Pages

Jumat, 15 Februari 2013

Sikap Pemerintah Amerika Serikat Terhadap Pelanggaran Ham Di Indonesia (Studi Kasus: Pt. Freeport ) (IS-14)

Adanya globalisasi semakin memperluas dan meningkatkan hubungan yang melintasi batas-batas negara, terutama dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Seperti hal lainnya, globalisai juga memiliki dampak positif dan negatif. Diluar dari dampak positif, globalisasi juga mendatangkan dampak negatif yang termasuk di dalamnya seperti; perubahan iklim, perdagangan manusia, terorisme, konflik etnis, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan adanya berbagai macam permasalahan yang terjadi di dunia internasional, sehingga membuat negara-negara di dunia berusaha membuat aturan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Adapun salah satu usaha untuk menyelesaikan permasalahan tentang HAM, maka badan organisasi internasional seperti United Nations (PBB) membuat komisi HAM yang diberi nama Comission on Human Rights.
Dewasa ini masalah HAM menjadi isu yang sering dibicarakan dan menjadi pembahasan di sebagian negara-negara dunia. Masalah HAM sudah dikenal sejak zaman dulu di berbagai kawasan dunia, akan tetapi negara-negara Barat yang pertama kali mengenalkan tentang masalah HAM. Meskipun di negara-negara ketiga telah mengenal bentuk hak-hak tertentu mengenai warganya, akan tetapi tidak seperti yang dikenal oleh negara-negara Barat. Sehingga pemikiran negara-negara Barat mengenai HAM lebih mendominasi, terutama pemikran-pemikiran negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Dimana PBB telah merumuskan masalah tentang HAM yang dapat diterima secara universal. 
HAM dianggap sebagai hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia. Dimana hak yang dimiliki oleh manusia sejak lahir. Dalam proses perkembangannya, HAM mengalami perkembangan dengan bermunculan berbagai tuntutan dari manusia itu sendiri dan perkembangan zaman. Proses perkembangan HAM juga tidak terlepas dari pengaruh lingkungan dan masyarakatnya. Adapun macam-macam HAM, seperti; hak untuk hidup, hak untuk hidup tanpa ada rasa takut, hak kebebasan, hak untuk bebas, hak untuk memiliki kepercayaan, hak untuk memperoleh informasi, hak menyatakan pendapat, hak berserikat, dan sebagainya.[1]

Munculnya isu-isu baru dalam hubungan internasional juga akan berpengaruh terhadap aktifitas, cara, metode, dan aktor-aktor diplomasi. Masyarakat internasional tidak hanya berkepentingan terhadap masalah-masalah politik dan keamanan, tetapi telah meningkatkan kepedulian mereka terhadap isu-isu hak asasi manusia dan semakin meningkatnya kebutuhan untuk dapat memperoleh serta mengakses informasi secara bebas. Semakin meningkatnya kepedulian terhadap hak-hak asasi manusia juga semakin banyak bentuk pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi terutama di sejumlah negara berkembang.
Setiap negara memiliki politik luar negeri yang berbeda. Poltik luar negeri juga dimaknai sebagai sebuah identitas yang menjadi karakteristik tersendiri dari suatu negara dengan negara lain di dunia. Politik luar negeri merupakan cerminan dari kepentingan nasional suatu negara. Seperti yang diketahui, adapun landasan dari politik luar negeri Amerika Serikat, yakni HAM, Demokratisasi, Free Trade, lingkungan hidup dan keamanan internasional.
Negara Amerika Serikat sebagai pemenang dalam Perang Dunia II  sehingga menjadikannya negara super power, serta menjadi salah satu negara yang memiliki Hak Veto dalam Dewan Keamanan PBB menyebabkan Amerika Serikat sering melibatkan diri dalam permasalahan-permasalah yang terjadi di  negara lain. Dengan adanya kekuatan yang dimiliki Amerika Serikat, sering kali negara-negara di dunia meminta bantuan kepada Amerika Serikat untuk menyelesaikan permasalahan mereka. Akan tetapi, dengan berjalannya waktu Amerika Serikat juga secara langsung ataupun tidak langsung telah melakukan berbagai bentuk intervensi. Intervensi yang dilakukan ialah untuk memperoleh apa yang dapat menguntungkan Amerika Serikat itu sendiri. Seperti halnya yang terjadi di Libya. Amerika Serikat melakukan intervensi militer kepada Libya melalui NATO.
Intervensi Amerika Serikat di Libya diatasnamakan sebagai salah satu bentuk pelanggaran HAM, karena banyak rakyat Libya yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah Gaddafi dan menimbulkan banyak rakyat Libya yang tewas bahkan ada sebagian rakyat Libya berusaha mencari perlindungan di negara-negara tetangganya. Libya merupakan salah satu negara penghasil minyak terbesar. Amerika Serikat merupakan negara industri, sehingga sangat membutuhkan minyak. Untuk dapat menguasai minyak di Libya, Amerika Serikat harus menurunkan rezim Gaddafi yang selama ini dikenal sebagai salah satu pemimpin dunia yang anti terhadap Amerika Serikat.
Adapun pembenaran dari Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan berbagai negara anggota sekutu lainnya dalam membombardir Libya adalah intervensi kemanusiaan karena beberapa pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh rezim pemerintahan Gaddafi. Pemerintah Amerika Serikat pada Era Barack Obama sebagai presiden dengan adanya resolusi PBB yang memberikan kewenangan intervensi internasional di Libya untuk mengijinkan bantuan seperti memasok senjata-senjata ke oposisi Libya. Barack Obama percaya resolusi PBB yang memberikan kewenangan intervensi internasional di Libya memiliki peluang untuk mengizinkan bantuan seperti itu. [2]
Aktor dalam hubungan internasional saat ini tidak lagi hanya didominasi oleh  negara, tapi juga di lakukan oleh individu, NGO, kelompok teroris, serta MNC (Multinational Corporation). Bagi Negara-negara berkembang, dengan masuknya investor asing ke negaranya akan meningkatkan pertumbuhan perekonomiannya. Dampak masuknya investasi asing, yakni akan membuka banyak lapangan kerja sehingga mengurangi kemiskinan dan akan meningkatkan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi suatu negara melalui upah yang di dapat oleh pekerja. MNC merupakan salah satu bentuk dari investasi asing langsung dalam bentuk pendirian perusahaan yang merupakan cabang dari perusahaan induk yang berada di negara asalnya. Menjamurnya MNC merupakan salah satu pengaruh dari sistem kapitalis Amerika Serikat di dunia internasional.
Perkembangan MNC ini merupakan bentuk dari globalisasi ekonomi. Globalisasi perekonomian mengharuskan penghapusan seluruh batasan dan hambatan terhadap arus modal, barang dan jasa. Ketika globalisasi ekonomi terjadi, batas-batas suatu negara akan menjadi kabur dan keterkaitan antara ekonomi nasional dengan perekonomian internasional akan semakin erat. Globalisasi perekonomian di satu pihak akan membuka peluang pasar produk dari dalam negeri ke pasar internasional secara kompetitif, sebaliknya juga membuka peluang masuknya produk-produk global ke dalam pasar domestik.
Perusahaan Multinasional atau yang sering disebut dengan MNC ini merupakan bentuk dari globalisasi ekonomi Amerika Serikat untuk menyebarkan pengaruhnya di dunia. Laporan dari Business Week (4-11 Agustus, 2005) menyebutkan, delapan dari sepuluh MNC terbesar di dunia bermarkas di Amerika Serikat, yaitu Coca-Cola, Microsoft, IBM, GE, Intel, Disney, McDonald’s, dan Marlboro. Dari seratus merek dunia, 62 di antaranya adalah dari Amerika Serikat. Dapat dilihat dewasa ini MNC Amerika Serikat yang telah menjamur dimana-mana, seperti; McDonalds, Exxon, Coca-Cola, Microsoft, Chevron, dan Freeport yang juga berada di Indonesia dan berbagai negara di penjuru dunia. Hal ini nampak bahwa MNC telah menguasai seluruh bidang dari kehidupan manusia. [3]
Salah satu yang membuat para investor menanamkan investasinya terutama dalam bentuk investasi asing langsung (FDI) dengan mendirikan perusahaan di negara yang di datangi (home country), akan memberikan berbagai macam manfaat. Salah satu manfaatnya, yakni akan menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat setempat. Akan tetapi, dengan prinsip dari MNC ingin mendapat keuntungan yang maksimal, biasanya MNC memberikan upah yang rendah dibandingkan dengan upah buruh yang ada di negaranya ataupun standar upah minimum. Hal ini, merupakan salah satu alasan perusahaan-perusahaan ini mendirikan anak perusahaan di negara lain. MNC juga seharusnya mematuhi peraturan yang ada di negara yang di datangi, akan tetapi kadangkala MNC banyak melakukan berbagai macam pelanggaran aturan-aturan di negara tempat beroperasinya (host country) yang berujung pada pelanggaran HAM. Salah satunya adalah aksi mogok buruh PT. Freeport Indonesia (PTFI) karena pekerja/buruh tersebut merasa gaji/upah yang mereka terima sangat rendah. Karena, dengan hadirnya MNC seperti Freeportdi suatu daerah seperti di Papua, maka secara tidak langsung akan meningkatkan standar kehidupan masyarakat di sana dan yang menjadi pekerja/buruh di PTFI kebanyakan merupakan masyarakat asli Papua.
Salah satu MNC asal Amerika Serikat yang ada di Indonesia, yakni PTFI yang merupakan anak perusahaan dari Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. yang beroperasi di Papua. Pada 1 Mei 1963 Papua masuk ke dalam kesatuan Republik Indonesia dan pada tanggal 5 April 1967 Freeport melakukan perjanjian Kontrak Karya (KK) untuk 30 tahun dengan pemerintah Indonesia, sehingga Freeport menjadi perusahaan satu-satunya yang menangani kawasan Ertsberg seluas 10 kilometer persegi. Kontrak Karya I seharusnya berakhir pada tahun 1997, akan tetapi di perpanjang pada 30 september 1991 selama 30 tahun lagi.[4]
Dalam karakteristik KK di dalamnya seluruh urusan manajemen dan operasional diserahkan kepada penambang/perusahaan (MNC). Berdasarkan Kontrak Karya Freeport dengan pemerintah Indonesia, pemegang saham terbesar yaitu Freeprt McMoran Coppert & Gold Inc (AS) 81,28%, Pemerintah Indonesia 9,36%, dan PT. Indocopper Investama 9,36 %. [5]Masuknya Papua dalam NKRI serta juga diikuti oleh masuknya Freeport di Indonesia dengan melakukan KK yang pada saat itu Indonesia dipimpin oleh Soeharto dan beroperasi hingga sekarang ini. Berdasarkan karakteristik dari KK itu sendiri dapat disimpulkan bahwa yang  mendapatkan keuntungan yang lebih adalah perusahaan.
Adapaun hubungan antara kepentingan nasional dan politik luar negeri dari suatu negara tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling mendukung satu sama lain, karena yang menjadi rumusan mengenai kepentingan nasional akan dipergunakan sebagai pedoman dan landasan dalam melaksanakan kebijakan luar negeri suatu negara untuk negara lain. Seperti juga hubungan Amerika Serikat - Indonesia, dalam melakukan hubungan bilateral semuanya tidak terlepas dari kepentingan nasional dari masing-masing negara yang diperjuangkan dalam politik luar negeri kedua negara tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan dalam negeri, biasanya negara akan melakukan hubungan internasional dengan negara-negara lain. Selain itu, untuk menjalin hubungan bilateral biasanya suatu negara harus mengetahui potensi serta kekurangan yang dimiliki oleh negara lain. Hal ini merupakan hal dasar bagi suatu negara untuk menjalin hubungan dengan negara lain. Seperti halnya hubungan antara Amerika Serikat-Indonesia. Amerika Serikat melihat Indonesia sebagai negara demokrasi yang memiliki SDA yang melimpah, memiliki jumlah penduduk yang banyak, negara islam moderat terbesar di dunia dan juga sama-sama negara yang memiliki beraneka ragam budaya seperti halnya penduduk Amerika Serikat.
Seperti halnya Amerika Serikat akan mendapatkan keuntungan berupa pajak dari Freeport yang ada di Indonesia. Pajak yang diterima akan meningkat apabila keuntungan yang didapat PTFI juga meningkat, begitu pula sebaliknya jika PTFI mengalami hambatan dalam pengoperasiannya secara tidak langsung akan mempengaruhi pemasukan bagi Amerika Serikat itu sendiri. Hal ini juga terjadi pada Indonesia sebagai host country yang juga mendapat keuntungan dari pajak, dividen, dan lain-lain.
PT. Freeport Indonesia (PTFI) merupakan salah satu MNC Amerika Serikat yang ada di Indonesia yang bergerak pada sektor pertambangan. Sehingga dengan keberadaan Freeport di Indonesia diharapkan dapat membantu pertumbuhan ekonomi Indonesia. Akan tetapi, selain manfaat yang di dapat dengan tersedianya lapangan kerja dan berbagai pendapatan bagi negara terdapat juga hal yang merugikan. Seperti, pada masalah lapangan kerja yang sering menjadi sorotan di home country adalah eksploitasi terhadap pekerja lokal oleh MNC. Dengan dalil menekan biaya produksi dan tersedianya upah buruh yang rendah tentu menjadi komoditas MNC dalam melakukan ekspansi bisnis. Tidak tertutup kemungkinan, kesempatan untuk mendapatkan buruh dengan upah yang murah dijadikan eksploitasi atas para pekerja lokal. Terkait dengan rendahnya upah buruh yang rendah oleh MNC, akan tetapi MNC masih menjual produknya dengan harga yang relatif tinggi. Hal ini pun dilakukan oleh PTFI yang beroperasi di salah satu provinsi Indonesia-Papua. Dimana gaji buruh yang diterima oleh buruh PTFI sangat murah bila dibandingkan dengan gaji buruh Freeport dinegara lain maupun MNC yang sama bergerak dalam bidang pertambangan.
Antara pekerja/buruh dan pengusaha mempunyai persamaan kepentingan ialah untuk kelangsungan hidup dan kemajuan perusahaan. Akan tetapi, di sisi lain hubungan antar keduanya juga memiliki perbedaan dan bahkan potensi konflik, terutama apabila berkaitan dengan persepsi atau interpretasi yang tidak sama tentang kepentingan masing-masing pihak yang pada dasarnya memang ada. Salah satu penyebab konflik yaitu jika kepentingan salah satu pihak atau di antara kedua belah pihak ada yang merasa dirugikan. Hal inilah yang melatarbelakangi pegawai/ buruh PTFI untuk  melakukan mogok dan meminta kenaikan upah mereka. Seperti yang diketahui sebagian besar pekerja di PTFI merupakan penduduk asli Papua. Dengan meningkatnya standar hidup yang tinggi di Papua, yang juga salah satu dampak akibat adanya MNC di daerah mereka.
Dilihat dalam kasus pemogokan buruh Freeport di Indonesia. Salah satu pemicu buruh PTFI ini melakukan pemogokan, karena mereka merasa di rugikan dengan gaji yang menurut mereka sangat rendah. Gaji yang diterima buruh PTFI termasuk yang sangat rendah dibandingkan MNC Amerika Serikat yang ada di Indonesia. Berdasarkan KK keuntungan yang di terima Freeport Indonesia lebih banyak dibandingkan yang di dapat pemerintah Indonesia. Begitupun dengan gaji pekerja/butuh PTFI yang berada seperti di Afrika dan New York memiliki gaji sepuluh kali lipat dibandingkan yang diterima oleh buruh di Indonesia. Kontribusi PTFI telah membayar 2 miliar dolar Amerika Serikat yang terdiri dari pajak, royalti, dan dividen pada 9 bulan pertama di tahun 2011 dan 13,4 miliar dolar Amerika Serikat secara total sejak 1992 berdasarkan Kontrak Karya saat ini kepada pemerintah Indonesia[6].
Adanya perbedaan yang sangat jauh antara gaji pekerja/buruh Freeport yang ada di Indonesia dengan gaji buruh Freeport di negara lain sehingga menimbulkan berbagai masalah.  Demonstarasi yang diikuti oleh pemogokan dari buruh PTFI pada 15 September 2011 yang menyebabkan beberapa buruh tewas, untuk menuntut kenaikan upah mereka dari US$ 35/jam dari sebelumnya berkisar US$ 2.1 /jam hingga US$ 3,5/jam. Sementara upah buruh Freeport di Amerika sendiri mencapai US$ 66,43/ jam.[7]Tidak bias dipungkiri hubungan antara MNC dengan negara asalnya tidak dapat dipisahkan. Kadangkala, secara tidak langsung MNC juga mempengaruhi kebijakan host country dans home country dan tidak terkecuali Amerika Serikat. Amerika Serikat sebagai negara adikuasa menyebabkan negara ini dengan mudah dapat mengintervensi negara-negara lain, terutama negara-negara berkembang untuk memenuhi kepentingannya.
Permasalahaan ini menimbulkan pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak pekerja/buruh untuk menuntut hak mereka untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, sehingga dapat digolongkan dalam pelanggaran HAM yang dilakukan Freeport di Indonesia. Berdasarkan UU No. 13/2003 RI, telah diatur tentang mogok kerja merupakan hal yang sah dilakukan. Akan tetapi, bagi pihak Freeport mogok kerja merupakan hal yang tidak sah, karena akan membawa dampak negatif secara finansial, terutama bagi perusahaan. Selama sebagian besar pekerja/buruh PTFI mogok kerja dan berdemonstrasi untuk meminta kenaikan upah gaji, akan tetapi respon yang diberikan oleh pihak dari Freeport yang awalnya tidak ingin menaikan upah gaji buruhnya berusaha untuk menghentikan para demonstran dengan berbagai cara. Cara yang dilakukan seperti, meminta bantuan kepolisian maupun TNI untuk membubarkan aksi mogok. Sehingga, secara langsung Freeport telah melanggar hak-hak dari buruh Indonesia (HAM) berdasarkan UU No 13/2003 tentang mogok kerja sah dilakukan.
Dengan adanya fenomena tentang berbagai masalah yang ditimbulkan oleh PTFI dimana merujuk pada pelanggaran HAM, sehingga secara tidak langsung Amerika Serikat sebagai home country dari Freeport McMoran akan terlibat, karena sebagai negara asal Freeport dan menjadi negara yang sangat menjunjung tentang HAM sehingga fenomena tersebut menarik untuk di kaji lebih jauh. Hal ini mendorong penulis untuk melakukan penelitian dengan judul; “Sikap Pemerintah Amerika Serikat Terhadap Pelanggaran HAM di Indonesia (Studi Kasus: PT. Freeport ).”

Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini

0 komentar:

Posting Komentar