentuk eksistensi sebuah partai pada pemilu 2009. Partai Demokrat merupakan partai yang masih tergolong muda dalam kancah perpolitikan di Indonesia, partai ini baru mengikuti dua pemilu terakhir yaitu pada tahun 2004 dan 2009. Namun partai yang didirikan oleh Susilo Bambang Yudoyono berhasil mencuri perhatian rakyat dan memenangkan pemilu nasional.
Demikian halnya terjadi di Sulawesi Selatan yang merupakan basis tradisional dari partai golkar. Pada pemilu 1999 partai golkar  memperoleh 66,5 persen suara, lima tahun kemudian berkurang sepertiganya menjadi 44,3 persen suara pada pemilu 2004 dan pada pemilu 2009 perolehan suara golkar berkurang hampir separuhnya menjadi 25,1 persen. Sebaliknya perolehan suara Partai Demokrat di Sulawesi Selatan secara keseluruhan meningkat lima kali lipat dari 3 persen pada Pemilu 2004 menjadi 15,7 persen pada pemilu 2009. Di kota Makassar yang merupakan ibukota provinsi Sulawesi Selatan partai demokrat memperlihatkan eksistensinya dengan memperoleh 18 persen suara dibawah partai golkar dengan 22 persen suara.  
Proses pertarungan partai politik yang ada merupakan perjuangan besar dan panjang bagi partai Demokrat mengingat pada wilayah Sulawesi Selatan dan khususnya kota Makassar merupakan basis terbesar bagi partai Golkar. Partai Demokrat di Sulawesi Selatan khususnya di kota Makassar merupakan partai yang banyak menampung tokoh-tokoh yang memiliki kapabilitas dan kapasitas tinggi terutama tokoh-tokoh muda dan mantan aktivis. Pemuda sebagai aktor baru yang masuk dalam kancah politik dengan idelisme mereka, dianggap tidak terlalu banyak terkontaminasi oleh historisitas pola politik lama yang cenderung status quo, semangat pembaharuan sangat Nampak pada partai ini.
Berdasarkan uraian di atas, khususnya menyangkut eksistensi partai politik, yang merupakan salah satu bentuk proses politik, maka penulis mencoba membahas lebih detail lagi mengenai hal tersebut, khususnya di kota Makassar.
Untuk ­keperluan itu penulis mengambil judul : EKSISTENSI PARTAI DEMOKRAT PADA PEMILU LEGISLATIF DI KOTA MAKASSAR TAHUN 2009




Dampak Penggunaan Sistem Pemilu Proporsional Daftar Terbuka Terhadap Perilaku Pemilih Pada Pemilu Legilatif 2009 Di Kota ....(PLT-8)



Demokrasi merupakan bentuk atau sistem pemerintahan yang segenap rakyat turut serta memerintah dengan perantaraan wakil-wakilnya atau pemerintahan rakyat. demokrasi juga dapat diartikan sebagai gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga Negara.
Inti dari demokrasi adalah “pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat”. Sistem pemerintahan yang demokratis seperti itulah yang tidak akan terhapus dari muka bumi. Dengan perkataan lain itulah sistem yang terbaik bagi masyarakat dimanapun mereka berada. Salah  satu  tonggak utama untuk mendukung sistem politik yang demokratis adalah melalui  pemilu
Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat baik di tingkat pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana  yang diamanatkan oleh pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu dilaksanakan oleh negara Indonesia dalam rangka mewujudkan kedaulatan rakyat sekaligus penerapan prinsip-prinsip atau nilai-nilai demokrasi, meningkatkan kesadaran politik rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam pemilihan umum demi terwujudnya cita-cita masyarakat Indonesia yang demokratis.

Secara umum dikenal empat rumpun sistem pemilu: pluralitas-mayoritas, proporsional representatif, campuran antara pluralitas-mayoritas dan proporsional, serta sistem lainnya. Keempat rumpun ini melahirkan sedikitnya 12 sistem utama, dimana setiap sistem pemilu memiliki varian masing-masing dan diterapkan secara berbeda di berbagai negara di dunia. Dilihat dari variannya maka ada banyak sekali varian sistem pemilu sehingga jumlahnya menjadi tidak terhitung. Kesemua varian tersebut diciptakan dengan satu tujuan utama: menutupi kelemahan atau kekurangan dari sebuah sistem pemilu dengan tetap mempertahankan kelebihan atau kekuatannya. Sistem pemilu yang paling banyak digunakan di dunia saat ini adalah proporsional representatif dengan daftar (list proportional representative), diterapkan di 70 dari 213 negara di dunia. Sistem ini memiliki beberapa varian, di antaranya daftar tertutup, daftar setengah terbuka, dan daftar terbuka.
Pemilu legislatif yang baru saja berlangsung pada pilleg DPR, DPRD Kabupaten/Kota pada tahun 2009 termasuk ke dalam varian proporsional representatif dengan daftar terbuka. Pengertian terbuka atau tertutup merujuk kepada ada atau tidak adanya kebebasan pemilih dalam menentukan kandidat yang didukungnya
Pemilu legislatif tahun 2009 untuk memilih anggota legislatif Kota Makassar dilaksanakan dengan format yang baru berbeda dengan pemilu tahun 2004, untuk pertama kalinya penggunaan sistem pemilu untuk memilih anggota legislatif menggunakan sistem pemilu proporsional daftar terbuka dengan suara terbanyak, dimana sistem pemilu ini lebih mengedepankan keterbukaan yaitu masyarakat bisa memilih sendiri caleg yang mereka dukung. UU yang digunakan untuk pemilu tahun 2009 yaitu UU pemilu no. 10 tahun 2008 mengenai sistem pemilu legislatif DPR, DPD dan DPRD , sistem pemilu yang digunakan untuk pemilu tahun 2009 adalah sistem proporsonal dengan daftar terbuka.
 Penetapan pemenang di dalam pemilu ini menggunakan sistem  suara suara terbanyak.  Sehingga ambang batas perlemen yang semula digunakan untuk DPR RI sebesar 2,5 % tidak diberlakukan untuk pemilu DPRD Kabupaten/Kota. 
Sistem proporsioanal daftar terbuka merupakan sistem pemilu yang memberikan akses ke masyarakat untuk memilih sendiri caleg yang didukungnya. Mempunyai drajat keterwakilan yang tinggi  serta memilki tingakat keadilan yang tinggi untuk caleg peserta pemilu. 
Ada kelebihan dan ada kelemahan  sistem pemilu proporsional daftar terbuka yang dapat mempengaruhi perilaku memilih masyarakat, kelebihan dari sistem proporsional daftar terbuka dengan suara terbanyak memiliki kelebihan yang membuat masyarakat untuk dapat melihat serta menyeleksi caleg-caleg yang tampil untuk dipilih oleh masyarakat sehingga dampaknya masyarakat dapat lebih selektif dan rasional didalam  memilih  caleg yang  didukung.
Sedangkan kelamahan sistem proporsional daftar terbuka yang dapat mempengaruhi perilaku pemilih masyaralat ialah suara terbanyak memberikan potensi para caleg menggunakan kekayaanya untuk melakukan pendekatan-pendekatan finasial yang bertujuan untuk memperoleh suara dan dukungan dari masyarkat, suara terbanyak jika dipandang dari sisi keadilan keterwakilan untuk menetapkan caleg sangatlah adil, namun dengan suara terbanyak pula dapat timbul perilaku caleg yang mengandalkan modal untuk mempengaurahi massa. Sehingga akan muncul pendukung-pendukung caleg yang gampang untuk dimobilisasi demi kepentingan caleg. Pendektan finansial pula yang dapat melahirkan perilku pemilih yang tidak sehat di tengah-tengah masyarakat pemberian-pemberian yang diberikan oleh caleg sangat berpengaruh untuk masyarakat saat memilih, sehingga yang Nampak ialah perilaku memilih yang tidak berdasarkan idealisme serta pola pikir yang rasional dari masyarakat atau singkatnya melahirkan perilaku pemilih yang pragmatis.  
Pemilu merupakan ajang bagi masyarakat untuk menyeleksi caleg-caleg yang mempunyai potensi serta kapasitas untuk mewakili aspirasi rakyat, sudah seharusnya caleg yang menjadi wakil rakyat adalah orang-orang yang mempunyai komitmen dan tanggung jawab yang besar terhadap konstituenya, sehingga yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk memilih mana caleg yang terbaik dari sekian banyak caleg yang mengikuti pemilu. Namun sangat mengkuatirkan apabila caleg yang dihasilakan pada saat pemilu merupakan caleg yang lahir dari kampanye-kampanye finansial dan pilihan-pilihan pragmatis pada saat pemilu. Pilihan-pilihan yang terjadi dikrenakan pemberian dari claeg sehingga mengkesampingkan idealism sendiri untuk memilih mana caleg yang terbaik untuk menyalurkan aspirasi.
Adanya perubahan sistem pada pemilu tahun 2009 mempunyai konsekuensi terhadap perubahan perilaku pemilih juga. Jika sebelumnya, para pemilih hanya memperhatikan parpol saja, dengan adanya perubahan sistem ini, para pemilih juga bisa memperhatikan orang-orang yang dicalonkan oleh parpol tersebut.Pemilu tahun 2009 untuk memilih anggota DPRD Kab/Kota di laksanakan dengan cara atau format berbeda dari sistem pemilu tahun 2004, dimana saat pemilu tahun 2004 masyarakat hanya dapat memilih partai yang kemudian partai menentukan caleg berdasar nomor urut sebagai wakil rakyat. Namun dipemilu tahun 2009 pemenang ditetapkan dengan suara terbanyak tidak hanya itu pada saat pemilu masyarakat selain dapat memilih partai politik juga dapat memilih orang perorang.
Dari latar belakang yang penulis telah uraikan diatas maka penulis bermaksud untuk melihat  fenomena perilaku memilih masyarakat pada saat pemilu legislatif Kota Makassar tahun 2009 berdasarkan kelebihan dan kelemahan dari sistem pemilu proporsional daftar terbuka dengan suara terbanyak.

Dampak Penerapan Sistem Suara Terbanyak Terhadap Polarisasi Elit Dalam Partai Politik (PLT-7)



Sejak berakhirnya Orde Baru, Indonesia memasuki era baru yang ditandai dengan reformasi di berbagai bidang, yang tujuannya adalah mengembalikan kedaulatan kepada rakyat seutuhnya melalui proses demokrasi. Demikian halnya dengan sistem pemilu yang berubah setiap tahun dengan tujuan untuk membangun sistem demokrasi untuk menuju ke arah yang lebih baik. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem pemilu secara jelas dapat kita lihat dalam Undang-Undang Pemilu yang mengalami amandemen dari tahun ke tahun.
Indonesia tercatat mengalami perubahan sistem kepartaian sebanyak tiga kali, dimulai pada era Pemerintahan Soekarno yang menggunakan sistem multi partai, kemudian Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto menerapkan sistem dua partai di tambah dengan satu partai dominan (Partai Golkar), dan pada era reformasi hingga sekarang kembali menerapkan sistem multipartai.
Pemilu yang merupakan ujung tombak demokrasi membutuhkan institusi yang menjadi pelaku pemilu. Institusi yang formal sebagai peserta pemilu adalah partai politik sebagai suatu pilar demokrasi merupakan tempat penyaluran aspirasi rakyat dan elit-elit partai politik sebagai representasi wakil rakyat untuk mewakili kepentingan rakyat di lembaga legislatif. Hasil pemilu tahun 1955 untuk Dewan Perwakilan Rakyat ada 28 partai politik dan untuk anggota konstituante ada 34 partai, pemilu 1971 ada 10 partai, pemilu 1977-1997 ada 3 partai, dan pada pemilu 1999 ada 48 partai, pemilu 2004 ada 24 parpol dan pemilu yang terakhir pada tahun 2009 ini 38 partai politik tambah 4 partai lokal di NAD ikut serta dalam pesta demokrasi di Indonesia (Kpu.go.id).

Partai politik merupakan salah satu institusi inti pelaksana demokrasi modern dimana mengandaikan sebuah sistem keterwakilan, baik itu keterwakilan dalam lembaga formal kenegaraan seperti Parlemen/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maupun keterwakilan aspirasi masyarakat dalam institusi kepartaian.[1] Perwakilan/representation adalah konsep bahwa seseorang atau sesuatu kelompok mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk berbicara dan bertindak atas nama rakyat atau suatu kelompok yang lebih besar sehingga anggota DPR/DPRD pada umumnya mewakili rakyat melalui partai politik.
Isu penting dalam setiap penyelenggaraan pemilu adalah bagaimana menghasilkan calon anggota legislatif berkualitas yang berasal dari kader-kader partai politik dengan tingkat keterwakilan rakyat yang tinggi, itulah esensi pemilu sekaligus alasan mengapa kualitas pemilu perlu terus diperjuangkan. Pemilu dikatakan berkualitas, salah satunya ditandai dengan tercerminkannya keterwakilan masyarakat di dalam lembaga legislatif yang benar-benar mengerti kondisi rakyatnya namun semua itu dapat terealisasikan dengan sistem pemilu yang digunakan dalam pelaksanaannya.
Prinsip keterwakilan masyarakat dalam pemilu dipengaruhi oleh sistem pemilihan yang digunakan. Sistem pemilihan bisa diartikan sebagai suatu kumpulan metode atau cara masyarakat untuk memilih wakil rakyat.
Arend Lijphart (1995) berpendapat, sistem pemilihan merupakan sesuatu yang penting dalam sebuah negara demokrasi perwakilan karena membawa konsekuensi sangat besar terhadap proporsionalitas hasil pemilu.
Pemilu Legislatif  Tahun 2004 dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam Undang-Undang tersebut menentukan dua cara penetapan calon legislatif  terpilih, yaitu: Berdasarkan angka Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) dimana calon yang memperoleh suara melebihi atau sama dengan BPP terlebih dahulu ditetapkan sebagai calon terpilih, dan berdasarkan nomor urut dari daftar calon yang diajukan parpol peserta pemilu di daerah pemilihan masing-masing.[2] Berdasarkan Undang-Undang tersebut, mekanisme penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana tertulis dalam Pasal 107 ayat 2b menyatakan bahwa penetapan nama calon yang tidak mencapai angka BPP, penetapan calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut pada daftar calon di daerah pemilihan yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa calon dengan nomor urut kecil lebih memiliki peluang untuk duduk dalam lembaga legislatif dibanding calon dengan nomor urut besar, meskipun calon dengan nomor urut kecil mendapatkan suara yang lebih sedikit dari pada calon dengan nomor urut besar.
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya tertanggal 23 Desember 2008 mengabulkan sebagian permohonan pemohon terkait uji materi UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, salah satunya adalah Pasal 214 ayat 2b, sehingga penetapan caleg terpilih untuk pemilu Tahun 2009, apabila jumlah suara yang diperoleh tidak mencapai angka BPP akan ditentukan dengan sistem suara terbanyak. Lahirnya keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai sistem perolehan suara terbanyak berawal dari gugatan uji materi atas pasal 214 huruf a, b, c, d,  dan e UU No 10/2008 tentang Pemilu 2009 oleh caleg Partai Demokrat dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Pertimbangan dari putusan ini di antaranya, ketentuan pasal 214 huruf a,b,c,d, dan e UU No 10/2008 yang menyatakan bahwa calon anggota legislatif terpilih adalah calon yang mendapat suara di atas 30 persen dari bilangan pembagian pemilu (BPP) atau menempati nomor urut lebih kecil, dinilai bertentangan dengan makna substantif dengan prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam pasal 28 d ayat 1 UUD 1945.[3]
Pemilu Tahun 2009 dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Perubahan sistem pemilu dari sistem nomor urut menjadi sistem suara terbanyak merupakan suatu babakan baru dalam proses demokrasi. Sistem nomor urut dianggap kurang demokratis karena calon terpilih ditentukan oleh nomor urut. Nomor urut lebih memungkinkan calon terpilih dibandingkan suara dari pemilih.
Sistem suara terbanyak sebagai aturan main dalam pemilu 2009 sebagai pengganti sistem nomor urut tentunya memiliki kelebihan dan kelemahan dimana sebuah sistem tidak memiliki sisi sempurna atau dengan kata lain selalu mendapat celah dari elemen yang menjalankannya secara tidak sehat. Kelebihan sistem suara terbanyak, elit yang terpilih merupakan representasi nyata dari pilihan rakyat karena tidak memandang nomor urut lagi, terciptanya iklim yang lebih demokratis dalam internal partai mengingat pada sistem nomor urut peranan petinggi partai sangat dominan dalam proses penyusunan daftar caleg dan peluang keterwakilan perempuan sangat terbuka walaupun hanya dalam tahap pencalonan. Disamping itu sistem suara terbanyak juga memiliki kelemahan diantaranya sangat membuka peluang terjadinya politik uang dengan kondisi banyaknya calon untuk mendapatkan dukungan konstituen, dan sikap individualitas dalam internal partai antara caleg akan meningkat seiring untuk mendapatkan suara terbanyak persaingan akan lebih kuat antara internal partai dibandingkan elit dengan partai lain.
Perubahan sistem nomor urut menjadi sistem suara terbanyak melahirkan optimisme para calon yang maju dalam pemilihan. Nomor urut bukan lagi menjadi patokan terpilihnya seorang calon. Calon yang tampil akan lebih semangat dalam melakukan kampanye karena memiliki kesempatan yang sama untuk terpilih. Sistem suara terbanyak merupakan sistem yang membawa sisi demokratis dalam internal partai, dalam hal ini pada elit-elit partai yang bersaing dalam pemilu.
Pada pemilu caleg tahun 2009 di Kabupaten Bone diramaikan oleh figur- figur baru dalam partai politik khususnya pada Partai Golkar dan PDIP. Figur baru bisa juga dikatakan sebagai kader instan partai dalam pemilu untuk menjadi calon, berbeda dengan pengurus partai atau elit lama dan ada juga yang sudah menjabat sebagai anggota legislatif dan mencalonkan untuk terpilih kembali.
Sistem suara terbanyak diterapkan oleh MK setelah penyusunan daftar calon tetap partai politik khusunya partai Golkar dan PDIP Kabupaten Bone sebelum pemilu dilaksanakan. Namun kenyataannya, banyak figur-figur baru yang tampil dalam list daftar calon tetap anggota legislatif kedua partai tersebut. Dengan adanya sistem suara terbanyak figur-figur baru yang tampil bersikap ortimis dengan tidak memandang nomor urut untuk terpilih, begitupun juga dengan elit lama partai akan berjuang untuk memperoleh dukungan.
Hadirnya figur-figur baru dalam partai Golkar dan PDIP dalam pencalonan pada pemilu caleg 2009 akan mengakibatkan polarisasi dengan elit lama/pengurus partai karena dengan sistem suara terbanyak melahirkan optimisme masing-masing calon untuk bekerja lebih keras untuk mendapatkan suara. Persaingan elit internal partai lebih kuat dibandingkan dengan elit lintas partai politik. Disatu sisi elit lama yang mengandalkan nomor urut sebelumnya merasa harus berjuang lebih untuk terpilih karena sistem nomor urut telah tergantikan oleh sistem suara terbanyak dan disisi lain figur-figur baru dengan rasa percaya diri mengandalkan popularitas untuk terpilih dengan adanya sistem suara terbanyak.
Penulis tertarik untuk meneliti mengenai dampak penerapan sistem suara terbanyak terhadap polarisasi elit khusunya pada Partai Golkar dan PDIP di Kabupaten Bone. Alasan penulis memilih kedua partai politik tersebut, pertama Partai Golkar merupakan partai politik relatif mendominasi elit-elitnya yang lolos dalam setiap pemilihan umum di Kabupaten Bone dan khususnya Partai Golkar yang telah lama eksis di Kabupaten Bone hingga berakar pada masyarakat serta eksistensinya dengan elit-elit politik yang mapan. Golkar Kabupaten Bone partai yang sangat diminati oleh elit-elit politik setiap ajang pemilu. Serta banyaknya figure-figur baru dalam daftar pencalonan pada pemilu Tahun 2009. Kedua, penulis memilih partai PDIP Kabupaten Bone sebagai partai lama di Kabupaten Bone yang tersaingi oleh semakin mapannya partai-partai baru yang hadir di Kabupaten Bone dalam setiap pemilu sehingga terus berebenah untuk meloloskan calonnya. Disamping itu dalam list daftar calon PDIP Kabupaten Bone pada pemilu 2009 diramaikan oleh figur-figur baru.
Penulis akan meneliti mengenai gambaran polarisasi elit partai politik terkhusus pada Partai Golkar dan PDIP Kabupaten Bone setelah diterapkan sistem suara terbanyak dan bagaimana dampak yang timbul akibat polarisasi elit.  Berdasarkan penjabaran perubahan sistem pemilu perolehan suara terbanyak tersebut di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: “Dampak Penerapan Sistem Suara Terbanyak Terhadap Polarisasi Elit Dalam Partai Politik (Studi Terhadap Partai Golkar dan PDIP di Kabupaten Bone)”


Budaya Politik Santri Pada Pondok Pesantren Darul Arqam … (PLT-6)



Dalam dunia ilmu sosial, kebudayaan umumnya diperlakukan sebagai suatu variabel independen dan kontekstual yang berguna untuk menerangkan variasi-variasi perilaku diantara kelompok-kelompok masyarakat. Hubungan ilmu politik dari pendekatan ini terdapat pada karya tulis Gabriel Almond dan Sidney Verba, The Civic Culture, sebuah analisis komparatif lima negara mengenai hubungan antara sikap rakyat terhadap politik dan demokrasi yang stabil. Pendekatan ini diterapkan kepada Dunia Ketiga dan amat berpengaruh di dalam buku Lucian Pye dan Sidney Verba yaitu, Political Culture and Political Development. Pye menulis: Pandangan budaya politik adalah sikap, sentimen, dan kesadaran yang memberi informasi serta mengatur perilaku politik di dalam setiap kelompok masyarakat adalah bukan hanya kumpulan sembarangan, tetapi mewakili pola-pola yang koheren, yang sama-sama sesuai dan saling memperkuat.[1]
Budaya politik merupakan bagian dari kehidupan politik, walaupun sementara pihak seringkali memandang budaya politik tak lebih hanya sebagai kondisi-kondisi yang mewarnai corak kehidupan masyarakat, tanpa memiliki hubungan baik dengan sistem politik maupun struktur politik. Budaya politik tidak diperhitungkan sama sekali dalam proses-proses politik. Asumsi itu banyak digunakan sebelum berkembangnya pendekatan yang mendasarkan diri pada budaya politik.

Budaya politik merupakan fenomena dalam masyarakat, yang memiliki pengaruh terhadap struktur dan sistem politik. Sehingga Rusadi, dalam membahas budaya politik menyamakan dengan struktur politik, karena berhubungan dengan fungsi konversi (conversion function), dan kapabilitas (capabilities). Dalam membahas keterkaitan antara budaya politik dengan sistem politik, budaya politik perlu dikedepankan karena menyangkut disiplin ilmu sosial yang berkaitan dengan fenomena masyarakat. Terlebih lagi sistem politik dapat ditinjau sebagai bagian dari ilmu sosial (social system) yang hidup dalam sociosphere yang merupakan bidang telaah baik sosiologi, antropologi maupun geografi.[2]
Budaya politik tertentu selalu inheren (melekat) pada setiap masyarakat yang terdiri atas sejumlah individu yang hidup baik dalam sistem politik tradisional, transisional maupun modern. Dengan meneliti budaya politik kita akan mengenal atribut dan ciri-ciri yang terpokok untuk menguji proses yang berlanjut maupun yang berubah seirama dengan proses perkembangan, perubahan atau mutasi sosial.
Sebagaimana dikemukakan ilmuwan politik seperti Immanuel H. Beer dan Adam B. Ulam atau oleh Gilbert Abcarian dan George S. Masanat, bahwa salah satu variabel sistem politik adalah kebudayaan politik. Bahkan oleh sementara ilmuwan politik dikatakan bahwa kebudayaan politik (political culture) merupakan salah satu variabel penting dalam sistem politik, karena variabel ini lebih mencerminkan faktor-faktor subyektif dibanding dengan variabel-variabel lainnya. Dalam hal ini, kebudayaan politik lebih dimaksudkan sebagai keseluruhan pandangan politik seperti norma-norma, pola-pola orientasi terhadap politik, legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijaksanaan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, prilaku aparatur pemerintah serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah, dan bahkan dianggap sebagai pandangan hidup manusia pada umumnya.[3]
Dalam studi-studi politik Indonesia, penerapan yang paling dikenal dari pandangan hubungan antara budaya dan politik, adalah buku Benedict Anderson The Idea of Power in Javanese Culture. Secara singkat Anderson memperkenalkan empat sifat dari apa yang dia percaya menjadi konsepsi kekuatan tradisional Jawa, yaitu kekonkretan, homogenitas, kuantitas yang tetap dan amoralitas yang kontras secara tajam dengan ide kekuasaaan barat, konsep ini sebagaimana Anderson memahaminya. Lau dia mencoba menunjukkan kebaikan pikiran-pikiran Jawa sebagai piranti analisis dengan mempergunakannya untuk menafsirkan berbagai keputusan-keputusan kebijaksanaan Presiden Sukarno dan Presiden Suharto.[4]
Bila dibandingkan pendekatan dari Anderson dengan konsepsi Robert Bellah mengenai budaya politik Amerika di dalam bukunya, Habits of the Heart: Dari masa-masa awalnya, orang Amerika sudah melihat maksud dan tujuan bangsa sebagai upaya merealisasikan harapan Injili lama tentang suatu masyarakat adil yang penuh kasih, sebagian berjuang membina semangat hidupnya dan undang-undang bangsa sesuai dengan cita-cita kewarganegaraan dan partisipasi republikan. Masih ada yang lainnya, yaitu yang mengemukakan mimpi-mimpi nyata mengenai nasib baik dan kemenangan nasional. Dan selalu ada para pendukung, yang sering kali bergairah, bahwa kebebasan berarti semangat wiraswasta dan adanya hak menimbun kekayaan serta kekuasaan untuk pribadi.[5] Buku Bellah selanjutnya menguji bagaimana berbagai sub budaya ini: harapan Injili, republikan, nasionalis dan individualis berinteraksi sekarang.
Tidak adanya piranti-piranti analisis dengan mana memahami bagaimana budaya-budaya berubah atau dipertahankan dari masa ke masa. Kita perlu untuk memeriksa nilai-nilai, kepercayaan dan adat, bukan saja sebagai pikiran-pikiran, tetapi ketika nilai, kepercayaan dan adat itu berhubungan dengan proses-proses dan lembaga-lembaga internasional dan domestik yang konkret, naik turunnya gerakan kelompok-kelompok dan arus-arus sosial dan politik. Dan hal ini sangat dipengaruhi oleh sistem politik yang ada di suatu negara.
Kehidupan manusia di dalam masyarakat, memiliki peranan penting dalam sistem politik suatu negara. Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial, senantiasa akan berinteraksi dengan manusia lain dalam upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup manusia tidak cukup yang bersifat dasar, seperti makan, minum, biologis, pakaian dan papan (rumah). Lebih dari itu, juga mencakup kebutuhan akan pengakuan eksistensi diri dan penghargaan dari orang lain dalam bentuk pujian, pemberian upah kerja, status sebagai anggota masyarakat, anggota suatu partai politik tertentu dan sebagainya.
Setiap warga negara, dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik politik. Jika secara tidak langsung, hal ini sebatas mendengar informasi, atau berita-berita tentang peristiwa politik yang terjadi. Dan jika secara langsung, berarti orang tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu.
Kehidupan politik yang merupakan bagian dari keseharian dalam interaksi antar warga negara dengan pemerintah, dan institusi-institusi di luar pemerintah (non-formal), telah menghasilkan dan membentuk variasi pendapat, pandangan dan pengetahuan tentang praktik-praktik perilaku politik dalam semua sistem politik. Oleh karena itu, seringkali kita bisa melihat dan mengukur pengetahuan-pengetahuan, perasaan dan sikap warga negara terhadap negaranya, pemerintahnya, pemimpim politik dan lai-lain.
Kegiatan politik juga memasuki dunia keagamaan, kegiatan ekonomi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara luas. Dengan demikian, budaya politik langsung mempengaruhi kehidupan politik dan menentukan keputusan nasional yang menyangkut pola pengalokasian sumber-sumber masyarakat.
Dalam dunia keagamaan dan dalam konteks kehidupan sosial kemasyarakatan, hubungan antara agama dan politik jelas memiliki suatu keterkaitan, namun tetap harus dibedakan. Di satu pihak, masyarakat agama memiliki kepentingan mendasar agar agama tidak dikotori oleh kepentingan politik, karena bila agama berada dalam dominasi politik, maka agama akan sangat mudah diselewengkan. Akibatnya agama tidak lagi menjadi kekuatan pembebas atas berbagai bentuk penindasan dan ketidakadilan, sebaliknya agama akan berkembang menjadi kekuatan yang menindas dan kejam.
Di pihak lain, adalah kewajiban moral agama untuk ikut mengarahkan politik agar tidak berkembang menurut seleranya sendiri yang bisa membahayakan kehidupan. Agar agama dapat menjalankan peran moral tersebut, maka agama harus dapat mengatasi politik, bukan terlibat langsung ke dalam politik praktis. Karena bila agama berada di dalam kooptasi politik, maka agama akan kehilangan kekuatan moralnya yang mampu mengarahkan politik agar tidak berkembang menjadi kekuatan yang menekan kehidupan dan menyimpang dari batas-batas moral dan etika agama, masyarakat, dan hukum.
Dalam agama Islam Paradigma pemikiran yang berkembang seputar korelasi antara politik dan agama, selalu diwakili dua kutub pemikiran yang bertolak belakang. Qaradhawi mengistilahkannya dengan kelompok sekuler dan kelompok Islamis. Masing-masing kelompok ini intens mengembangkan premis-premis yang mendukung pendapatnya dalam berbagai tulisan, buku, dan wacana.[6]
Perspektif kaum sekuler dan materialis selalu menganggap bahwa agama tidak lebih hanya sebatas hubungan vertikal antara seorang individu dengan Tuhannya. Bahkan mereka mengklaim bahwa agama dan politik adalah suatu hal yang mustahil untuk dipertemukan. Agama bersumber dari Tuhan, karakteristiknya pun selalu identik dengan nilai-nilai kesucian, dan tujuan jangka panjangnya adalah kehidupan akhirat. Sementara politik adalah kreatifitas dan rekaan akal manusia, karakteristiknya pun selalu kotor dan penuh tipu daya, dan tujuan akhirnya tidak lebih hanya pemuas kehidupan dunia. Pemikiran ini berkembang di dunia barat, namun cukup banyak juga pemikir Arab dan dunia Islam yang berpikiran sama, semisal Ali Abdul Raziq dan Mustafa Kemal Pasha.
Berbeda dengan tokoh-tokoh seperti Khairuddin At-Tunisy, Muhammad Abduh, Hasan Al-Banna, Syakib Arselan, dan Al-Maududi. Mereka melihat bahwa Islam, disamping sebagai akidah, juga merupakan syariah, peraturan, serta perundangan yang mengatur seluruh dimensi kehidupan. Islam sebagai akidah dan syariah, dakwah dan negara, serta agama dan politik. Pemikiran mereka secara spesifik berangkat dari tiga perspektif:[7]
Pertama, Islam sebagai agama yang komprehensif mengatur seluruh dimensi kehidupan. Baik dimensi materil ataupun spirituil, baik secara individu maupun kolektif dalam konteks kehidupan bernegara. Bahkan seluruh gerak individu muslim tidak lepas dari hukum (wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah). Barangkali apa yang telah Allah firmankan dalam surat An-Nahl ayat 89: “...Dan kami turunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, rahmat, serta kabar gembira bagi orang yang berserah diri," merupakan justifikasi nilai-nilai Islam sebagai agama yang komprehensif.
Kedua, Islam sangat mengecam sikap parsial dalam pelaksanaan dan pengamalan nilai-nilainya, karena seluruh aturan dan dogma yang ada di dalamnya merupakan suatu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan. Seorang muslim tidak hanya harus menerjemahkan kemuslimannya di mesjid, mushalla, akad pernikahan, dan sebagainya. Akan tetapi ia harus tetap menjadi seorang muslim ketika bergelut di dunia bisnis, berorasi politik dalam sebuah pesta demokrasi, bahkan dalam berperang pun, ia harus tetap menjaga etika yang telah diajarkan Islam dalam peperangan. Firman Allah SWT: “Wahai orang-orang yang beriman masuklah kedalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh ia musuh yang nyata bagimu”. (QS. Al-Baqarah: 208), ”dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. (QS. As-Sajadah: 24).
Ketiga, Sejak dahulu kala hingga saat ini, peradaban dan kebudayaan dimanapun sadar bahwa sebuah institusi negara atau kekuatan politik merupakan salah satu sarana terpenting untuk menjalankan seluruh aktifitas penerapan hukum, perundangan, pengajaran, dan perlindungan terhadap segala bentuk kerusakan secara internal, maupun serangan dari kekuatan luar yang berniat untuk merampas ataupun menjajah. Bukan hanya itu, realitas dunia modern saat ini justru lebih menuntut seluruh komponen umat merambah semua sektor riil dan peluang serta potensi yang ada untuk mengambil peran. Integrasi antara kekuatan sekuler dan kekuatan religius mestinya merupakan representasi ideal dalam kepemimpinan nasional. Kekuatan kelompok sekuler dapat diandalkan dalam kapabilitas; sedangkan kekuatan religius dapat mengimbanginya dengan moralitas. Namun harapan ini agaknya masih jauh dari kenyataan.
Di Indonesia kita mengenal salah satu kelompok sosial-religius yaitu santri. Para sarjana yang berminat terhadap telaah mengenai suku Jawa selalu mengenal dengan baik istilah santri yang khas itu. Istilah dan konsep santri telah terkenal akrab dan sering dipakai dalam karya-karya para sarjana tentang sejarah , politik dan masyarakat Jawa. Di samping para penulis dari Indonesia, Clifford Geertz ahli antropologi asal Amerika Serikat yang terkemuka, menggunakan istilah tersebut secara luas dalam karyanya, The Religion of Java (1960). Telaah terhadap golongan santri memang penting, khususnya untuk orang yang hendak memeriksa dengan seksama perkembangan Islam di Jawa.
Dalam setiap pemilu, kaum santri adalah kekuatan sosial dan politik yang selalu diperhitungkan. Pertautan elit dan santri itu akan membekali legitimasi bagi seorang calon presiden. SBY pun tak mau kehilangan kesempatan meraih kaum santri ini. Disinilah, konvergensi kepentingan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menghadiri acara Jambore Santri Nusantara di Jatinangor, Jawa Barat. Jambore yang berlangsung 15-20 Juni 2009 lalu ini diikuti oleh 6.000 santri dari 800 pesantren se-Indonesia.[8]
SBY dan kaum santri yang acaranya berlangsung meriah ini juga dimaksudkan untuk menjalin tali silaturahmi para santri, sekaligus sebagai upaya elit untuk mengkooptasi para santri ini. Dalam jambore ini, juga diisi dengan perlombaan yang menampilkan kreativitas para santri. Diperkirakan, ratusan kiai hadir dalam acara tersebut, dengan menggelar pertemuan bersama para santri, jelas suatu kekuatan sosial sudah diserap oleh SBY untuk menopang dukungan bagi pencalonannya. Dengan cara itu, SBY ingin menunjukkan komitmennya pula bagi kaum santri yang tersebar di negeri ini. Dukungan kaum santri bagi SBY sangat bermakna secara politik maupun ideologi.
SBY jelas berkepentingan agar tidak ada oposisi dari kaum santri. Bagaimanapun, SBY sadar bahwa tumbuhnya oposisi santri, yakni sikap kritis terhadap kebijakan pemerintah yang dilancarkan kalangan santri, baik dari kalangan NU maupun Muhammadiyah dan lainnya, merupakan ancaman bagi legitimasi pemerintah. SBY berkeinginan menyerap aspirasi kaum santri secara simbolik, meski sesudah itu, seperti biasanya, kaum santri kemudian hanya menjadi penonton di luar panggung teater negara.
Dari dulu, sebagai modal sosial, kaum santri hanya menjadi obyek politik karena lemah dari segi modal ekonomi. “Namun demikian, pesantren tetap menjadi basis sosial yang diperhitungkan, menurut pengamat politik Unair Prof. Kacung Maridjan. SBY yang didera isu neoliberalisme, jelas sangat paham bahwa oposisi santri otomatis senantiasa berjalan, karena kritisisme mereka terhadap berbagai kebijakan negara sudah menjadi perintah iman dan keyakinan. Kritisisme itu merupakan akibat logis dari ajaran Islam yang senantiasa menekankan prinsip amar ma`ruf nahi munkar.[9] Dengan titik temu SBY dan kaum santri itu, oposisionis santri bisa dikurangi, jika pun tak bisa diredam sama sekali. Di sisi lain, semua berharap santri dapat berkembang dan mendapatkan posisi strategis dalam kehidupan ekonomi dan berkebangsaan.
Hal di atas berlaku juga untuk Pondok Pesantren Darul Arqam Gombara Muhammadiyah, Makassar. Pondok pesantren ini berdiri ketika ulama Muhammadiyah berpandangan bahwa Pendidikan Tarjih Muhammadiyah yang diselenggarakan di jalan Bandang No. 7 Makassar khususnya di Pimpinan Cabang Muhammadiyah Bontoala tidak lagi relevan dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam rangka pembinaan pondok pesantren, maka pada Musyawarah Wilayah Muhammadiyah di pare-pare menetapkan agar Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah menjadi proyek pengkaderan Muhammadiyah.
Sebagaimana dikemukakan Haedar Nashir, hubungan Muhammadiyah dan politik dapat di ketahui dari dua variabel. Variabel pertama adalah aspek teologis atau pemikiran-pemikiran keagamaan yang dianut Muhammadiyah dan memiliki persentuhan dengan dunia politik, yang memberi gambaran mengenai pandangan Muhammadiyah tentang politik. Variabel kedua ialah aspek sosio-historis atau sosiologis, yang melukiskan kenyataan sejarah dan pengalaman sosiologis dalam politik yang dialami Muhammadiyah sejak organisasi ini berdiri pada tahun 1912.[10]
Dalam bagian sejarahnya Muhammadiyah sering terlibat dalam percaturan politik, bahkan pernah menjadi Anggota Istimewa Partai Islam Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Kendati diakui pula  bahwa keterlibatannya dalam politik tampaknya tidak sejauh Nahdhatul Ulama (NU) yang pernah menjadi partai politik. Keterlibatan Muhammadiyah dalam politik dengan tidak pernah menjadi partai politik menjadi kekuatan tersendiri. Muhammadiyah menjadi tampak lebih memiliki pengaruh sebagai moral force dan political force yang memainkan fungsi sebagai kelompok kepentingan (interest group) yang kuat karena didukung oleh massa yang relatif besar terutama dari masyarakat kelas menengah kota.
Haedar Nashir juga mengemukakan bahwa, Muhammadiyah pada bagian umum sejarah yang dilaluinya menunjukkan sikap dan prilaku politik yang akomodatif, artinya relatif lentur dalam menghadapi perkembangan politik dan kebijakan pemerintah tanpa harus terpisah dari prinsip-prinsip dan idealisasi sebagai gerakan Islam amar ma’ruf nahi munkar. Sikap dan prilaku yang cenderung akomodatif ini ternyata tidaklah berwarna hitam-putih, karena dalam bagian-bagian lain dari sejarah yang dialaminya juga berani mengambil sikap kritis dan tegas dalam menyikapi perkembangan politik dan kebijakan pemerintah yang dianggap bertentangan dengan misi gerakan dan kepentingan masyarakat pada umumnya.[11]   
Hal ini dibuktikan dengan hubungan Muhammadiyah dengan dunia politik yang bersifat personal dan tidak langsung, ditandai oleh keterlibatan aktif tokoh-tokoh puncak Muhammadiyah yang memperoleh dukungan luas dari anggota Muhammadiyah dalam membidani kelahiran dan mendukung keberadaan partai politik tertentu. Pola hubungan ini dikatakan bersifat tidak langsung karena tidak memiliki kaitan formal dan organisatoris langsung dengan Muhammadiyah. Dalam konteks organisasi Muhammadiyah sering pula disebut dengan hubungan yang bersifat moral dan sosiologis, atau hubungan ideologis.
Hal ini dapat terlihat dari pembentukan Partai Amanat Nasional pada tahun 1998. Kelahiran PAN yang dipimpin oleh Prof. Dr. H. M. Amien Rais merupakan fenomena menarik karena dianggap sebagai eksperimen politik tokoh santri dalam membangun partai politik baru yang bersifat majemuk di tengah suasana baru yaitu era reformasi. Secara formal dan langsung Muhammadiyah tidak memiliki kaitan organisatoris dengan partai yang didirikan pada 23 Agustus 1998 di Jakarta itu.[12]
Sebagai proyek pengkaderan Muhammadiyah Pondok Pesantren Darul Arqam juga memiliki hubungan yang bersifat personal dan tidak langsung dengan dunia politik. Hal ini dapat terlihat oleh keterlibatan aktif alumni pondok pesantren dengan politik yang memperoleh dukungan dari pondok pesantren, seperti Anis Matta (Sekjen PKS), Ridwan Hamsah (anggota DPRD Kota Makassar), Syamsi Ali (Ketua KPU Bulukumba), dan Wakil Ketua DPRD Jeneponto. Walaupun secara kelembagaan mereka tidak memiliki kaitan yang formal dengan pondok pesantren. Sebagaimana juga dikemukakan Ust. Ridwan salah seorang pengajar bahwa PAN mendapat dukungan dari sebagian besar elemen pondok pesantren.